Wednesday, March 12, 2025

Cerpen Lomba | Muhammad Fachri Kurniawan | Pagar Laut yang Hilang

 Cerpen Muhammad Fachri Kurniawan


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)






Pagi itu, angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Di pesisir Kota Lautan Harapan, masyarakat sudah mulai beraktivitas, dengan suara ombak yang saling berkejaran di pantai. Kota ini seakan hidup dalam kedamaian, namun di balik keindahan itu, ada sebuah kisah kelam yang tidak tampak oleh banyak orang—kisah tentang pagar laut yang dibangun oleh pemerintah setempat, yang ternyata bukan untuk melindungi, melainkan untuk merugikan.


Beberapa bulan sebelumnya, Wali Kota Lautan Harapan, Bahlul Prakoso, mengumumkan sebuah proyek besar yang akan melindungi kota dari erosi pantai yang semakin parah. Di hadapan ribuan warga, dengan gaya retorika yang memukau, ia berkata, "Pagar laut ini adalah solusi terbaik untuk menjaga agar kota kita tidak tenggelam. Investasi besar ini akan memberikan perlindungan bagi seluruh masyarakat."


Para warga, yang sangat mencintai kota mereka, percaya penuh pada kata-kata Bahlul. Mereka menganggap bahwa Wali Kota mereka adalah pahlawan yang akan melindungi mereka dari ancaman erosi yang mengintai. Pembangunan pagar laut pun dimulai dengan semangat besar dan harapan tinggi.


Namun, ada satu orang yang meragukan niat Bahlul. Anies, seorang jurnalis muda yang bekerja untuk surat kabar lokal, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia tidak pernah begitu mudah terbuai oleh janji-janji manis. Dengan penuh rasa curiga, Anies mulai menyelidiki proyek pagar laut tersebut. Ia menggali informasi tentang anggaran yang digunakan, kontraktor yang terlibat, dan pihak-pihak yang mendapat keuntungan dari proyek ini.


Hasil penyelidikannya sangat mengejutkan. PT Sumber Jaya, perusahaan yang ditunjuk untuk membangun pagar laut, ternyata tidak memiliki pengalaman dalam membangun proyek besar. Lebih buruk lagi, Anies menemukan bahwa pemilik PT Sumber Jaya adalah teman dekat Wali Kota Bahlul. Ia juga menemukan bahwa sebagian besar dana proyek telah dialihkan dalam bentuk "biaya administrasi" yang tidak jelas, dan banyak uang yang mengalir ke rekening pribadi para pejabat, termasuk Bahlul.


Dengan bukti-bukti yang ada, Anies menulis sebuah laporan yang mengungkapkan kebusukan di balik proyek pagar laut tersebut. Di judul besar, ia menulis: "Pagar Laut: Perlindungan atau Penipuan?" Artikel itu segera dipublikasikan di surat kabar lokal.


Namun, bukannya mendapat dukungan, Anies justru mendapatkan serangan balik dari warga. Mereka yang sebelumnya mendukung proyek pagar laut itu merasa tersinggung dan terhina dengan tuduhan yang dilontarkan Anies. "Kamu ini hanya pengkhianat! Wali Kota Bahlul sudah bekerja keras untuk kita!" teriak salah satu warga. Banyak yang mencaci dan menganggap Anies sebagai orang yang tidak tahu berterima kasih atas apa yang telah dilakukan Bahlul.


Suara-suara pendukung Bahlul semakin menggema. "Dia hanya ingin menghancurkan kota kita!" kata mereka. Bahkan beberapa dari mereka mulai memboikot surat kabar tempat Anies bekerja. Suasana di kota berubah menjadi tegang. Warga yang dulu penuh harapan kini berbalik mencibir Anies, yang dianggap telah mencoba merusak nama baik wali kota mereka.


Anies merasa kesepian dalam perjuangannya. Walaupun ia menghadapi ancaman dan penghinaan, ia tetap tidak mundur. Ia tahu bahwa kebenaran harus diungkap, tidak peduli betapa beratnya konsekuensinya. Namun, di tengah semakin banyaknya ancaman terhadap dirinya, tiba-tiba ia menghilang.


Pada malam yang gelap, Anies diculik. Beberapa hari kemudian, kota digemparkan dengan berita bahwa Anies hilang tanpa jejak. Warga yang semula mencaci Anies kini mulai merasa khawatir, namun kebanyakan dari mereka tetap percaya pada Bahlul. Mereka tidak menghubungkan hilangnya Anies dengan pemerintah, meskipun banyak tanda yang mengarah ke sana.


Proyek pagar laut terus berjalan, meskipun kualitasnya semakin buruk. Pagar laut yang dibangun dengan tergesa-gesa itu tidak hanya tidak dapat melindungi pantai dari erosi, tetapi malah memperburuk keadaan. Bagian-bagian pagar mulai retak dan roboh, namun tidak ada yang berani membicarakannya secara terbuka. Warga tetap dibuai dengan klaim Bahlul bahwa semuanya akan baik-baik saja.


Ketegangan semakin meningkat. Warga mulai merasakan ada yang aneh, namun kebanyakan dari mereka masih enggan untuk berbicara. Mereka takut akan dihukum oleh pemerintah jika bersuara. Bahkan, sebagian dari mereka masih merasa bahwa Bahlul adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkan kota mereka.


Hingga pada suatu malam yang sangat menentukan, bencana itu datang. Ombak besar yang tak terduga datang menghantam kota. Pagar laut yang dibangun dengan buruk itu runtuh, menghancurkan sebagian besar wilayah pantai. Rumah-rumah yang berada di dekat pagar itu hancur, dan beberapa orang kehilangan nyawa. Pemandangan itu seolah mengingatkan mereka pada peringatan yang selama ini diberikan oleh Anies—bahwa pagar laut tersebut hanyalah sebuah kebohongan.


Ketika debu mulai mereda dan warga mulai melihat kenyataan yang begitu pahit, mereka mulai sadar. Mereka sadar bahwa apa yang selama ini dikatakan Anies adalah benar. Pagar laut yang mereka percayai sebagai pelindung ternyata hanya sebuah kebohongan yang menelan banyak korban. Mereka mulai menyadari bahwa mereka telah dibohongi oleh Wali Kota Bahlul dan para pejabat yang terlibat dalam proyek itu. Mereka merasa tidak hanya kehilangan rumah dan harta, tetapi juga kehilangan kepercayaan pada sistem yang seharusnya melindungi mereka.


Warga yang sebelumnya mencaci Anies kini menyesali sikap mereka. Mereka menyadari bahwa mereka telah menyalahkan orang yang berjuang demi kebenaran. Dengan marah dan penuh penyesalan, mereka mulai berkumpul. Mereka menuntut agar Bahlul segera ditangkap dan diadili atas kebohongan yang telah menelan begitu banyak korban.


Namun, yang lebih mengejutkan, ketika pihak berwenang mulai menyelidiki kasus ini, mereka menemukan bahwa Anies telah menghilang tanpa jejak. Beberapa saksi mengungkapkan bahwa mereka melihat Anies terakhir kali diinterogasi oleh pihak pemerintah. Mereka mulai merasakan ketakutan yang dalam. Apa yang sebenarnya terjadi pada Anies? Apakah ia dibungkam oleh pemerintah untuk menjaga rahasia ini tetap tersembunyi?


Dengan suara bulat, warga mulai menuntut agar Bahlul segera ditangkap. Mereka menyerukan agar keadilan ditegakkan dan agar Anies diberi penghormatan atas keberaniannya. Mereka berjanji untuk tidak lagi membiarkan kebohongan seperti ini terjadi.


Akhirnya, setelah berbagai bukti terungkap, Wali Kota Bahlul dan beberapa pejabat terkait ditangkap. Proyek pagar laut dihentikan, dan dana yang disalahgunakan akhirnya dikembalikan. Namun, bagi warga Lautan Harapan, luka itu tidak akan pernah sembuh. Mereka telah kehilangan lebih dari sekadar rumah dan uang. Mereka kehilangan kepercayaan pada sistem yang seharusnya melindungi mereka.


Anies, yang akhirnya ditemukan dalam keadaan selamat namun terluka, merasa lega karena perjuangannya tidak sia-sia. Meskipun ia telah dibungkam dan diculik, kebenaran akhirnya terungkap. Warga yang dulu mencacinya kini berdiri di sisinya, berjanji untuk tidak pernah lagi membiarkan kebohongan seperti ini terjadi. Namun, walaupun keadilan akhirnya ditegakkan, Anies tahu bahwa korban terbesar dari kebohongan ini adalah masyarakat yang terlalu percaya pada pemimpin mereka tanpa pernah mempertanyakan niat di balik kata-kata manis tersebut.