Oleh Encep Abdullah
Dalam kesempatan kali ini, ada banyak hal yang ingin saya ceritakan. Tapi, saya bingung mau mulai dari mana. Saya ingin ambil satu bagian saja, tapi saya ingin ceritakan semuanya. Sebelum saya menulis ini, saya sekrol catatan-catatan saya di FB. Mengingat kembali aktivitas dan peristiwa apa yang sudah berlalu.
Baik, dimulai Lebaran kemarin. Waktu itu saya dikasih wejangan dan ”doktrin” dari salah satu saudara, tokoh pergerakan di Banten. Dia bilang, ”Kita harus berani bersuara tentang kebenaran meskipun pahit. Biarkan saja kalau orang-orang tidak suka dengan suara kita.” Mendengar nasihatnya, saya menggebu-gebu kembali. Sejak berupaya menjernihkan hati, saya memang sudah jarang berdebat dengan orang-orang. Dulu sering sekali, apa saja diperdebatkan. Padahal salah satu ciri orang bodoh menurut ahli hikmah adalah orang-orang yang gemar membicarakan semua hal dan suka berdebat. Saya lebih memilih sibuk membaca daripada berdebat di media sosial. Selepas Lebaran itu, saya agak brutal lagi, pas sekali ada polemik tentang halal-haram musik. Kepala saya jadi puyeng. Saya mulai debat-debat lagi. Saya baca ulang lagi referensi tentang itu. Setelah merasa puas, saya tinggalkan juga. Hikmah yang saya dapatkan, saya jadi lebih terbuka menerima perbedaan, bukan cuma tentang musik, tentang apa pun.
Setelah melewati fase di atas, anak saya kena musibah. Fokus saya pindah, seperti yang saya tulis di FB: menjenguk-dijenguk-menjenguk, ini kesibukan saya selama dua pekan. Berawal dari tetangga kecelakaan motor, saya jenguk ke rumah sakit. Kemudian, orang tua rekan guru meninggal, saya takziyah. Tak lama kemudian, anak saya diserempet mobil, lalu dijenguk banyak orang. Besoknya Sul Ikhsan (Pemred NGEWIYAK) jatuh dari motor, saya jenguk. Tak lama lagi, rekan guru setelah pulang jenguk anak saya itu, dia meriang dan kena DBD, tak tanggung-tanggung istri dan empat anaknya juga ikutan sakit dan dibawa ke rumah sakit. Saya pun jenguk. Dalam kondisi begini, kita bisa melihat siapa orang-orang dekat kita yang perhatian dan empati di saat kita sedang terkena musibah, sakit. Dan kita diuji, punya waktu menjenguk atau tidak di tengah kesibukan yang kita jalani.
Memasuki bulan Mei, otak saya "dicuci" lagi. Ada beberapa kawan mengajak saya "hijrah". Yang satu mengajak saya melanjutkan kuliah lagi. Dia mengajak karena melihat potensi saya agar punya batu loncatan dalam jalur akademis (mungkin biar makin sejahtera dan meluas kebermanfaatannya). Yang satunya mengajak saya pindah sekolah ke tempat dia yang gajinya lumayan—katanya saya punya potensi, tapi tidak berada di lembaga atau instansi yang tepat sehingga saya tidak berkembang. Yang satunya lagi mengajak kerja sama dalam bisnis percetakan buku. Dia melihat potensi saya besar dalam usaha penerbitan buku, tapi tidak pandai dalam berbisnis sehingga teman saya ini sebagai manusia yang berjiwa bisnis geram melihat kekurangan saya yang tak bisa melihat peluang itu, bahkan katanya kurang pandai memenej usaha.
Saya ingin menjawab banyak hal sebenarnya. Saya tahu semuanya mengajak saya kepada sesuatu yang lebih baik, lebih sejahtera karena melihat banyak potensi dalam diri saya ini. Namun, kenapa saya tampak kelihatan ”miskin”, katakan saja begitu. Saya guru, penulis buku (juga penulis lomba dan narasumber pelatihan menulis), usaha jasa penerbitan buku (www.penerbitkomentar.com), ngurusin komunitas sastra (Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa atau #Komentar), dan web sastra NGEWIYAK. Sebagian orang melihat saya itu punya kemampuan di atas mereka. Tapi, kenapa pendapatannya kecil. Kenapa tidak jadi PNS misalnya, kenapa nggak ikut P3K misalnya dalam jalur guru. Kenapa tidak bikin perusahan besar penerbitan buku. Kenapa tidak jadi dosen saja, kuliah lagi yang tinggi, biar punya banyak relasi dalam jalur akademisi. Kenapa, kenapa, kenapa.... Sungguh, ini malah jadi semrawut menyerang mental saya. Saya tidak pernah menyalahkan mereka. Saya malah bersyukur punya teman-teman seperti mereka. Mereka perhatian kepada saya agar saya bisa berkembang dari segi pengalaman, finansial, kesejahteran, harta, tetek-bengek lainnya.
Sebelum mereka berkata seperti itu, saya sudah merasa bersyukur atas apa yang sudah saya jalani dan saya capai hingga detik ini. Mungkin—bukan berniat suuzan, sekadar mengira-ngira saja—mereka melihat saya seperti orang yang tidak mau maju, gini-gini aja, kelihatan masih miskin, rumah rombeng, kendaraan butut, penghasilan masih pas-pasan.
Puji syukur, selama ini saya sedang belajar agar tidak menjadi manusia yang kufur nikmat. Saya belajar menikmati apa adanya saya saat ini. Bahkan, saya merasa lebih bersyukur dari saya yang dulu-dulu, hati saya terasa sedikit lebih lapang. Kelihatannya memang tidak signifikan dengan status sosial, harta, dan sebagainya, begitu-begitu saja. Karena bukan itu yang sedang saya cari. Saya sedang belajar menata jiwa. Menerima segala takdirnya. Menjalankan ikhitiar apa yang saya mau dan saya mampu. Dan, saya tak pernah memusingkan hasil. Itu wilayah Tuhan. Saya tak mau ikut campur. Karena, ikut campur urusan Tuhan membuat hidup saya lelah. Sekali lagi, tugas saya bergerak menjalani hidup ini. Berusaha menjadi hamba Tuhan, terus menggali ilmu, mencari harta semampunya, berusaha menjadi peran sebagai anak, kakak, ayah, dan suami yang baik untuk keluarga, serta tetangga yang paling tampan di masyarakat.
Sehebat apa pun saya di mata orang lain, pasti ada sisi kekurangannya. Teman-teman berusaha ingin melengkapi kekurangan saya itu. Saya apresasi dan terima kasih. Namun, untuk sampai sejauh ini, sampai pada titik ini, pergulatan apa yang terjadi dalam ruang batin saya, mereka tidak tahu, bahkan istri dan orang tua saya pun tidak tahu. Yang tampak adalah yang zahir, kok masih gitu-gitu aja. Padahal, sebenarnya tidak. Mereka hanya melihat apa yang tampak dari luar. Mata orang-orang lebih sibuk memandang dunia. Memandang yang tampak. Yang sukses adalah yang punya A, B, C, dan segala yang kasatmata. No, no. Sering kali ini menipu saya. Kesuksesan itu ada di dalam dada saya. Saya yang lebih tahu karena saya yang mengalami. Saya yang punya tujuan dan standar keberhasilan.
Ada banyak hal yang terlihat hilang dari saya, tapi sebenarnya ada hal lain yang juga datang sebagai pengganti. Tampaknya memang tidak ada perubahan, padahal banyak sekali yang berubah. Orang lain menganggap saya belum sukses belum sempurna. Kesuksesan seseorang tidak sama. Tidak bisa diukur dengan definisi kesuksesan orang lain. Ini kejam menurut saya. Kita berhak mendefinisikan dan merumuskan arti kesuksesan sendiri, tidak ikut-ikutan orang lain. Memaksakan definisi kesuksesan dengan orang lain adalah sebuah siksaan bila kadarnya beda, pengalamannya beda. Saya pribadi tidak menolak kesejahteraan, itu harus diperjuangkan malah. Tapi, ingat, jalan setiap manusia berbeda-beda. Kita saling bantu, saling doakan saja. Jangan memaksakan menyamakan persepsi.
Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih kepada siapa pun, orang-orang baik yang senantiasa perhatian atas hidup saya. Fokuslah kepada diri untuk menjadi. Berikan banyak inspirasi kepada umat dengan pikiran dan karya-karya terbaikmu.
Hari dan minggu berikutnya, aktivitas saya makin sibuk. Namun, aktivitas ini cukup asyik. Pada 14 Mei dan 20 Mei, saya diminta untuk menjadi Narasumber Bimtek Revitalisasi Bahasa Daerah Kantor Bahasa Banten bersama 75 guru se- Banten—sebelumnya pada 26 s.d. 28 Maret diadakan pertemuan para praktisi, pakar, dan dewan guru dalam Penyusunan Bahan Ajar atau Modul Revitalisasi Bahasa Daerah di Hotel Le Dian. Dalam kesempatan ini, saya diberikan amanah memberikan materi tentang cerita pendek Jawa Banten—Oh, my Good!
Sedikit cerita. Pada 2014 M. Rois mengajak saya duet menulis puisi Jawa Banten. Mungkin Rois capek ngoceh terus kepada saya. Akhirnya, 2019 dia menerbitkan buku Jawa Banten tunggalnya. Dan itu merupakan buku puisi (tunggal) Jawa Banten perdana yang terbit di Banten. Pada 2019, saya diundang dalam acara Badan Bahasa ke Jogja mewakili komunitas. Di sana saya mempresentasikan diri kelak akan memberikan pelatihan menulis bahasa Jawa Banten, minimal kepada para guru di Banten. Sepulang dari sana, saya malah bikin buku antologi puisi Jawa Banten karya anak-anak di sekolah saya. Sudah tiga antologi buku versi Jawa Banten karya saya terbitkan. Tapi, saya pribadi belum bikin antologi tunggal. Saya merasa perlu wadah dan ruang lebih luas. Pada 2021 saya membuat media sastra NGEWIYAK.com, di sana ada kolom sastra Jawa Banten, khususnya puisi.
Alhamdulillah, bukan cuma saya, melainkan teman-teman komunitas dan luar komunitas pun ada yang tertarik menulis. Pada 2022, 2023, Badan Bahasa dan Kantor-Kantor Bahasa rajin sekali mengadakan kegiatan kepenulisan cerita berbahasa daerah. Di sana saya ikut menjadi peserta lomba. Pada 2024, tiap daerah melakukan diskusi kelompok terpumpun terkait revitalisasi bahasa daerah. Maka, saya dan kawan-kawan, atas undangan Kantor Bahasa Banten, berkumpul untuk menyusun bahan modul yang nanti bahan itu disampaikan kepada para guru SD-SMP se-Banten. Nah, sampailah pada pelatihan itu. Gokilnya saya mengisi pelatihan menulis cerpen. Padahal proses menulis saya ada di wilayah puisi Jawa Banten. Siapa yang menulis cerpen Jawa Banten? Siapa lagi kalau bukan Rois. Dia sudah menghasilkan dua buku cerpen Jawa Banten, sedangkan saya? Jangan ditanya. Berengsek sekali dia ini, selalu ambil garis start duluan. Dia lagi, dia lagi. Rois seperti tahu akan masa depan yang akan dihadapi. Bedanya, dia sibuk dengan bukunya sendiri. Kalau saya sibuk membuka wadah, membuka ruang media. Seperti ada semacam intuisi. Begitulah Encep dan Rois. Dan saya bahagia, Rois meskipun sudah menghasilkan buku puisi dan cerpen, dalam pelatihan atau bimtek untuk guru-guru, dia mengisi materi komedi. Rasakan! Akhirnya dia nyerah dan pindah ke pidato. Haha. Peluk erat sobatku, Muhammad Rois Rinaldi! Dan, saya berhasil juga melewati ujian ini.
Saya penulis, saya juga guru. Jadi, kalau saya diundang memberikan pelatihan menulis, nggak gemeter-gemeter amat. Pernahkah saya menolak jadi narasumber? Tentu saja pernah. Saya menolak karena ada hal-hal di luar kapasitas saya. Kata Mang Aristoteles, sebelum public speaking, kita perlu memperhatikan tiga hal: ethos (kredibilitas/etika kita di hadapan orang lain), logos (penyampaian yang kita sampaikan diterima/masuk akal), pathos (emosi kita saat menyampaikan sesuatu memberikan pengaruh/efek langsung). Namun, saya juga punya tip lain. Sebelum tampil di depan publik upayakan kuatkan mental/percaya diri, siapkan materi dengan baik, materi relate/sesuai kebutuhan. Berikan bumbu dengan berkisah (memancing emosi) dan perlu jiwa entertain/menghibur (biar tidak jenuh). Secara teknis, perhatikan vokal (volume, intonasi), cek kesehatan (fisik dan jiwa). Cara berlatihnya, biasakan berbicara kepada diri sendiri, juga bisa berlatih dengan orang lain (yang siap dijadikan objek latihan).
Selain aktivitas tersebut, saya juga menghadiri undangan menjadi narasumber menulis puisi di SMPN 25 Kota Serang pada 21 Mei 2024. Sebelumnya, saya diminta menjadi juri FLS2N, tapi saya tolak. Ceritanya begini.
"Kang Encep jadi juri lomba cipta puisi ya," ujar panitia.
"Maaf, sepertinya tahun ini libur dan mundur dulu jadi juri," jawab saya.
"Kenapa, Kang?" tanya panitia.
"Anak didik saya ikut lomba cipta puisi. Biarkan jatah dia dulu. Tidak etis kalau saya jadi juri. Saya yang melatih, saya yang menjuri juga?"
"Wah, padahal udah dikontrak lima tahun nih Kang buat juri tahunan," ujar panitia bercanda.
Setelah menolak itu, tak lama ada pesan masuk. Saya disuruh mengisi pelatihan menulis puisi di tempat lain [di SMPN 25 Kota Serang itu]. Jangan kemaruk jadi orang. Ya, melatih, ya menjuri.
Pada 26 s.d. 30 Mei 2024, saya balik lagi ke Hotel Le Dian, tapi sebagai Peserta Bimtek Penulisan Cerita Anak. Sebagai penulis cerpen dan puisi dewasa, saya banyak belajar di sini, masih sangat pemula—meskipun saya pernah jadi juara lomba cerita anak. Menulis cerita anak tidak sama dengan menulis cerpen pada umumnya.
Sebenarnya resep dari Abah Tasaro GK (mentor) sama dengan resep menulis pada umumnya: adegan awal mengenalkan tokoh, apa keinginan tokoh, apa halangannya, bagaimana tokoh mencoba meraih keinginan tapi gagal, bagaimana tokoh tercerahkan, bagaimana tokoh susah payah bangkit dan berhasil, bagaimana ending cerita yang mengesankan.
Saya bukan tipe penulis yang gemar menulis premis, di sini wajib menyampaikan premis, membuat rancangan ini dan itu. Bagi saya cukup menghabiskan energi. Tapi, memang harus dikerjakan—karena perintahnya begitu. Saya ngap-ngapan. Namun, setelah saya pelajari ulang, mungkin pusing di awal, setelah disusun konsep tersebut, ternyata bisa bikin mudah dalam membangun cerita sehingga tidak keluar ke mana-mana. Sebelumnya, saya juga mau belajar pakai konsep ini dalam menulis, cuma belum saya coba, walaupun konsep macam ini tidak relate dengan konsep menulis saya yang ”sembarang jadi” itu. Karena saya merasa ini ilmu dalam dunia penulisan cerita anak, saya telan juga. Setelah saya tahu ilmu ini, pada 10 Juni 2024, naskah cerita anak saya tidak masuk alias ditolak dalam event Gerakan Literasi Nasional (GLN) 2024 Badan Bahasa. Memang kadang begitu, kita usaha dulu, baru tahu ilmunya. Saya tidak pernah menyesal, ilmu yang belakangan saya dapatkan itu akan sangat bermanfaat buat saya kelak. Yang saya ingat dari Abah Tasaro GK urgensi. Apa urgensi kita menulis? Sampai sekarang, kata-kata itu selalu terngiang.
Kelar urusan di atas, muncul polemik sastra masuk kurikulum. Saya mulai ngoceh lagi. Awalnya saya hanya menulis satu paragraf, eh malah lanjut jadi empat halaman. Polemik ini begitu singkat. Kurang lebih terjadi satu pekan di media sosial, setelah itu mendadak selesai dan ngilang. Saya tulis menggebu-gebu pada Jumat, tapi dimuat di koran pada Senin, 27 Mei 2024 dengan judul ”Polemik Sastra Masuk Kurikulum”. Selama dua hari, Sabtu-Minggu, perdebatan di medsos sudah melebar ke mana-mana, secepat itu berubah dan meluas. Mau saya muat hari itu, Jumat, di NGEWIYAK, tapi saya rindu masuk koran. Ah, gatel sebenarnya ingin klik posting hari itu. Saya tahan, dan saya agak kecewa, karena ternyata pada Senin tulisan itu sudah agak sedikit basi—menurut saya—karena banyak info terbaru beredar. Saya malah lebih ketagihan memuat karya di medsos atau di-posting di web NGEWIYAK karena orang bisa baca pikiran kita hari itu. Di koran, kepala kita sudah keburu dingin, tidak semenggebu saat tulisan ini baru dibuat. Ternyata itulah sensasi kenapa orang lebih gemar bermedia sosial, menuangkan unek-unek pada saat itu, karena bisa direspons juga pada saat itu.
Terkait dengan polemik di atas, mungkin ada kaitannya dengan minat baca di sekolah. Saya mengajar di sekolah. Saya juga mendirikan komunitas sastra. Saya punya pengalaman bagaimana mengajari orang-orang di dalamnya membaca buku, bukan sekadar menduga-duga. Semuanya hampir mengatakan bahwa "minat baca siswa rendah". Itu siswa yang mana? Siswa yang dididik bagaimana oleh orang tuanya, gurunya, dan sekolahnya? Sudah dilakukan tindak lanjut atau penelitian tindakan kelas belum oleh gurunya?
Ide "Sastra Masuk Kurikulum" itu bagus kok. Ini bentuk perhatian pemerintah. Ini salah satu langkah biar guru-guru di sekolah biar nyobain baca sastra. Coba cek saja, di sekolah Anda, ada berapa guru yang hobi baca sastra? Guru Bahasa Indonesia-nya saja banyak yang menghindari buku kok! Mereka malas! Saya berkata begini karena saya tahu kondisi sebagian besar guru di sekitar saya. Yang bemasalah dari "Sastra Masuk Kurikulum" itu barangkali teknis dan mekanisme peng-kurasiannya dan petunjuk pembelajarannya. Padahal, di buku paket Bahasa Indonesia juga sudah bagus, kok. Banyak kolom-kolom jurnal baca buat siswa, artinya siswa memang sudah disediakan kolom untuk menulis ulasan atau resensi bacaan. "Sastra Masuk Kurikulum" ini penguatnya. Jadi, bukan cuma tugas guru Bahasa Indonesia saja, melainkan komponen sekolah. Persoalan buku yang direkomendasi, itu bisa sambil jalan untuk dipilah-pilih. Yang penting adanya ide program "Sastra Masuk Kurikulum" itu sangat menggembirakan bagi saya sebagai guru dan pegiat literasi.
Kalau dikotak-kotakkan, buku ini cocok anak SMP, ini anak SMA, ini anak kuliahan, saya kira tidak akan selesai-selesai. Setiap siswa dan sekolah, punya latar belakang berbeda. Anak-anak saya misalnya, SMP-SMA yang bergelut di dunia sastra, kapasitas bacaannya sudah bukan buku Tere Liye atau Andrea Hirata. Untuk siswa lain, yang masih awam baca, baca cerpen Bobo saja itu sangat berat.
Saya kadang bingung dengan orang-orang yang begitu resah membaca sastra yang ini dan itu. Keresahan orang-orang terhadap buku sastra yang dianggap "anu" itu adalah dengan pertanyaan "Gimana kalau buku anu itu dibaca sama siswa? Kan bisa merusak mental mereka." Anak didik saya di komunitas, masih anak sekolah, saya pinjami buku Eka Kurniawan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Cantik Itu Luka. Lalu saya tanya, "Gimana?" Jawabannya, "Bikin panas-dingin!" Sampai sekarang buku itu belum jua kembali. Apakah sampai sekarang dia masih panas-dingin? Haha, saya tidak tahu. Di sini, saya tahu sekali karakternya. Saya tidak asal merekomendasikan buku ini-itu kepada semua orang. Membaca buku bukan soal usia, melainkan kapasitas dan pengalaman--walaupun penjenjangan tetap harus dilakukan.
Guru harus bisa memetakan bacaan anak didiknya. Tugas guru berat. Bukan cuma menyuruh, melainkan juga menyediakan, memfasilitasi, membina. Anda yang guru saja, yang tidak pernah melakukan penelitian macam ini, tidak akan tahu kondisi bacaan anak-anakmu. Apalagi mereka yang bukan guru, yang tidak punya pengalaman di sekolah, maen seenak udel menggeneralisasikan semua siswa minat bacanya rendah. Kalau dianalisis lagi, sebenarnya minat baca guru dan orang tuanya yang rendah, ditambah lagi sistem sekolah yang dari segi fasilitas sarana dan prasarananya kurang memadai.
Manusia-manusia malas baca itu, saya kira gara-gara sering mengonsumsi reel atau video singkat. Nonton video berdurasi sejam-dua jam, malah seperti lama sekali dan tidak betah. Efeknya, baca juga jadi seperti itu. Dulu, saya kuat baca buku sekali duduk. Sekarang, baru mulai baca buku, langsung ngantuk. Haha. Kenapa sekrol medsos atau baca tulisan di medsos bisa berjam-jam, sedangkan baca e-book malah sering tidak kuat lama, padahal sama saja baca di HP. Namun, ketika memilih baca buku cetak pun, juga sering terganggu, tak bisa selesai sekali duduk karena sudah candu sekrol medsos. Duh, ini bahaya!
Terkait baca-membaca, saat ini saya sedang membaca dua buku proses kreatif. Pertama, buku Melihat Pengarang Tidak Bekerja” karya Mahfud Ikhwan, habis dibaca. Kedua, Kandang Ayam Korpus Dapur Teks karya Afrizal Malna, masih proses baca. Kedua buku ini sangat cocok dengan kerja kreatif saya, salah satunya untuk menulis di kolom ini. Menulis sangat butuh asupan energi, salah satunya dengan banyak membaca buku.
Dalam buku Mahfud Ikhwan saya merasa tertampar dengan pernyataannya. Saya lupa pada halaman berapa, dia menulis “ ... penulis lebih baik diam, menjaga baik-baik tangannya dari menulis sesuatu yang tak benar-benar dikuasainya.”
Ow, betapa sering kali saya menulis sesuatu yang tidak saya kuasai macam itu, seolah-olah saya menguasai. Sebagai penulis—yang dianggap orang serbabisa di masyarakat—harus jujur dengan diri sendiri. Banyak penulis yang merasa gengsi saat dirinya memang tidak tahu sesuatu. Mahfud sendiri ternyata terjebak dengan itu. Dia berkata dan menjawab sok gagah ketika ditanya rekannya tentang sesuatu hal, yang padahal dia sendiri tidak tahu. Oleh sebab itu, dalam hal ini Mahfud seolah sedang menasihati dirinya sendiri.
Sangat berbeda dengan Afrizal Malna. Dia menulis bukan untuk dibaca, melainkan untuk dilihat. Sejak dulu saya memang mengenalnya sebagai sastrawan yang aneh. Saya pernah minta tanda tangannya, dan tanda tangannya seperti ceker bebek, tidak lazim. Dia penyair, dia unik, dia berbeda dengan kebanyakan penulis lainnya. Saya kutip saja pernyataannya dari buku proses kreatifnya itu.
Mistik Bahasa
Saya masih terus berandai-andai hubungan puisi dan bahasa. Ada penyair yang konsentrasinya ditentukan oleh kata, satuan-satuan kata terpilih sedemikian rupa untuk melahirkan rima kemudian "image". Tetapi juga ada penyair yang konsentrasinya ditentukan oleh "image", sebuah gambaran atau visualitas. Saya memilih cenderung berada dalam tradisi yang kedua ini, di mana puisi seakan-akan saya tulis tidak untuk dibaca melainkan untuk dilihat. (Hlm. 93)
Jadi, kalau Anda penulis, masih bingung memikirkan bagaimana menuliskan sesuatu, pakailah jurus Afrizal ini: ”Karya yang saya tulis tidak untuk dibaca, melainkan untuk dilihat.”
Dengan begitu, Anda bisa menulis sesuka hati, seperti catatan saya ini!
Kiara, 11 Juni 2024
________
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatifnya yang sudah terbit berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).