Friday, July 22, 2022

Cerpen Farizal Sikumbang | Lurah Lamin di Kampung Batu

Cerpen Fahrizal Sikumbang




Lurah Lamin diberitakan hilang. Ponselnya tidak bisa dihubungi lagi sejak tiga hari yang lalu. Beberapa aparat desa sering bolak-balik ke rumahnya, tetapi tetap saja keberadaannya tidak terendus. Bahkan Samir, sang sekretaris desa yang lebih khusus ditugasi Pak Camat mencarinya, hanya mendapatkan kesedihan dari istri Lurah Lamin.


“Sudah aku tanya juga ke saudaranya, tapi tetap tidak ada yang tahu. Apa beliau diculik orang?” Kata istri Lurah Lamin dengan mata sembab dan merah. Samir hanya menggaruk kepala mendapatkan berita itu.  


Satu hari setelah pertemuan Samir dengan istri Lurah Lamin, ia lalu mengajakku dan juga mengajak beberapa pemuda desa mencarinya ke berbagai tempat. Menyusuri beberapa lokasi yang pernah disinggahi Lurah Lamin, seperti di tambak, di kebunnya yang sudah lama terbengkalai sejak ia menjadi Lurah misalnya. Dua hari kemudian, akhirnya kami mendapatkan titik terang, sepasang sandal dan  pancingan tergeletak di tepi pantai. Sebuah dompet hitam berisikan KTP atas nama Lamin.  Kami menduga jika Lurah Lamin terpeleset di batu karang sewaktu memancing.


Beberapa anggota TNI dan Basarnas kabupaten didatangkan untuk menyisir tepi pantai dan sebagian mengarungi lautan beberapa mil mencari jasadnya. Dua hari pencarian hasilnya nihil. Lalu kesepakatan diambil, pencarian dihentikan karena sudah melewati batas waktu yang disepakati. Istri Lurah Lamin beberapa kali pingsan di lokasi kejadian. Kulihat Samir semakin kebingungan dengan kasus hilangnya Lurah Lamin.  


Sebagai seorang sekretaris desa, Samir tahu benar apa yang akan terjadi jika Lurah Lamin tidak ditemukan. Bisa-bisa dana desa tahun ini tidak dapat dicairkan karena pertanggungjawaban tahun lalu belum rampung. Dan Pak Camat akan mencercanya, meminta pertanggungjawabannya sebagai seorang sekretaris desa. Samir sangat takut dengan Pak Camat yang berbadan besar dan bersuara keras itu. Setiap ponselnya berdering, Samir selalu berharap jika itu bukan dari Pak Camat.


Samir sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris desa. Dan Lurah Lamin bukanlah orang pertama menjadi atasannya di kelurahan. Namun, dibandingkan dengan lurah-lurah terdahulu, Lurah Lamin adalah lurah yang tidak disukainya.  


“Ia tidak terbuka pada dana desa kita,” itu kalimat pertama yang pernah diungkapkan Samir padaku suatu hari. “Ia tidak menjelaskan dan juga tidak memiliki faktur menggunakan dana desa. Dana desa kita besar, jumlah ratusan juta. Aku takut ia menggunakan dana desa sesuka hatinya. Kamu tahu, pembangunan irigasi desa tersendat, aku tagih ke Lurah Lamin, tapi ia memarahiku. Katanya, kenapa aku terlalu boros pada pekerja. Gila, ini sudah masuk bulan Januari, semestinya laporan tahun lalu sudah selesai, tapi Pak Lurah hilang,” kata Samir kepadaku di hari berikutnya.


“Ya, beberapa warga juga sudah bertanya padaku kapan dana BLT dicairkan. Alih-alih merasa sedih atau prihatin, warga kampung malah menduga menghilangnya Lurah Lamin berkaitan dengan dana desa,” kataku pula.


“Ya, aku juga menduga begitu,” kata Samir padaku. “Mungkin saja Lurah Lamin sengaja meninggalkan dompetnya di tepi pantai biar ia dikira terseret ombak sewaktu memancing. Satu hal yang ganjil. Bukankah sejak dulu beliau tidak hobi memancing?”


“Ya, ya,” aku manggut-manggut, mulai berpikir sama seperti Samir.


Samir adalah teman sepermainanku sedari kecil di Kampung Batu. Bahkan kami selalu satu sekolah dari SD sampai SMA. Seingatku, Samir selalu bermasalah di sekolah karena kenakalannya. Setelah menyelesaikan SMA, Samir melanjutkan ke bangku kuliah dan mengambil jurusan administrasi di sebuah universitas di ibukota kabupaten. Sedangkan aku membantu bapak bekerja di bengkel setelah taman SMA. Setelah menyelesaikan kuliahnya, Samir bekerja di kelurahan dengan status tenaga. 


Perihal lurah Lamin, ia tidak asing lagi bagiku. Rumahnya beberapa puluh meter saja dari rumah ibuku. Aku sudah lama mengenalnya. Usianya beda dua puluh tahun dariku. Sebelum terpilih jadi lurah satu tahun lalu, ia sering mengunjungiku.


“Kamu kunci kemenanganku menjadi lurah. Kamu kan ketua pemuda. Kamu suruhlah pemuda-pemuda lainnya agar memilihku,” katanya. “Jika aku terpilih, kamu akan aku angkat menjadi RT. Gajinya lumayanlah sekarang. Ada dana desa juga.”


Aku tidak pernah meminta para pemuda di kampungku meminta mendukungnya pada saat pemilihan desa di Kampung Batu. Tapi entah mengapa pula, ia mendapatkan banyak suara dari tempat tinggalku. Setelah beberapa bulan ia menjadi lurah, aku diusulkannya menjadi ketua RT.


“Kamu harus mau,” kata Samir temanku itu. “Lurah Lamin memintaku untuk membujukmu.”


“Tapi aku tidak punya pengalaman.”


“Ah, tugasnya tidak berat. Paling hanya mendata warga. Kalau ada warga ribut urusan rumah tangga, itu gampang, bilang pada mereka urusan pribadi jangan diumbar-umbar. Nanti mereka malu sendiri. Hihi.”


Aku menerima tawaran Lurah Lamin menjadi ketua RT. Gajinya lumayan besar. Kerjanya tidak terlalu sulit. Kebanyakan menandatangani warga yang baru pindah untuk membuat KTP dan kartu keluarga, juga mendata warga dan dilaporkan ke kantor kelurahan.


Di kantor kelurahan, beberapa kali aku berjumpa dengan Lurah Lamin. Sesekali berjumpa hanya memberi salam karena tidak ada jadwal pertemuan khusus aku dengannya. Dan beberapa kali pula memang sengaja di panggilnya berkaitan dengan kelurahan. Hanya satu kali yang sifatnya pribadi, atau jika tidak boleh dikatakan rahasia. Pertemuan itu terjadi dua hari sebelum Lurah Lamin hilang.


“Kau tahu Jufri, kenapa aku mati-matian mau jadi lurah?” tanyanya setelah aku disuruh menutup pintu ruangannya.


Aku terdiam sejenak dan selanjutnya menggelengkan kepala.


“Karena dana desa. Dana desa kita besar.”


“Terus Pak?”


“Ya kita gunakan dana desa itu untuk desa kita. Tapi jangan kau tuduh aku korupsi ya.”


Aku terdiam dan mencoba menampilkan wajah seperti yang dipikirkannya itu.


“Apa ada warga yang menuduhku mulai tidak jujur?” tiba-tiba Lurah Lamin menyodorkan pertanyaan itu kepadaku. 


Aku terdiam. Dan tiba-tiba teringat beberapa warga yang menanyakan kapan dana BLT untuk warga miskin disalurkan.


“Tidak Pak Lurah. Cuma, ada beberapa warga yang menanyakan kapan dana BLT warga dapat dicairkan,” kataku sambil memandangnya.


Entah mengapa tiba-tiba mata Lurah Lamin menatapku seperti tidak suka. Ia pun tidak memberikan respons pada komentarku itu. Beberapa menit berlalu, Lurah Lamin menyuruhku pulang.


***


Kampung Batu terasa sepi meski baru memasuki pukul delapan malam. Tidak ada warga yang keluar rumah. Beberapa kedai sengaja ditutup. Maklum, Kampung Batu sudah dua minggu ini ditetapkan masuk dalam zona merah waspada virus Corona. Beberapa warga Kampung Batu juga terjangkit virus ini. Lima orang meninggal dunia, dua orang dirawat di rumah sakit, dan sepuluh warga kini diisolasi secara mandiri.


Malam itu aku duduk di beranda rumah bersama istriku, membahas mengapa Lurah Lamin bisa hilang, dan tidak lupa pula kami mengira-ngira kapan kiranya virus Corona lenyap dari Kampung Batu.


Aku dan istriku berniat akan masuk ke dalam rumah, tetapi cepat kami urungkan ketika mendengar suara beberapa orang berteriak-teriak.


“Ada mayaaat....”


”Ada mayaaat....”


Beberapa warga berlarian ke ujung jalan depan rumahku. Aku bergegas menyusul. Napasku sesak setelah sampai di lokasi.


“Nampaknnya ia masih hidup. Wajahnya tak tampak. Beri cahaya,” kataku kemudian.


Aku tidak berani mendekat. Juga puluhan warga lainnya. Kami takut jika lelaki itu terjangkit virus Corona.


Seorang pemuda yang tiba-tiba datang lalu mencoba mendekati lelaki yang tertelungkup itu. Ia menyalakan senter ponselnya. Memusatkan cahaya senter pada bagian kepala lelaki itu. Lalu wajah bagian belakangnya terang oleh cahaya. Aku seperti mengenalnya.


“Itu Lurah Lamin,” teriakku.


Orang-orang riuh. Tapi tetap tidak berani mendekat.


Aku mencoba memberanikan diri berjalan di depan Lurah Lamin yang terbaring itu. Pelan kudengar seperti suara orang berdesis. Tetapi semakin jelas. Lurah Lamin seperti menyebut sesuatu.


“Sssaamiir, ssamir menculikku. Ia mencoba membunuhku....”


Aku mengerutkan kening dan berpikir-pikir, Lurah Lamin menyebut nama Samir! batinku.


Di depanku, warga semakin banyak jumlahnya.



Banda Aceh, 2021


________


Penulis


Farizal Sikumbang lahir di Padang dan tinggal di Banda Aceh. 



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com