Friday, June 7, 2024

Puisi-Puisi Ilham Wahyudi

Puisi Ilham Wahyudi



Adam


Sekiranya ada yang bertanya, maka jawablah, dia bapak kami. Penghulu dari segala penghulu; moyang yang terlempar dari firdaus dan mengidap nyeri rindu dalam wadah fana. Dari tulangnya sebelah kiri, ibu kami nyata ke muka loka. Dipikulnya dosa keteledoran sebagai bukti ia memang hanya insan yang papa. Tapi sungguh kepadanya kami berlega hati, sebab karenanya kami pun menimba terima kasih dan kami mahfum musuh utama yang abadi; adalah yang telah lampau mukim di hati kami.


Akasia 11CT



Iblis


Mungkin lantaran keningnya terlampau adiluhung, ia pun enggan menyungkum kepada zamin yang amat tekun memahfuzkan nama-nama; ia pun terusir. Tercipta sebagai seorang ahli zikir, ia pada akhirnya amat mahir menyihir (perihal keabadian) kakek nenek kami; setakat terpaksa turun meniti wajah bentala. Dendamnya memang sahih berpinak; hingga menjalar ke roh Qabil sang putra pertama buana (bila pada nenek kami ia berniaga ketamakan, kepada si kembar ia jual pula iri hati). Ikhtiarnya tak kunjung usai kepada anak cucu kami, meski nyala api berkobar-kobar siap menanti tubuhnya yang juga ialah api. Maka teruslah berhati-hati, sebab ia begitu terampil memikat hati. 


Akasia 11CT



Rimbun


Demi rambutmu tebal menggumpal

Atau panjang akarmu tumpah menggenang

Izinkan kami sedikit menukilkan 

Apa yang papa kami miliki 

Sehingga bila kelak tidak cukup luas

Peribahasa melafazkan madahnya

Pohon maafmu janganlah tumbang

Setiap cabang kemolekanmu

Kami ibaratkan pintu yang terbuka

Yang memanggil-manggil 

Demit atau sebagian serangga 

Dan beberapa binatang malam

Berumah-bertelur di sana

Pun acap pula kami dengar

Kisah pengembara tersesat 

Atau hilang engkau telan

Dalam mantelmu yang kadang hijau

Kadang cokelat tua atau kuning belaka

Jua kadang hitam semenjana

Sebab itukah rimbun nama kau pilih semata?


Akasia 11CT



Ramai


Riuh rendah suara itu

apakah kau yang membentangkannya

seraya khidmat melepaskan 

jubah sunyi yang nyaris abadi 

betah di hati kami.

Tengoklah anak-anak riang gembira 

datang berlari menjilati merah muda gulali 

dan bukan kepalang cengang mereka

mendengar meriah bunyi-bunyi

yang kau lempar di angkasa raya 

laksana kembang api malam 

di langit kota yang sebentar 

biru sebentar kelabu. 

Tapi tidakkah kau maklum wajah 

khawatir yang melekat tipis

di antara bibir dan lipstik para istri 

ketika menyaksikan pujaan hati mereka 

sibuk menggulung lengan kemeja 

sampai ke ujung siku sambil berdiri 

sedikit menyandar memainkan kaca mata 

nan gelap lagi berkilauan. 

Orang-orang lalu lalang membicarakanmu

seakan pernah melihat lapang tubuhmu

seolah-olah paham merdu suaramu

yang sesungguhnya tak lebih sekadar

tuturan igau yang terkurung jeruji pilu.


Akasia 11CT 



Berhala 


Betapa megah moyang kami dulu menegakkan istana-istana untukmu yang teramat sungguh pemalu bicara. Serupa pasukan penjaga, adakalanya kau bersusun-berbaris mengelilingi rumah Tuhan yang dibangun Ibrahim. Sampai akhirnya Al Amin datang merubuhkan kau dengan tongkatnya sendiri.  

Di bawah kaki keras bekumu itu, beragam hasil bumi serta hewan ternak yang enak di pandang dan lezat dicicipi kami letakkan upeti. Kadang anak perempuan kami, rela belaka kami hadiahkan kepadamu sebagai kurban. Supaya lancar lalu lintasmu mengatur semesta, seraya semakin melimpah perniagaan dan jual-beli, kata si bebal kepala berapi-api.

Sebenarnya sebelum anak cucu Ismail meramaikan tanah gersang nan tandus itu, bukan main rutin kau lahir dalam kisah orang-orang pilihan. Entah bagaimana kakek-kakek kami begitu percaya pada bisikan roh jahat yang menyaru orang saleh agar di setiap rumah mereka, kau tekun tegak berdiri. 

Namun selalu saja cahaya kesahihan jua yang meratakan kau di tanah—meski kelak di penghujung masa kami pun senyata mahfum kau akan unjuk diri kembali. Sebagai salah satu tanda buana tak lama lagi akan mati. 

Dan lihatlah kini, itu mulai terbukti. Lihat! Alangkah mahir engkau menjelanak ke dalam harta kami, istri-istri kami, anak-anak kami, pangkat-jabatan kami. Bahkan telah pula menyaru ke dalam rumah Tuhan kami. Hingga di mana-mana kini, engkau semata yang acap kami cari.


Akasia 11CT




Rami


Seraya berdoa tibalah kami pada luhur rambutmu. Yang menjulur; meminta akal budi segera mahir terampil menukilkan apa-apa yang patut dan layak dinukilkan. Begitulah, bila adab kami dahulukan, pastilah budi yang mekar bestari. Sehingga yang gelap dari pengetahuan, terang percuma kami memandang. Maka kokohlah kapal-kapal kami di pelabuhan, terlindungilah bahan pokok kami dari serangga pencuri keterlaluan, dan tentu saja elok nian kami menepis kilau syamsu yang berkibaran. Namun, setakat itukah engkau kami lestarikan, sedangkan rahasia alam terlampau luas ’tuk kami taklukan.


Akasia 11CT


_______

Penulis


Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIbuMataAngin, salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur, dan Fundraiser di Adhigana Fundraising. Puisi-puisinya banyak sekali ditolak redaksi. Buku kumpulan puisinya Pertanyaan yang Menyelinap entah kapan terbit. 


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com