Cerpen Farida Utami
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Nyonya Lesmono mendesah pelan. Matanya lelah. Lebih kepada lelah batin. Dan akhirnya … rembang air mata itu luruh. Kepalanya yang beruban, menunduk dalam.
Dengan sudut kebaya katunnya yang berkutubaru , perempuan itu menyusut sudut matanya. Bagaimana bisa semua menjadi seperti ini? Ya Tuhan, semoga keputusanku ini adalah hal terbaik.
Wanita berkonde itu, melangkah dari ruang keluarga yang besar dengan langit-langit bambu yang berjajar rapi terikat tali ijuk hitam. Taklupa mematikan kipas angin baling-baling, yang ditanam permanen pada sebuah soko guru rumah. Meninggalkan pemukiman tenang dan nyaman di kaki Gunung Bromo. Perjalanan ini akan panjang dan melelahkan.
***
Pasir laut yang terinjak kaki mereka, menggelitik lembut kaki-kaki telanjang. Pemukiman penduduk mengepung cantik sepanjang pantai, dengan rumah-rumah sederhana, memberikan aura akrab dan hangat.
Bersama dengan beberapa orang, kebanyakan wanita bersama anak-anak, ibu muda itu bersisian dengan anak lelakinya. Berdiri di bibir pantai dengan keranjang kosong.
Sementara itu Lesmono, lelaki muda yang perkasa, bersama tiga temannya, mengarahkan perahu menuju mereka. Wajah mereka sumringah karena hasil tangkapan semalam sangat banyak. Ikan-ikan itu memenuhi lantai perahu, menggelepar-gelepar menolak ditangkap.
“Banyak hasilnya, Mas,” teriak Prihatin kepada Lesmono, suaminya.
“Iya, Dik. Puji syukur kepada Tuhan,” teriak Lesmono mencoba mengalahkan suara deburan ombak.
Semua bersorak, mengucap syukur kepada-Nya sesaat setelah melongok ke dalam perahu. Bersama-sama saling bahu membahu memasukkan ikan ke dalam keranjang.
“Banyak tangkapan hari ini, Bang,” ujar seorang warga.
“Iya, Mang Jajang. Kita bisa bernapas lega. Mari … mari,” sahut Lesmono.
Semua tersenyum lebar. Tuhan memberi mereka hasil laut dengan berlimpah kali ini. Bakal tuntas semua tunggakan bulan ini. Maturnuwun Gusti …. Lesmono mendesah sembari menatap langit, seolah di langit itu, dia bisa melihat wajah Tuhan.
“Bakal lunas uang sekolah Sardono bulan ini, Mas,” ujar Prihatin tiba-tiba di sebelah Lesmono, dengan lembut.
“Iya, Dik.”
Mereka bahagia. Banyak hasil untuk dinikmati semua orang.
“Kita cukup dengan itu, Dik?” tanya Lesmono sembari menunjuk salah satu bakul dengan tumpukan ikan segar yang sesekali menggelepar.
“Cukup, Mas,” sahut Prihatin bahagia.
“Pak, kenapa Bapak tidak ambil ikan-ikan itu? Bukankah mereka tidak ikut menebar jaring di lautan?” tanya Sardono tak puas.
Lesmono dan Prihatin saling memandang. Sudah beberapa kali anak lelaki mereka yang mulai akil balig, menanyakan hal itu.
“Takperlu berlebih, Nak. Serakah itu namanya. Tidak perlu menimbun, cukupkan kebutuhan untuk hari ini. Besok ada ceritanya sendiri.”
Sardono diam saja, takberani membantah, tetapi hatinya tak ikhlas melihat orang-orang yang tak menangkap ikan, ikut menikmati hasil kerja bapaknya. Prihatin memperhatikan itu semua, serta menyimpan perkara itu rapat-rapat dalam hati.
***
Kereta malam dari Malang semakin mendekati ibukota, menjelang subuh. Gelap malam masih menyisakan misteri hitamnya dimana-mana. Azan subuh juga masih lama menunggu waktu untuk dkumandangkan. Jakarta … aku pulang, desah Nyonya Lesmono resah. Kedua tangannya semakin erat memeluk tas tangan warna coklat di pangkuannya, seolah ada sesuatu yang begitu berharga di dalamnya.
Jika bisa memilih, wanita sepuh dengan jaket rajut tebal itu, tak ingin melakukan semua ini. Semua yang terjadi tidak ada dalam doanya. Tidak dulu saat memutuskan untuk meninggalkan Jakarta, pun kini. Wajahnya keruh. Jika aku bisa memilih, ahhh ….
Tak satupun kata yang hilang dari ingatan tuanya, kala Sardono mengedepankan ide gilanya, tahun lalu. Pendirian anak lelakinya itu seolah tak tergoyahkan, bahkan ketika keberatan itu terucap dari Nyonya Lesmono, orang tua satu-satunya, usai kematian bapaknya karena serangan jantung.
Ada percakapan panjang mengenai hal itu. Dan hasilnya semakin menguatkan keputusannya.
“Saya akan tetap melakukannya, Bu,” ujar Sardono keras kepala.
“Kamu tidak punya hak untuk melakukannya, Nak!”
Suara Nyonya Lesmono tegas menegur anak lelakinya.
“Apa yang tidak bisa dilakukan bila kita punya kuasa, Bu?”
“Kamu melanggar hukum alam, Ngger . Itu milik-Nya! Dia tidak menciptakan laut untuk kau nikmati sendiri! Bisa muntah darah kamu!”
Ada jeda panjang dalam percakapan udara mereka. Masing-masing berdiri teguh dalam pendiriannya. Nyonya Lesmono merasa gagal sebagai orang tua, kala membaca di media, bagaimana serakahnya anak lelaki satu-satunya bertindak.
Memagari lautan dimana mereka dan orang-orang lain menggantungkan hidup selama ini? Hasil laut? Pasir? Terumbu karang? Gila! Sungguh gila! Bagaimana mungkin lautan yang menghidupi banyak kepala selama ribuan tahun, hendak diambil dan dimilikinya sendiri.
“Kekuasaanmu itu hanya titipan, Nak. Sewaktu-waktu bisa diambil.”
Suara Nyonya Lesmono melembut mencoba mengingatkan kembali anak lelakinya.
“Siapa yang berani mengambilnya, Bu?” potong Sardono cepat.
Ya Tuhan … apakah suara yang di seberang sana, benar-benar milik Sardono, anakku?
“Takabur kau, Nak!” hardiknya keras.
Nyonya Lesmono muntab. Dada kirinya terasa ditarik dengan kasar. Sakitnya hingga ke punggung. Gawai di tangannya terlepas, tetapi masih didengarnya anak lelakinya berkata-kata dalam nada tinggi, mengungkit semua perbuatan bapak dan ibunya di masa lalu yang “tidak pernah” mencukupinya.
“Saya tidak suka Bapak dan Ibu selalu berbagi dengan orang-orang itu! Mereka tidak bekerja, Bu! Bapak yang bekerja! Mengapa masih membela orang malas? Kemalasan itu membuat mereka miskin!
Gara-gara Bapak dan Ibu yang selalu memberi, mereka jadi malas. Jadi salahkan sikap Bapak dan Ibu yang memiskinkan mereka!”
“Astagfirullahaladzim.”
Serak suara Nyonya Lesmono menyiratkan kepedihan. Perlahan, tubuh tuanya ikut jatuh tersimpuh di atas lampit ruang tamu. Semua memori tentang masa lalu, kembali menerjang ingatannya. Ketidak-puasan Sardono kecil, atas rasa murah hati orangtuanya yang diungkit-ungkit dalam gugatan bernada keras, terus terdengar dari gawai hingga akhirnya kegelapan membekapnya, lalu suara itu menghilang.
Berita tentang Nyonya Lesmono yang terkena serangan jantung, bahkan sudah didengar Sardono, tetapi dia bergeming. Walaupun kadang terselip ragu karena keberatan ibundanya tetapi langkah untuk menguasai tetap dilanjutkannya. Terlalu sayang bila kesempatan untuk hidup “lebih cukup” hilang. Aku sudah kenyang menahan keinginan, Pak-Bu. Maaf.
Keras kepala Sardono menurun dari ibunya. Hanya dua hari Nyonya Lesmono bertahan di rumah sakit. Begitu jarum-jarum infus terlepas, wanita berambut penuh uban itu “memaksa” pulang.
Selama dua hari terbaring, pikiran untuk melakukan hal itu terbetik dalam benak Nyonya Lesmono. Bila kau tetap keras kepala, maka Ibu harus bertindak, Ngger.
Dan di sinilah Nyonya Lesmono subuh itu. Segelas kopi hitam tanpa gula yang disesapnya di salah satu depot stasiun, sedikit mengurangi ketegangannya. Malah pekatnya kopi di lidahnya memunculkan ide lain yang semakin memantapkan rencananya.
Nyonya Lesmono terdiam. Perlahan mengisi perutnya dengan sepiring nasi dan lauk. Sesekali dia menghela napas panjang. Memori, amarah, ketakutan; semuanya berputar-putar di kepalanya. Mas Lesmono, aku merindukanmu. Anakmu, Mas, aku tidak bisa menjaganya lagi.
Matanya memerah, menyimpan gejolak hati. Tangan wanita dengan jaket rajut itu, semakin erat memeluk tas tangan warna coklat. Di dalamnya ada “sesuatu” untuk buah hatinya, Sardono.
Usai makan, tangannya yang gemetar mengetikkan sebaris kalimat di atas gawai. Ibumu di Jakarta, temui di Café Kemuning. Pukul sembilan hari ini. Ada berkas yang ingin Ibu berikan kepadamu.
Setitik rindu menggeliat di hatinya, saat mematikan gawai. Ada wajah dua cucu kembarnya tampak di layar. Maafkan Eyang Putri, tidak menemui kalian. Nyonya Lesmono menghela napas sekali lagi, sebelum keluar dari depot di stasiun itu.
Langkahnya perlahan tetapi pasti. Tubuhnya yang sedikit bungkuk berjalan dengan cepat menuju taksi online yang dipesannya. Takada bawaan lain, selain tas warna coklat itu, karena sedari awal, dia tidak berniat untuk bermalam di kota besar ini.
***
Takada basa-basi saat keduanya bertemu. Nyonya Lesmono menatap kedua pupil mata anaknya. Dia melihat dirinya sendiri. Sesaat niatannya goyah. Tetapi demi dilihatnya garis tipis bibir anaknya, wanita itu yakin dengan tujuannya semula.
“Kau mau pesan apa, Ngger?”
“Tidak usah, Bu. Aku tergesa-gesa.”
“Bahkan untuk sekadar menyesap secangkir kopi dengan ibumu? Setelah lima tahun tak jumpa?”
Sardono terdiam. Sesaat kemudian dipesannya kopi hitam untuk mereka. Tatapan tajam wanita yang telah melahirkannya itu terlihat tenang, dan dalam.
Nyonya Lesmono mengeluarkan map kertas. Saat pramusaji mengantar dua cangkir kopi, wanita itu sengaja menyenggol tangan pramusaji, hingga satu cangkir kopi hitam itu tumpah sedikit di atas berkas-berkas.
“Maaf, maaf.”
Berkali-kali pramusaji itu meminta maaf dan bermaksud membersihkan dengan lapnya.
“Jangan! Jangan dibersihkan dengan lap itu. Don, ambil tissue di sudut itu!” titahnya.
Sardono yang sempat melirik isi map itu bergegas pergi. Dia tahu, isinya sertifikat tanah. Ibu pasti hendak mewariskannya padaku, batinnya girang. Saat pramusaji dan Sardono menjauh dari meja itu, tangan Nyonya Melisa bergerak cepat.
Menit-menit yang berlalu kemudian, menaikkan detak jantung wanita itu. Dia tetap menyesap kopi hitam itu, pun Sardono. Apakah sudah bekerja, atau karena jantungku kembali bermasalah? Dia mencoba terus menjelaskan tentang isi map itu. Tetapi semakin lama, detak jantungnya semakin cepat. Kerongkongannya terasa tercekik. Wanita itu menenggak habis kopi hitamnya karena rasa haus yang luar biasa. Perlahan dunianya menggelap.
Sardonopun demikian. Sebelum busa menyembur dari mulutnya, dan kemudian tersungkur; dia masih sempat melihat mulut ibunya juga berbusa. Tetapi masih bisa dilihatnya bagaimana ibunya tersenyum tipis, dan matanya memancarkan rasa sayang yang berduka, seolah mengatakan selamat tinggal. Sedetik, hanya sedetik, Sardono sadar apa yang telah diperbuat ibunya. Kemudian dunianya gelap.
Hanya tersisa tas coklat dengan beberapa barang Nyonya Lesmono, dan tabung kecil di dalamnya. Sementara itu, sertifikat di atas meja, hanya menyimpan tulisan di halaman pertama. Halaman lainnya kosong. Di halaman ke empat tertulis: aku telah menjaga keadilan dan nurani anakmu, Mas.
___________
Keterangan:
- kutubaru: secarik kain yang menghubungkan lipatan kebaya di bagian dada
- soko guru: tiang utama atau penyangga rumah yang berfungsi untuk menopang