Wednesday, March 12, 2025

Cerpen Lomba | Komang Dewi Kusuma Wijaya | Sebilah Bambu dan Laut Pasang

 Cerpen Komang Dewi Kusuma Wijaya


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)



Aku menelan pasang – ditabrakki sampan, diteriakki makian nelayan. Aku membenci nelayan, aku membenci pasang. Puluhan sampan ter-onggok di depanku. Membawa banner bertuliskan ‘KEMBALIKAN LAUT KAMI.’ 

Hatiku teriris ketika melihatnya, aku melihat nelayan-nelayan itu unjuk rasa pada sebilah bambu seperti aku. Aku tak mengerti mengapa mereka menuntut kepergianku. Aku tak mengerti apapun. Aku bukan pencuri lautan. Aku tak mengingat banyak hal, yang kuingat hanya ketika malam itu sekelompok orang membawaku dan memasangku di perairan ini.


***

September 2024.

“Sudah?” Kata salah seorang berjaket tebal di atas sampannya. “Sudah kuat?” Tanyanya mengulang pertanyaannya. Temannya itu pun menggeleng, pria bertubuh gempal itu dengan kasar mengikatku di antara bilah bambu yang lain. Pria itu berada di permukaan laut, celananya basah kuyub. Ia juga bersama seorang temannya yang sama gempalnya menyiksaku. Sementara teman mereka di atas sampan.


“Sudah.”


“Sudah, ayo!” kedua orang itu menaiki sampan. Lalu dengan cepat, mereka memutar balikkan arah sampannya. 


Dari perawakannya yang bersih, putih, dan gempal membuatku menarik kesimpulan bahwa mereka bukan pekerja kasar, mereka bukan nelayan, dan mereka bukan orang yang pandai memainkan sampan.


Aku kesakitan, kulitku tergesek rapuh, mereka mengikatku seolah aku tawanan padahal harusnya mereka yang ditawan. Aku melihat mereka hilang dari pandanganku. Aku tak bisa bernafas. Dikurung di tengah lautan dengan cahaya rembulan adalah seperti penganiayaan. Aku disekap pasang. Aku disekap Tangerang.


Peristiwa malam itu, membuat aku banyak belajar. Semenjak kejadian itu aku banyak mendengar jeritan pasir, ikan-ikan, juga terumbu karang. Sesndainya mereka bisa menggertak, mungkin aku telah tiada. 


Aku sering dimaki nelayan. Katanya, aku merampas hak mereka untuk melaut. Padahal aku hanya sebilah bambu. Bagaima aku bisa mencuri hati seorang Tangerang? Bagaimana cara agar Tangerang tertarik kepada sebilah bambu seperti aku?


***

Entah sejak kapan. Sejak lama sekali, ketika aku mulai berkomunikasi kepada perairan Tangerang. Pagi itu, setelah tadi malam sekelompok pria tikus itu – gemuk, rakus; memenjarakanku. Aku berkenalan dengan Tangerang.


Aku kehausan, terpapar cahaya surya. Di bawah terik matahari, tiba-tiba ia mengguyurku. Tersenyum padaku. Sambil bercakap; ‘selamat pagi!” Aku terpesona akan keindahannya, aku terpesona akan kemolekannya.


Aku menjawab senyumnya dan membalas, “selamat pagi.” Dengan senyumku yang menawan. Aku mulai jatuh suka kepada Perairan Tangerang. Sejak saat itu dia mulai sering menyapaku lewat deburan ombak-nya. Aku mulai sering memerhatikannya.


***

Beberapa hari semenjak kejadian itu, aku mulai sering menyapa Perairan Tangerang – entah memberi senyum manis padanya, atau sekedar mencuri pandang dengan kemolekan-nya. Dia adalah satu-satunya benda mati yang bisa kuajak bicara selain bilah bambu lainnya. Aku senang bisa bertemu Laut Tangerang, tapi aku benci bagaimana cara nelayan memakiku. 


***

Suatu siang di Bulan Januari 2025.


Hari-hariku mulai kuhabiskan untuk menikmati indahnya deburan ombak Tangerang, menikmati cantiknya Tangerang. Dengan beragam biota laut yang ia simpan. Aku juga kerap kali berbicara dengan Tangerang, ia satu-satunya benda mati yang bisa kuajak bicara. Namun sayang, aku bukanlah satu-satunya bambu yang dipasang di Perairan Tangerang. Laut Tangerang juga kerap kali berantawacana mesra dengan teman-temanku.


Namun, aku siapa untuk membuat dia hanya berbicara padaku. Aku hanya sebilah bambu yang dipasang nakal oleh para tikus-tikus itu. Atau aku hanya propaganda? Sangat berbanding terbalik dengan Perairan Tangerang, yang dijadikan obyek wisata, tempat nelayan menggantungkan hidup kemaritiman. Aku siapa untuk disukai Perairan Tangerang?


Namun, keindahan hariku dirusak oleh mereka yang ada dibalik kerusuhan nelayan. Seorang nelayan dengan lantang menyuarakan tentang kepemilikanku – tepatnya, kepemilikan tanah yang kupijak. Ia membawa speaker, memperjuangkan hak-haknya, hak-hak mereka yang hilang. 


“Kami berharap kepada pemerintah, semua transaksi tanah, baik di darat maupun di lautan, dan terkait transaksi tanah baik yang sudah selesai pembayaran, maupun yang tidak selesai pembayarannya harus batal secara hukum.” 


Pria itu berteriak-teriak menyuarakan haknya. Ia diselimuti api – urat nadinya terlihat kasar. Hawa laut yang tenang harus hilang karena mereka. Ia berteriak gusar, memaki pemerintah dengan berani. Ia tak takut pada materi, nelayan bukan pemuja materi. Ia bahkan tak takut jika hilang diculik citra – setidaknya ia berjuang untuk teman-temannya. Dipenuhi suara dukungan masyarakat pesisir. Pakaiannya seperti nelayan, sederhana, compang-camping. Namun gaya orasi-nya bagai mahasiswa yang sedang berdemonstasi.


Pada malam hari, Laut Tangerang kembali menanyakan keadaan-ku. Pertama-tama ketika hari mulai petang, ia tiba-tiba mengguyurku – mengibaskan ombak indahnya ke arahku sembari tersenyum. 


“Selamat sore, Buluh.” Katanya sangat hangat dan lembut. 


Aku membalas senyumannya, “Selamat sore, Laut Tangerang.” Lalu, dengan hangatnya ia mengguyurku dengan ombak-ombak sedang. Dia sangat tahu bagaimana cara merebut hatiku, cara berbicara Laut Tangerang selalu membuatku nyaman.


“Kau tahu Buluh, siapa orang yang tadi berteriak-teriak agar kau pergi?” 


Aku menggeleng, “aku tidak tahu, Laut.”


“Namanya Pak Khalid, dia seorang nelayan. Dia sedang berusaha untuk membatalkan Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) di Laut ini. Namun sayang, kata Menteri Agraria kawasan yang diakui sebagai tanah perusahaan itu masih dalam garis pantai.”


“Tapi, kenapa nelayan-nelayan itu tidak memperbolehkan kepemilikan SHGB itu di tangan perusahaan Laut?” Tanyaku yang seperti tak mengerti apapun.


“Karena dengan adanya kamu, nelayan jadi susah melaut buluh. Kau sering kan dimaki-maki nelayan karena menghalangi jalan mereka?”


Aku mengangguk. Percakapan singkatku dengan Laut Tangerang yang sedikit mencerahkanku. Bahwa kami dibenci masyarakat atas dosa pemerintah.


“Nanti ketika kamu pergi, jangan pernah lupakan aku ya Buluh.” Katanya memohon sembari tersenyum.


“Memang, kenapa aku harus pergi?” Tanyaku polos.


“Nanti, pasti nelayan-nelayan itu berdemo atas kepergianmu. Nanti pasti terpaksa atau tidak, pemerintah akan mencabutmu. Karena, memang kau sudah sangat mengganggu nelayan Buluh.” Terang Perairan Tangerang. 


Aku termenung, memang tak ada yang mengharap kehadiranku.


“Kau jangan menganggap aku berlebihan Buluh. Aku tak mau jika kita berpisah. Tapi aku juga mencintai Indonesia, aku membenci dia yang telah mempertemukan kita.”


Dari percakapanku dengan Laut Tangerang, aku menyimpulkan bahwa mereka memperebutkan Surat Hak Guna Bangunan tanah yang aku pijaki. Orang gila mana yang membeli sebilah bamboo seperti aku? Orang gila mana yang membeli lautan?


***

26 Januari 2025

Aku membenci pemenrintah, yang menyeretku pada konflik agraria. Tapi aku tak pernah membenci mereka yang telah memperkenalkanku pada Perairan Tangerang. Aku berterimakasih telah mengenal Laut Tangerang.


Tapi bagaimana aku juga ikut membenci Laut Tangerang? Aku membenci mereka yang mengkhianati bangsa, aku membenci mereka yang mendzolimi nelayan. Aku tak ingin jahat kepada nelayan. Aku ingin mereka tahu, aku mencintai Laut Tangerang sebagaimana mereka lakukan. Aku membenci mereka yang melakukan transaksi hitam atas tanah yang kupijak. Aku membenci mereka yang sudah membuatku jadi kambing hitam. 


Aku menyayangi nelayan, aku menyukai ketika mereka melaut dan melihat indahnya Tangerang. Aku mulai gusar. Aku harus menerima fakta bahwa tak ada yang menyukai kedatanganku. Tak ada yang mengharap kehadiranku. 


Siang hari ini, seperti biasa aku diguyur surya. Aku melihat mereka mulai mendekatiku, mereka dengan kaos lorang-loreng turun dari kapal dan berenang di laut yang dalam. Aku terkejut, ternyata mereka mendatangiku. Tubuh mereka kekar-kekar, atletis, dan lebih tinggi dari kebanyakan orang Indonesia. Aku tak mengenal mereka.


Mereka berenang santai, sesekali berbicara kepada teman-temannya. Aku terkejut, tiba-tiba saja mereka masuk ke kedalaman – menyelam. Sekitar lima orang itu mengelilingiku. Mereka mengenakan kaos dengan tulisan TNI AL dibelakangnya. 


Dari kedelaman lima meter, mereka menarikku kasar. Setelah aku dicabut aku dilempar ke atas sampan mereka. Selamat tinggal Laut Tangerang. Aku memang sudah memperkirakan perpisahanku dengan Laut Tangerang, tapi aku tak menyangka akan secepat ini. Aku tak sempat berpisah dengan Laut Tangerang. 


Tapi ketika Laut Tangerang bersedih, aku juga bersedih, nelayan juga bersedih. Hanya mereka pemegang materi yang tertawa atas penderitaan kami. Aku menyayangi Laut Tangerang seperti aku menyayangi Indonesia. Tapi karena cintaku yang sama besarnya pada Negara, aku terpaksa meninggalkan Laut Tangerang. Aku tak ingin menjadi properti yang mendukung pengkhianat Negara.


Laut Tangerang, dia adalah teka-teki yang tak bisa kucari. Dia adalah misteri, yang tak kutemukan kisi-kisi. Dia adalah mekar, yang tak bisa kukejar. Dia adalah harapan hidup nelayan. Sedang aku hanya makian. Aku tak bisa mengejar Laut Tangerang.