Cerpen Zahra Rizki Amalia
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Gemersik ombak beradu dengan karang, mengiring langkahku meniti tiap jengkal pesisir putih yang kerap dijadikan tempat menyendiri bagi para melankolis. Desir angin laut yang biasanya membawa aroma garam kini bercampur dengan bau besi berkarat, menyapa indra pembau. Pancaran cahaya jingga dan merah dari ufuk barat menyapa netra, membasuh kulit kuning langsatku sampai berubah menjadi jingga. Namun, seluruh perpaduan indah itu masih tak mempan menghibur hatiku yang perlahan tergores layu. Ombak pecah menabrak pagar baja yang menjulang tinggi di tengah laut, membatasi kehidupan manusia dengan kehidupan lain yang telah saling mengenal selama berabad-abad. Hatiku terkoyak, menatap miris pada pembatas yang dibangun atas dasar perlindungan, tetapi bagi warga Desa Pantai Sagara, itu adalah lubang neraka.
Sejak benda itu berdiri kokoh, kehidupan laut makin suram. Pantai yang terkenal akan elok pemandangannya berganti dengan wajah kusut para nelayan. Semuanya berubah. Ikan-ikan tak lagi mendekat, keramba nelayan kosong, juga jaring-jaring mereka basah tanpa hasil. Setiap hari, para nelayan pulang dengan kecewa alih-alih nafkah.
“Bapak enggak bawa ikan lagi hari ini?”
Aku berbalik badan. Di sana, kujumpai seorang pria paruh baya menunduk lesu dengan jaring kosong di tangan. Seluruh kehidupan bertumpu di pundaknya, perlahan mengikis kulit hingga cairan merah kental berbau amis mengotori pasir putih. Kendati demikian, masihlah sebuah goresan bulan sabit yang ia tunjukkan pada seorang bocah laki-laki di hadapannya.
“Kalau Bapak enggak bawa ikan, berarti buku sekolahku belum bisa ditebus.” Bocah laki-laki itu menghela napas. Hanya sejenak, kemudian kembali tersenyum.
Mataku memandang lemah pada lelehan kulit kepala si bocah laki-laki di sana. Lelehan itu menguap bersama udara, mengikis jejak indah masa depannya. Langit mendadak muram, angin turut serta menerbangkan butiran abu masa depannya agar dunia melihat.
Pemandangan itu menjadi tayangan wajib setiap hari. Seluruh usaha yang kami kerahkan berbuah sia-sia. Orang-orang di kursi emas itu tak mempedulikan kami. Mereka pandai menyampul mulut mereka dengan susunan kata indah dan manis, berusaha mengelabui orang-orang di gubuk layu.
Di tengah lamunan itu, aku merasakan seseorang menyapa bahuku. Lantas, aku menoleh, menjumpai wajah pria renta yang selalu kurindukan kehadirannya setelah ibu. Semenjak pagar laut menjulang, jejak ayah jarang kutemui di rumah, senyum dan tawa yang ia lukis pun tak pernah lagi tulus. Mataku berair, menelisik tajam si pembatas sialan yang telah merenggut seluruh kebahagiaan warga desa.
“Kapan pemerintah mengurus pagar laut itu, Ayah? Kita enggak bisa diam terus!” Raunganku beradu dengan deburan ombak yang menabrak karang. Pagar laut itu bukan hanya merugikan warga desa karena berkurangnya hasil tangkapan nelayan, tetapi juga membuat kenangan tentang ibu semakin asing dan hampa.
Tangan renta ayah bermain di pucuk kepalaku, berusaha mengurai nestapa yang sudah terlalu banyak. “Suara kita kecil. Kita enggak punya pengeras suara.”
“Mereka enggak akan dengar suara kita,” lanjut ayah, dia berpaling memandangi lautan. “Biar laut saja yang bersuara.”
Aku tahu ayah lelah. Kuikuti langkah beratnya yang berlabuh ke batu karang. Ayah duduk bersandar di sana. Tatapannya kosong menyapu lautan sejauh yang dia mampu. Meskipun diam, aku tahu ayah banyak menyimpan harapan yang telah pupus dari netra beratnya. Bahunya naik-turun dengan ritme lambat, menopang beban hidup tanpa memiliki sandaran yang pasti selain Tuhan.
Aku tak bisa diam saja. Aku harus melakukan sesuatu agar warga Desa Pantai Sagara kembali mendapat sandaran hidupnya.
###
Muak dengan seluruh tekanan dari pembatas baja itu, kini aku berkumpul bersama pemuda desa lainnya untuk menyuarakan pendapat kami. Masa bodoh jika ayah mengatakan bahwa suara kecil kami tak akan didengar hanya karena kami tidak memiliki pengeras suara. Apa pun yang akan terjadi nanti, setidaknya sudah ada usaha yang kami lakukan.
Kami melantangkan seluruh protes sembari membawa papan dan spanduk yang berisi tulisan-tulisan sarkas tepat di depan gedung walikota. Para pejabat berjas itu keluar dari dalam gedung. Api di dadaku yang sudah padam kembali berkobar melihat ekspresi santai tak bersalah dari wajah orang-orang di kursi emas itu.
Satu per satu dari kami mulai bersuara mempertaruhkan nyawa. Urat-urat nadi menonjol ingin ikut serta menggambarkan bagaimana hancurnya kehidupan di bawah tangan mereka.
“Pagar itu dibuat untu melindungi desa dari badai,” kata salah seorang pejabat berdasi hitam.
“Melindungi kami dari badai, tetapi membiarkan kami kelaparan!” balasku dengan suara bergetar. Aku menarik napas, menahan air yang hendak menyungai ke pipi. “Kami tidak butuh perlindungan dari badai! Kami hanya butuh laut kami kembali!”
“Tidakkah kalian berpikir berapa nyawa yang akan terlantar akibat pagar itu? Para nelayan terpaksa melaut lebih jauh, tentu nyawa mereka semakin dekat dengan kematian! Akan semakin banyak anak terlantar dan kelaparan, bahkan tidak mampu mendapat pendidikan yang layak.” Aku tak bisa lagi menahan. Air mataku berlalu begitu saja membentuk lajur di pipi bak aliran sungai.
“Apa ini memang rencana kalian?”
Namun, sekeras apa pun kami melawan, para pejabat itu tetap geming. Mereka menertawakan kami. Hanya kecewa tanpa hasil yang kami dapat. Ternyata ayah benar, kami tidak memiliki pengeras suara.
###
Buah dendam dalam dadaku semakin banyak. Akal sehatku terkubur semakin dalam oleh tanah merah panas. Pagar baja itu tampak seperti raksasa besar yang mengepung. Jika aku tak bisa berbicara langsung, maka aku harus berbicara dengan cara lain.
Kuraih ponselku yang tergeletak di pasir. “Tolong bekerja samalah.”
Aku mulai merekam bukti. Dimulai dari para nelayan yang pulang melaut dengan tangan kosong, mewawancarai para nelayan yang mengaku kesulitan ekonomi karena berkurangnya hasil tangkapan, lalu para ibu rumah tangga yang protes akan kenaikan harga ikan.
Seluruh bukti itu kusebar di media sosial. Dalam hitungan hari desaku viral. Orang-orang di luaran banyak menaruh simpati, bahkan mereka terang-terangan menuntut dan berkomentar sarkas kepada para pejabat agar pagar laut segera dihancurkan.
Tekanan publik akhirnya berhasil meluluhlantakkan hati para pejabat. Pemerintah setuju untuk meninjau ulang proyek tersebut. Para peneliti pun mengungkapkan jika pagar laut justru menimbulkan lebih banyak dampak negatif bagi ekosistem alam.
Pagi itu, kami tak akan lupa dengan suara dentuman keras yang disusul oleh runtuhnya pagar pembatas tersebut. Anak-anak kecil bersorak riang, para nelayan menangis bahagia karena laut mereka telah kembali.
Di tengah kebahagiaan itu, aku merasakan tubuhku dipeluk secara tiba-tiba. Leherku basah akibat tangisannya.
“Laut kita kembali, Nak ….”
Kehangatan mentari pagi ini menjalar dalam dadaku tatkala netraku merekam senyum paling tulus yang ayah miliki. Aku melepas pelukan ayah. Kulangkahkan kakiku dengan ceria menuju ombak.
“Kuharap, laut memberi pelajaran bagi mereka.”