Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Putri Tari Lestari | Desa Sawana

 Cerpen Putri Tari Lestari


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)






“Sstt! Coba lihat tuh, dia mulai berdiri di sana lagi.”


Segerombol ibu-ibu yang sedang membersihkan ikan di tepi dermaga saling berbisik, sesekali mereka melirik ke arah Janovar. Seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang berdiri di ujung pasir, dia betah untuk tak bersua laksana sebuah patung, tatapannya tegar dan hanya lurus ke arah laut yang dipagari beton. 


Katanya, Desa Sawana adalah tempat di mana laut dan manusia berbisik satu sama lain. Angin laut itu berembus membawa aroma garam yang melekat di udara. Lalu di bibir pantai, perahu-perahu kayu tertambat, layarnya bergoyang pelan mengikuti ombak yang terus bergerak.


Saat matahari menggantung rendah di cakrawala, para nelayan sibuk dengan jala, seperti menggulung benang yang kusut, mengikat simpul-simpul yang mengendur, dan menambal bagian yang robek akibat tergesek karang. Beberapa orang juga tengah mengasah pisau untuk membersihkan ikan, sementara yang lain menata umpan dalam wadah anyaman bambu. 


“Mungkin Janovar rindu ayahnya.” Salah satu di antara mereka berbisik lagi, namanya Ibu Sinta, dia mengatakan itu pada seseorang yang berada paling dekat dengannya.


“Ayahnya nelayan juga?” Adelia, yang sebelumnya dibisiki oleh Ibu Sinta, memberikan pertanyaan yang terdengar wajar bagi semua orang. Dia hanyalah seorang pendatang berusia dua puluh tahun yang sekarang sedang kuliah, lebih tepatnya datang ke Desa Sewana ini untuk liburan bersama teman-teman sebayanya.


“Iya, Nak,” jawab Ibu Sinta, “Tapi sudah meninggal. Tanpa jasad.”


“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, saya boleh tau lebih detailnya enggak, Bu?” tanya Adelia.


“Pagar laut bikin kita muter, Nak. Lima tahun lalu, ayah Janovar pulang sangat lama, padahal sebelum ada pagar laut, lumrahnya satu hari sudah pulang. Dan berubah jadi berturut-turut paling lama tiga hari. Tapi ayah Janovar belum pulang juga sampai satu minggu, dua minggu, tiga minggu. Tepat satu bulan, Pak Kades anggap kalau ayah Janovar sudah meningggal dan enggak mungkin selamat.” Cerita dari Ibu Sinta membuat ibu-ibu yang lain ikut mendengarkan.


“Terus gimana sama ibunya Janovar sekarang?” Adelia tanya lagi.


“Siapa pun pasti marah ketika dikasih kabar duka, Nak. Ibu Janovar juga menyalahkan pagar laut yang dibangun. Tapi kita juga enggak bisa berbuat apa-apa, sampai sekarang dia enggak pernah mau bersosialisasi, dia enggan bicara sama semua orang,” jawab Ibu Sinta.


“Sepertinya kena gangguan jiwa sama kayak Janovar, sudah berusia dua puluh tahun malah jadi pengangguran enggak jelas ....”


“Ssttt! Enggak boleh ngomong begitu, ah!” Ibu Sinta melempar sebuah ikan pindang ke arah salah satu temannya yang menyinyir sembarangan. 


“Saya enggak salah, Bu. Lihat saja baju Janovar, enggak pernah diganti sejak lima tahun lalu, itu-itu saja,” sahut seseorang yang kena lemparan tersebut.


Sedangkan Adelia kembali menatap ke arah Janovar dengan seksama. “Tapi Bu Sinta juga benar. Kita enggak tahu seberat apa rasanya berada di posisi mereka,” katanya.


“Iya sih, mereka enggak suka bergaul, hanya menyapa singkat. Pokoknya mereka seperti hidup di tengah hutan, jarang ikut kumpul begini.” Ibu yang dilempari ikan tadi menyinyir lagi.


Adelia hanya menganggukkan kepala sebelum beranjak pergi dari situ. “Saya pamit dulu ya, Ibu-ibu. Sudah kelamaan pisah sama teman-teman,” ujarnya.


“Iya silahkan, Nak Adel. Semoga enggak jera datang ke sini ya,” sahut Ibu Sinta sambil tertawa kecil.


Suara orang-orang di sekitar pesisir masih terus menggema di udara, bercampur dengan deru ombak yang tak henti bergerak. Sejak awal, Adelia memang berniat menghampiri Janovar dulu, sehingga dia merealisasikan keinginan itu dan berdiri di sebelahnya. "Nak Janovar, ya?” Adelia memulai.


Janovar menoleh sebentar, lalu kembali menatap lurus ke arah struktur beton yang berdiri di antara laut. Pagar laut itu menjulang kaku, berbaris tanpa jiwa, seakan memisahkan mereka dari samudra yang sejak dulu menjadi bagian hidup.


“Nak Janovar masih sekolah? Kelas berapa?” Adelia tanya lagi, berusaha menciptakan suasana yang nyaman.


“Kelas tujuh.” Akhirnya Janovar menjawab, Adelia pun merasa senang.


Artinya masih SMP? Tapi kenapa ibu-ibu tadi bilang kalau usia Janovar sudah dua puluh tahun? Sejenak Adelia terdiam, sambil meneliti seseorang di sebelahnya. Dia memang terlihat seperti anak remaja seusia menengah pertama, siapa pun pasti bisa membedakan jenis manusia yang mulai berkepala dua.


“Janovar menunggu siapa di sini?” Meski agak aneh, Adelia mencoba untuk terus berbincang lebih.


“Mama,” jawab Janovar.


“Apa?”


“Umur Janovar lima belas tahun, padahal sudah lima tahun.”


“Eh? Maksudnya?”


“Panggilkan Mama.”


Remaja berbalik dan menunjuk salah satu rumah panggung yang ada di belakang mereka. Adelia pun berpikir sejenak, antara ingin percaya dengan obrolan masyarakat setempat, atau mencoba untuk memastikannya sendiri. “Sebentar ya.” Lantas pilihan Adelia adalah mengiyakan permintaan Janovar.


Kini dia sudah berdiri di depan sebuah pintu tua, mengetuknya, menunggu dibuka. Akan tetapi tidak diterima. Mungkin pilihan Adelia salah, tidak seharusnya dia melakukan ini, ucapan para ibu-ibu tadi pasti benar. Maka gadis itu berencana putar balik, sebelum bunyi kriieeett sebagai pertanda sebuah pintu telah dibuka.


Adelia kembali. Pada celah pintu tanggung, pada sang tuan rumah panggung, pada wanita lelah yang berjubah mendung. Mata mereka bertemu antara sorot yang tenang dan penuh keceriaan, dan juga sorot kelam yang membuat raga orang itu seakan telah tenggalam musnah.


“Permisi, Bu. Maaf itu anaknya manggil,” ujar Adelia.


Pintu pun terbuka lebar. “Anak siapa?” tanya Ibu Janovar.


“Anak Ibu. Janovar,” jawab Adelia.


“Ja … Janovar?” Respons dari wanita tersebut tampak kurang baik, setidaknya itu yang ia tunjukkan pada Adelia yang berubah kebingungan. “Janovar ikut cari ikan sama ayahnya,” ujar Ibu Janovar.


“Eh, tadi ada di ....” Ketika Adelia berusaha menunjukkan letak keberadaannya, remaja yang ada di pinggir pesisir sana tidak ada.


Janovar menghilang.


“Janovar enggak pernah pulang lagi, sudah lima tahun.” Ucapan itu membuat Adelia kembali menatap ke arah wanita di depannya.


Ini sebenarnya yang gila siapa? Aku? Dia? Atau mereka semua yang ada di sini? Adelia jadi bertanya-tanya, rasanya ada yang aneh.


“Pagar laut itu penyebabnya! Pagar laut itu membuat bencana!” Ibu Janovar menunjuk ke bangunan besar yang tertancap di laut, Adelia pun melihat hal serupa, terdiam dalam isi pikiran yang berkecamuk.


“Del!”


“Adel!”


“ADELIAAAA!”


“Hah? Eh?” Sampai dia tersadar ada yang memanggilnya dari bawah, kepala Adelia tertunduk, lalu dia menemukan temannya bersama tiga orang pria yang berprofesi sebagai penjaga pantai.


“NGAPAIN DI SITUUU? TURUN, DEL!” Nata teriak lagi.


“Iya, iya, ini tu ....” Adelia terdiam lagi saat menyadari wanita yang bersamanya tadi menghilang bersama pintu yang masih terbuka. “Astagfirullah.” Dia kaget sekali. Isi rumah itu kosong, benar-benar kosong.


Kepalanya pun bergerak mengintai seluruh area di pesisir. Sepi. Tidak ada satu pun penghuni. Adelia menelan ludah. Kakinya perlahan mundur, seakan takut menginjak sesuatu yang seharusnya tak tersentuh. Rumah-rumah reyot di sekelilingnya berdiri bisu, jendela-jendelanya menganga seperti mata kosong yang mengawasi. 


Perahu tua, tiang-tiang kayu yang patah, dinding-dinding dengan lumut menghitam menebarkan aroma lembap yang menusuk. Angin pun mendadak berhenti. Udara jadi berat. Seolah tempat ini baru saja mengusirnya pergi. Atau mungkin sebaliknya, tempat ini baru saja menyadari keberadaannya. 


Perlahan, Adelia merapatkan tangannya ke dada, berusaha mengatur napas. Jantungnya berdegup kencang, semakin liar saat matanya menangkap sesuatu. Sebuah papan besar tertancap di sela kayu-kayu yang lain, berdiri mencolok di antara reruntuhan. Di sana terukir untaian kata yang catnya sudah pudar, sebagian hurufnya mulai mengelupas, tetapi masih cukup jelas untuk dibaca. 


Tulisan itu adalah, Mengenang Tragedi Tsunami Desa Sawana (*)