Cerpen Sucipte Jamuhur
Musim ini, aku masih mendengar melodi "Love Thing" Joe Satriani yang bisa-bisanya meredakan amarah. Mencoba menata hati lagi dengan lagu "Just Feel Better" Santana. Di sofa balkon rumah favoritku, mataku perlahan menutup lalu samar-samar mengigau menyebut nama, “Bahriah.”
Gadis sederhana yang halus budi pekerti dan perasaannya itu baru saja melangsungkan pernikahan dengan laki-laki lain. Tentu saja ini tamparan keras yang membuatku hilang selera makan. Sejak kemarin pagi, hal terakhir yang mengganjal perutku hanya serabi lak-lak, selebihnya kopi, kopi dan kopi.
Bahriah satu-satunya perempuan yang tidak hendak kucium seperti perempuan lain sebelum-belumnya: Zubaidah sering, Masnia tujuh belas kali, Marianah walau cuma tiga kali itu karena pertahanannya lumayan kuat, sebab dulunya pernah nyantri.
Mereka adalah selir. Sementara Bahriah adalah ratu yang cuma satu-satunya yang pantas diperlakukan dengan luhur dan bersahaja. Dialah yang akan melahirkan keturunan pilihan, seorang putra mahkota yang layak meneruskan kerajaan. Bukan anak dari selir yang umumnya memiliki watak tempramen dan bodoh. Keseringannya cacat mental. Sebab ibunya digauli dengan liar layaknya budak.
Beda dengannya, Bahriah benar-benar perempuan seperti fitrah asalnya. Seperti Ibu; ia pemalu, tidak banyak bicara, tidak berlebihan bersolek, dibiarkannya rambut panjangnya terurai terpapar matahari. Ia sungguh tidak suka berteriak-teriak, ia rendah hati. Masakannya nikmat dan pas dengan selera walau sekadar pelecing kangkung. Bahriah tidak mudah melirik laki-laki sekalipun tampan dan kaya. Dia tidak meninggalkanku sebab itu.
“Hubungan kita tidak berjalan baik. Meski begitu, perasaanku padamu takkan berubah.” Tuturnya malam itu seiring air matanya membahasahi mukena marun yang kuhadiahkan bulan lalu.
Sudah kukatakan, dia perempuan yang halus budi pekerti dan perasaanya. Fatalnya kukira akan mudah membalikkan keadaan. Ternyata tidak, keesokan malamnya ia pergi merariq dengan Pardi dan tiga pagi setelah itu melangsungkan penikahan dengan sederhana. Secepat itu. Ya, secepat itu hubungan kami koyak hanya karena sebuah pandangan polos.
Seandainya semua perempuan mampu melihat seperti Bahriah melihat kebijaksanaan. Sudah pasti tidak akan ada perceraian. Kecuali tercerai oleh kematian. Ia yang menjadi janda atau duda dengan terhormat. Mereka yang berpisah bukan karena sikap pandir dan nafsu sesaat.
Dampaknya, pagi datang lebih lambat. Terasa semakin sulit berdamai dengan masa lalu. Dengan pilihan-pilihan celaka, pekerjaan yang menjebakku pada lubang-lubang dalam dan penyesalan ditinggal kawin lari Bahriah. Atas peristiwa ini, aku sering menyalahkan pekerjaanku sebagai direktur di Perusahaan Jasa TKI yang musti ke sana kemari. Bertemu klien dalam dan luar negeri. Transit dari hotel ke hotel. Dari pesawat ke nafsu syahwat.
Mengurusi tenaga kerja yang bermasalah tidaklah mudah. Beberapa TKW melaporkan kesuciannya direnggut majikannya. Ada yang terpaksa menikam majikannya, si Saniah patah tulang teraniaya, Sabri loncat gedung. Perselingkuhan dan perceraian. Segala yang karut-marut.
Penyakit masyarakat yang berujung kematian. Kasus paling pelik menimpa si Pardan. Dalam waktu dekat tervonis pancung karena dilaporkan telah menyetubuhi paksa istri majikannya. Padahal tidak demikian. Pemuda itu mengaku sudah tidak kuat dijadikan bahan arisan ibu-ibu gembrot (kaya raya) yang sudah tidak diacuhkan suaminya.
Ah, semua ini. Membuatku terbangun seolah sebagai leaq-selaq yang terbang di atas danau segare anak. Kadang sebagai kuntum edelweis paling rapuh di tepian jurang, dilamun angin gunung bersama samar-samar suara denting rindik dan gamelan Bali, yang mengalahkan semua suara-suara.
Di sudut rumah, Bepe masih menyulut tembakau rejang sembari menuai uban di jenggotnya. Bepe menatapku datar, itulah tatap iba paling telak menghakimiku, sebab pernikahan Bahriah bila hari juga melukai hatinya.
“Kamu terlalu sibuk bekerja. Janjimu menghadirkan perempuan ke rumah ini, kapan?”
Perempuan? Aduhai ibuku yang telah menjadi kabut. Semenjak kematian Inaq lima tahun silam, Bepe telah lepas dari lelah dan selalu meminta menantu. Kesabaran kami banyak terkuras saat merawat Inaq yang lama gila. Bepe ingin menjalani masa tua, supaya ada perempuan yang membersamainya, menerima kenyataan saat ia tutup usia kelak, itu saja. Bukan untuk hasrat duniawi.
Selepas mencium punggung tangannya yang apek bau asap tembakau. Aku hanya menjawab singkat “Kalau sudah jodohnya. Gunung Rinjani tak akan lari kemana, Bepe.”
Baginya, aku hanya seorang lelaki dewasa yang tampak bahagia, namun tidak kunjung menikah dan memberinya cucu. Di luar aku adalah anaknya, namun jauh di dalam sana, aku bukan siapa-siapanya. Inilah kebijaksanaan yang sama yang dimiliki Bahriah.
“Tanpa Inaq-mu, apa menurutmu Bepe bahagia dengan semua ini?” Bepe menunjuk rumah besar kami dan garasi mobil berisikan tiga mobil mewah.
Sementara Bahriah tengah berkeringat, terbang ke atas awang-awang bersama Pardi. Aku masih kedinginan di sofa balkon rumah sampai larut malam. Sesekali aku terganggu dengan tanya: sebab apa ia tak sabar menungguku selesai dengan pekerjaan?
Setidaknya bulan ini. Ah! kini Bahriah telah menjadi milik orang yang selama ini kuanggap remeh.
Sedikit kuceritakan tentang si Pardi. Anak kampung sebelah yang sedikit menonjol dalam pelajaran dan kami tidak suka itu. Saban pulang sekolah dulu, aku dan kawan-kawan tak sekali dua membuatnya menangis. Awalnya ia melawan. Lama kelamaan ia lebih memilih bersabar dan pasrah dengan perlakuan kasar kami. Nah, karena kelewat sabar, akhirnya kami bosan sendiri mengganggunya. Dan Bahriah adalah balas dendamnya padaku.
***
Bagi Bahriah, aku adalah kesatria yang bersinar dengan cahanyanya sendiri. Sebab ratusan orang menggantungkan nasibnya di perusahaanku. Ah tidak, mungkin ribuan orang jika dihitung beserta anak istri mereka. Sementara aku dengan perkasa melakukannya sendiri.
Seperti kopi yang parkasa menghadapi peminumnya sendiri tanpa pisang goreng, keciput, merungkung, biskuit kios atau cemilan yang mudah ditemui di kampung. Beda dengan nasi, pasti butuh banyak teman makan, seperti; ikan, garam, sambal, kerupuk, sayur, bahkan tusuk gigi, lap tangan, hidangan pencuci mulut dan obrolan tentang janda Malaysia--istilah kami di Lombok untuk perempuan yang ditinggal suaminya menjadi buruh kelapa sawit di Malaysia dan hanya pulang sekali dalam dua tahun.
Namun bagi Bepe, aku bukan kopi. Lebih seperti biskuit bulan sabit yang hari demi hari bakal hancur perlahan menjadi remah-remah roti yang tak berbentuk. Aku hanya akan meninggalkan kenangan bagi anak-anak mereka, bukan anakku. Karena anakku telah lahir sebab lelaki yang lain. Ya, Bahriah telah melahirkan anaknya bersama Pardi.
Di tahun pertama kepergiannya ke Malaysia. Lebih enam bulan Pardi tidak pernah berkirim secuil kabar ke keluarganya di kampung, tidak juga mengirimkan uang nafkah. Bahriah putus asa karena telah jatuh talak menunggunya pulang. Pada akhirnya Bahriah akan tahu, dan semua orang akan faham. Bahwa di luas ladang sawit, di bawah pelepah pohon sawit lapuk itu terbujur jasad Pardi yang murka. Dendamnya telah ia bawa mati dan aku selalu lebih baik darinya dalam segala hal. Termasuk urusan balas dendam.
Maafkan aku Pardi. Kau jadi bagian dari mimpi dan igauku. Menjadi bagian paling gelap dan naas atas kuasaku akan kehebatan uang yang memenuhi kantong Bonet dan Dudi. Mereka menikammu dengan keris berkarat dari belakang, bertubi-tubi persis di ginjalmu.
Pardi yang malang, tenanglah di sana. Bukankah Bahriah adalah malam milik kita bersama yang di dalamnya kita tertidur pulas? Yang suatu saat kita akan terbangun dari tidur yang sama dan engkau terbangun dari tidur itu sebagai seekor kijang dan aku terbangun dari tidur sebagai singa, raja singa. Penguasa yang selalu lapar, culas dan tak kenal ampun.
Sekali lagi maafkan aku, Pardi. Balas dendammu receh, sementara dendamku selalu terbayar kontan. Lelaplah, Pardi dalam tidurmu di bawah rindang pohon sawit di Malaysia. Terimalah kenyataan engkau sebagai masa lalu, sementara aku adalah masa depan bagi Bahriah dan anaknya.
***
Dina, anakku bersama Bahriah, menyuguhkan kopi pahit seperti biasa. Namun ada yang berbeda, ada aroma cinnamon menyeruak kuat di situ. Aku menelisik curiga. Dina hanya menjinjit manja seolah telah berhasil mematangkan Kopi Arabica Sembalun di suhu 200 derajat celcius dengan kejutan aroma kayu manis pertamanya. Kopi hasil roasting sebelumnya sering nutty bahkan smoky, gosong tidak karuan.
“Habiskan latte-nya, Bepe. Mumpung masih hangat.” Rengek Dina manja. “Itu karya terbaik Dina selama belajar me-roasting kopi.”
Kuseruput kopi itu dengan nikmatnya. Namun tak sepenuhnya sadar bahwa aroma cinnamon itu sebenarnya untuk menutupi aroma sesuatu dalam kopi itu. Dina rupanya telah mencium aroma bangkai kijang yang selama ini kututupi dengan rapat. Bahwa akulah yang telah mengupah orang untuk membunuh Pardi. Bapak kandungnya dan merebut ibunya.
Rupa-rupanya, daging kijang yang dulu kumakan, adalah daging beracun yang efeknya membunuhku setelah Dina berumur 14 tahun. Dendam beracun dari tangan anak yang kubesarkan bersama Bahriah dengan cinta. Pernikahan yang dulu kau menangkan dariku itu, telah kuatur sedemikian rupa. Sebab aku takkan pernah bisa memiliki keturunan, kata dokter. Dan memang begitu kenyataannya.
Jahannam kau Pardi! Aku memelihara anakmu hingga remaja dengan cinta. Cinta yang tulus. Semata untuk membalaskan dendammu. Seperti halnya cinta, dendam rupa-rupanya jatuh tak jauh dari pohonnya.
Kini kita benar-benar mati dengan cara yang sama. Tidur dengan perempuan yang sama. Memiliki anak gadis yang sama-sama kita cintai dan sama-sama mati sebabnya. Walau aku singa dan kau seekor kijang, ternyata di hadapan kematian kita sama-sama tak berdaya. Tidak ada masa lalu dan masa depan bagi dendam yang selalu memiliki caranya sendiri memperdaya manusia.
Inilah musim penghujan, mendung yang menjadi rintik membuat mataku perlahan menutup. Di sofa balkon favoritku, aku menangis dan mulai kehabisan nafas. Seketika denting rindik dan gamelan itu kembali datang, samar, lama kelamaan menjadi riuh ramai bertabuh gendang beleq. Gelap, bukan karena malam. Ini masih pagi, namun telah gelap sempurna.
Keterangan :
1. Merariq : Salah satu cara menikah Suku Sasak di Lombok dengan melarikan calon istri.
2. Leaq-selaq : Gabungan 2 kekuatan sihir manusia berbentuk siluman seram dari Bali dan Lombok yang lidahnya menjulur dan bisa terbang mencari tumbal.
3. Kabut Ibu : Baca cerpen Mashdar Zainal (Kompas)
_______
Penulis
Sucipte Jamuhur, kelahiran Lombok Tengah dan menetap di Kabupaten Bima sekitar tambak garam teluk Bima. Aktif di organisasi dan komunitas literasi dan konservasi lingkungan hidup disamping mengajar di salah satu SMP, ia juga berbisnis kedai kopi dan membangun entitas dan ruang kreativitas bersama pemuda-pemudi di kedai kopi tersebut.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com