Cerpen Predianto
Sejak turunnya harga porang, petani porang di Ponorogo merasa rugi. Kepada siapa petani porang meminta pertanggungjawaban. Kepada dinas pertanian, bupati, gubernur, kementerian, atau kepada presiden? Para petani porang tidak tahu harus bagaimana selain menggerutu dan berbincang bersama petani porang lain. Keluhan petani porang ibarat memukul paku menggunakan kayu.
Beberapa petani sempat tidak percaya dengan adanya stabilitas harga komoditas tanaman porang. Beberapa petani berpikir tentang logika orang awam. Ketika stok suatu barang banyak, harga jualnya akan semakin turun. Namun keraguan para petani dipatahkan oleh banyaknya kunjungan dari para penguasa sekitar lima tahun yang lalu. Mulai dari dinas pertanian, bupati, gubernur, kementerian, atau kepada presiden.
“Dulu mencapai enam ribu rupiah per kilo, Mas. Sekarang miris, hanya dua ribu saja.”
Curhatan itu disampaikan Pak Muji, Ketua Komunitas Petani Porang. Aku sengaja mendatangi Pak Muji karena aku mendengar betapa banyak modal yang sudah ia keluarkan untuk budidaya porang. Uang tabungan dan truk miliknya ia jual untuk modal awal penanaman porang. Aku mengenal Pak Muji karena masih satu kelurahan. Dan kebetulan anaknya adalah teman dekatku.
“Bapak itu dulu sudah tak bilangin lo, Pras. Tapi ya begitu namanya orang tua. Sekarang menyesal dia. Belum juga nanti jika ada anggota komunitasnya yang curhat. Bapak tidak tahu harus mengadu ke siapa, Pras.”
Di teras rumah Pak Muji aku ditemani Tio, anaknya. Ia mengeluarkan tembakau lengkap dengan cengkeh. Memang Tio awalnya sempat memarahi bapaknya karena bisa senekat itu. Yang membuat Tio marah adalah menjual truk yang selama ini dipakai bekerja Tio. Tio bekerja mengangkut pasir dan batu menggunakan truk itu. Namun bapaknya ngeyel dan bapaknya menjanjikan akan dibelikan truk yang baru ketika sudah panen.
“Sekarang kamu lihat sendiri Pras, bapakku nggak stres saja sudah untung.”
Tio menunjuk ke arah garasi truk. Terlihat beberapa alat pertanian tergeletak. Beberapa baju juga tampak menyampir tak beraturan di pinggir garasi truk. Sebenarnya untuk beberapa komoditas tanaman lain awalnya juga seperti porang. Jagung, pisang, jahe, kencur, cabai dan tanaman lainya jika banyak petani yang menanam pasti harga jualnya akan turun.
***
Kejadian tiga tahun yang lalu sungguh di luar dugaan. Pak Membleh dipenjara karena mencuri porang milik Pak Muji, sepupunya sendiri. Sebagian warga tidak menyangka bahwa Pak Muji tega melaporkan Pak Membleh ke polisi. Ketika itu memang porang masih dianggap seperti emas hidup. Emas yang bisa tumbuh dan berkembang.
“Aku menyesal sekarang Pras, hanya gara-gara rupiah yang tidak seberapa saja aku merasa telah merusak persaudaraan,” ketus Pak Muji ketika aku menemuinya di ladang porang miliknya. Terlihat hamparan pohon porang hijau seperti tentara yang berbaris rapi. Tinggi pohonnya melebih tinggi badan orang dewasa. Namun, harganya tidak setinggi pohonnya sekarang. Kini ia hanya mempunyai dua pilihan. Menunggu harga porang naik atau menjual dengan risiko rugi.
Aku masih ingat betul bagaimana Pak Muji menendang dan menyeret tubuh Pak Membleh seperti anjing dalam karung. Ia tidak memandang Pak Membleh sebagai sepupunya. Pak Muji memandang Pak Membleh adalah maling yang harus diadili baik secara hukum sosial maupun hukum negara.
Beberapa warga setempat sempat mencegah dan meredam emosi Pak Muji. Bahkan istri Pak Muji sendiri membujuknya untuk tidak memperpanjang masalah hingga sampai ke ranah polisi. Namun, karena emosi, Pak Muji tidak bisa dicegah. Bagi Pak Muji, hukum adalah hukum bagi maling desa seperti Pak Membleh. Penjara harus ia terima sebagai rumah sementara.
***
Komunitas petani porang yang diketuai oleh Pak Muji kini jarang melakukan pertemuan. Arisan rutin juga sudah berhenti. Padahal dulu Pak Muji sebagai ketua komunitas pelantikannya dihadiri oleh Gubernur Jawa Timur. Sekarang Pak Muji tidak tahu harus menghadiri siapa ketika harga porang turun drastis.
Hanya beberapa percakapan melalui grup WhatsApp komunitas saja terkadang mengirimkan berita. Tidak hanya fokus berita tentang porang lagi. Ada yang mengirim video lucu, gambar tidak senonoh atau hanya gurauan semata agar grup tidak terlihat mati. Kini Pak Muji hanya menyandarkan harapannya sementara kepada kambing peliharaannya. Setiap hari ia mencari rumput untuk memecah sepi dan kecewa tanpa tahu harus mengadu kepada siapa.
“Aku mau ke luar negeri, Pras.”
Saat berbincang denganku, Tio mengatakan ingin pergi bekerja ke luar negeri. Aku tahu memang sejak truk itu dijual Pak Muji, ia menganggur. Alasan utama ingin pergi ke luar negeri karena ia akan menikah. Tio merasa modal untuk menikah masih kurang. Kurang untuk membuat rumah, kurang untuk modal usaha dan kurang untuk menghidupi istrinya nanti.
Sebagai teman, aku hanya bisa mengamini apa yang menjadi harapan Tio. Karena menurutku sendiri, aku tidak pernah punya niatan untuk bekerja di luar negeri. Bagiku bekerja di mana saja orientasinya hanya uang. Sedangkan uang menurutku bukan ukuran kebahagiaan. Membangun rumah setelah menikah bukan ukuran kebahagiaan dalam rumah tangga. Buat apa rumah jika masih ada tempat untuk sekadar memejamkan mata dengan bahagia. Bagiku semua hanya masalah rasa. Namun, rasa itu di zaman sekarang tidak murni dari dalam diri. Rasa itu penuh dengan kepentingan.
Aku belajar dari Pak Muji tentang bagaimana menaruh rasa pada harta. Sebenarnya sebelum beralih ke tanaman porang, aku melihat kehidupan Pak Muji sudah serba berkecukupan. Saat Pak Muji menanam jagung yang hanya satu tahun sekali panennya, ia sudah terkenal sebagai petani jagung yang sukses.
Mungkin Pak Muji adalah sekian dari banyak orang yang merasa dirinya ditipu atau dipermainkan oleh kekuasaan di atasnya. Entah pemodal, korporasi, atau pemerintah sendiri. Bagiku Pak Muji adalah tetap tetanggaku sebagaimana manusia pada umumnya yang pernah berbuat kesalahan. Baik kesalahan disengaja maupun tidak disengaja.
***
Sebulan setelah perbincanganku dengan Pras, aku diundang ke rumahnya untuk syukuran. Ya, Pras akhirnya mendapat panggilan bekerja ke Taiwan. Saat motor berhenti di bekas parkiran truk Pak Muji, terlihat beberapa warga sudah berkumpul mengepung nasi tumpeng. Aku menyalami satu per satu. Beberapa warga masih saja membicarakan tentang porang dan turunnya harga.
Beberapa petani porang masih optimis menunggu harga porang naik. Termasuk Pak Muji. Beberapa petani lain yang mengeluarkan modal sedikit memilih untuk menjual meskipun dengan risiko rugi. Beberapa petani lain yang ragu sejak awal seperti merasa beruntung. Mereka tidak terjebak dalam keraguan yang dipermainkan.
______
Penulis
Predianto, penulis asal Ponorogo.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
2 comments