Cerpen Tifhal Aisha
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Rona jingga mewarnai langit biru yang mulai menggelap. Dari kejauhan, Utsman dapat melihat para warga pesisir menghidupkan lampu-lampu penerangan guna mengusir sang gelap yang akan tiba. Berbeda dengan warga biasa, beberapa orang perkasa pengarung laut garang mencari rezeki menuju sang gelap untuk memberi anggota keluarga tersayang dirumah sesuap nasi. Begitu pula Utsman, selepas mencari ilmu di sekolah menengah atas ia lanjut mencari nafkah untuk sang ibu dan adiknya yang masih menduduki kursi sekolah dasar. Digantungnya seragam sekolah miliknya di dinding kapal agar usai melaut, ia bisa langsung berangkat sekolah di pagi hari. Bersama Katrong–Kapal Strong– milik Babeh Amis, seorang tauke ikan berkepala 4. Utsman pergi melaut ditemani Bang Denis, awak kapal 5 tahun lebih tua dari Utsman yang telah lama putus sekolah dan memilih mengais rezeki dengan menebar jaring di laut meminjam kapal Babeh Amis demi bisa bertahan hidup di daerah kota pinggiran. Bang Denis kerap dikenal sebagai Pengendali kapal yang handal dipercaya Babeh Amis untuk meminjam Katrong. Ditemani hembus lihai sang angin yang membawa mereka menuju tempat rezeki, Utsman duduk di geladak kayu reot seberang Bang Denis. Geladak mengeluarkan decit seperti tikus saat Utsman mendudukinya tanda dari lama perjuangan sang kapal mengarungi laut. Tak lama kemudian , Katrong melambat dan berhenti sebelum sampai di lokasi biasa penebar jaring mencari ikan. “Lah ngape berenti Bang?” Tanya Utsman bingung, dikerutkannya dahinya yang menghitam hingga hampir bertemu kedua alisnya. Bang Denis nampak sama bingungnya dengan Utsman , bukannya menjawab Utsman, Bang denis menggaruk kepala yang tidak gatal sambil menunjuk ke arah cakrawala gelap “Ono apaan ye man?” Biasanya, mereka akan disuguhi pemandangan laut lepas dengan ombak garang berayun di kegelapan ditemani remang cahaya sang bulan yang tenang. Berbeda dengan kali ini, tampak pasak pasak tinggi sekitar 3 meter diatas laut menjulang membentuk pagar lurus, membentuk batas, seakan kebebasan sang laut di kurung dan dilarang untuk menampilkan aura kuat dan garang sang biru. “Coba Bang, disusurin aje dulu sape tau nanti ketemu ujungnye.” Usul Utsman sambil berdiri menuju tempat Bang denis untuk melihat pasak bambu lebih jelas. Kayu geladak tua berdecit menemani tiap langkah Utsman. Sambil menyusuri laut, Utsman fokus memperhatikan pasak-pasak bambu yang ada, pasak bambu yang terpasang begitu rapi, seperti diberi jarak pasti antara satu sama lain dan membentuk daerah petak yang terbagi rapi. Sekian waktu menyusuri, Bang Denis dan Utsman menyadari bahwa tidak memungkinnya Katrong untung melewati pasak bambu ini, mereka terkurung, dilarang untuk pergi terlalu jauh. Bang Denis berkali kali memaki dengan aksen betawinya yang kental kepada para pasak bambu yang berdiri tegak, seakan sang pasak bambu meledek Bang Denis layaknya penjaga Galasin. “Udeh Bang den, kite disini aje gapape. Daripada bahan bakarne abis, kagak bise pulang ntar.” Masih sibuk memaki sang pasak bambu penghalang, akhirnya Bang Denis dengan enggan dan perlahan menganggukkan kepalanya untuk mengalah dan menjaring ikan di area yang terpasak oleh bambu.
“Ah elah man, ini mah daerahnya kurang dalem, gw kalo jadi ikan bandeng juga males kali ke pesisiran gini!” keluh bang denis sambil menebar jaring. Walau banyak mengeluh, Bang Denis tetaplah seorang nelayan cekatan. Utsman hanya tertawa melihat wajah Bang denis yang kecut yang tertimpa cahaya seadanya dari lampu petromaks pada dinding kapal. Awalnya, Utsman juga cukup khawatir dengan pasak-pasak bambu tersebut. Utsman takut pasak-pasak bambu ini menjadi penghalang buruk yang dapat mengurangi hasil dari pendapatan ikan mereka. Namun, melihat keluhan dan komentar nyablak dari Bang Denis yang lucu membuat Utsman sedikit terhibur dan teralihkan. Sambil terus menebar jaring dan menunggu, Utsman dan Bang Denis bercakap ria dan saling berceloteh ditemani kacang dari pedagang cangcimen yang mereka beli bersama sebelum berangkat pergi melaut. Dengan mulut penuh suara kunyah kriuk dari kacang goreng Bang Denis duduk sila dengan kaki kiri terangkat sambil melihat Utsman yang akhirnya menarik jala dari laut. “Enteng bang” ucap Utsman pelan, sedikit kecewa karena hasil tangkapannya begitu sedikit berbeda dengan biasanya di tempat lokasi biasa. Sebelumya Utsman sudah berusaha berprasangka baik, dan ingin membuktikan bahwa keluhan Bang denis salah. Namun, para ikan yang menggeliat dalam jala nampaknya harus meminta maaf karena telah mematahkan prasangka baik Utsman. Melihat wajah Utsman yang sontak mendung setelah menarik jala ke atas geladak Bang Denis pun menghampir Utsman sambil merangkulnya keras “Elah, ini masih kepagian! nih gw kasih tau ye, biasanye yang ikan yang keluar jam segini tuh ikan cupu man! gw kalo jadi ikan maunye keluar tengah malem biar kagak cupu!” Canda Bang Denis sambil menjewer kuping Utsman dengan pelan. “Berandai jadi ikan mulu bang, didoain ama yang atas lu” balas Utsman sambil berpura pura kesakitan dengan jeweran Bang Denis dan mendorong Bang Denis menjauh dari dirinya. Hal yang mungkin harus disyukuri Utsman malam ini, kehadiran Bang Denis sebagai penghibur. Kalau Utsman melaut sendiri tentu ia akan stress sendiri sambil memijit pelipisnya ya yang berdenyar karena memikirkan para ikan bandeng yang tak kunjung terjerat jala.
Waktu kian waktu berjalan, sang gelap yang hening mulai terganggu dengan beberapa cahaya dari rumah pesisir dan suara marbot tua serak lewat toa masjid yang membangungkan kampung pesisir. Kekecewaan yang meliputi Utsman bukan pergi seperti malam gelap yang akan terusir matahari melainkan bagikan lapisan-lapisan selimut yang menebal karena kenyataan yang dingin. Pada sekali melaut, biasanya Bang Denis dan Utsman akan menangkap 6 ember penuh berisi ikan ikan bandeng besar yang menggeliat heboh berusaha melarikan diri dari sesaknya ember amis. Berbeda dengan sekarang, mereka hanya dapat menangkap 2 ember berisi ikan tidak sepenuh biasanya. Berangkat dengan keberanian dan rasa penuh antisipasi terhadap tantangan, Utsman Kembali ke pantai dengan kekecewaan keruh dan langkah goyah. Selama perjalanan ke arah pesisir, Bang Denis menepuk nepuk punggung Utsman untuk mengirimkan sugesti hangat walau keduanya sama sama berat atas kekecewaan yang menimpa. Sesampai di pantai, Utsman turun dari kapal sambil membawa ember ikan dan berjalan dibelakang Bang Denis menuju rumah Babeh Amis, dan pulang kembali ke rumah masing masing dengan upah kecil.
Ketika Malam tenggelam, matahari muncul. Ketika senin diraup ganas oleh selasa, dan ketika waktu berjalan tetapi jiwa terhenti, pasak-pasak di laut biru tetap berdiri angkuh menghalangi para nelayan bumi pertiwi untuk mencari rezeki. Utsman dipaksa sang pasak untuk hidup seperti Bang Denis, berhenti sekolah dan mengais cuan sebagai kuli pengangkut ember ikan di pagi hari dan melaut pada malam harinya. Kerutan di dahinya kian kusut karena permasalahan cuan membuatnya tampak bertahun-tahun lebih tua semenjak hari itu. Para nelayan mulai geram, menamai sang pasak angkuh kejam dengan istilah Pagar Laut. Kapal boleh dihalang oleh pagar laut, namun kebebasan para Nelayan untuk beraspirasi tidak ! Ditemani Babeh Amis, Tauke besar juragan ikan di pesisir, dan para nelayan menggugat isu pagar laut ini kepada pemerintah setempat. Tidak didengarkan? Tak masalah! Bini-bini nelayan siap menggosip lewat whatsapp keluarga, para nelayan siap melakukan unjuk rasa kepada pemerintah, begitu pula Utsman yang siap mengajak mantan teman sekolahnya untuk berpartisipasi memanaskan isu agar tidak diredam. Berharap sampai pada hari dimana para nelayan menangis haru, para bini nelayan bersenandung sambil memasak menyiapkan perjamuan, dan awak awak kapal simpang liur menyiapkan kapal untuk kembali berlayar menyapa penuh rindu samudra yang terlepas bebas dari pagar laut.