Wednesday, March 12, 2025

Cerpen Pagar Laut | Ratu Tsaqova El Husna | Pak Fikri & Lautan

 Cerpen Ratu Tsaqova El Husna


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Suatu hari yang cerah di pinggiran tepi pantai Desa Swadalaya, hiduplah satu keluarga nelayan yang berbahagia. Keluarga itu dikepalai oleh seorang bapak tua bernama bapak Fikri. Bapak Fikri dikarunia dua buah hati yang seiras cantik juga tampan. Anak lelakinya bernama Fakhri dan anak perempuannya bernama Ajeng. Dulunya mereka hidup dengan keluarga yang lengkap, akan tetapi bumi lebih mencintai sang ibunda. Ibunda telah wafat pada saat peristiwa tsunami satu tahun yang lalu. Keadaan keluarga mereka terselimut rasa duka jika mengingat kejadian pada hari itu. Peristiwa itu menjadikan pelajaran yang berharga dalam memahami dan menyayangi situasi alam.

Hiruk pikuk burung kelelawar terdengar samar-samar dalam menyambut sang fajar yang hendak membangunkan makhluknya. Di tengah arus gelombang yang tak mengenal situasinya dan tak tahu kapan ia akan lelah, berlayarlah seorang nelayan tua yang hendak memanen ikan. Bapak Fikri telah mengarungi luasnya laut Desa Swadalaya, ia mencari nafkah dengan memanen ikan untuk memenuhi kecukupan dalam kehidupan sehari-harinya. Namun, belakangan ini, keadaan kehidupan laut tak lagi seperti dulu. Dentuman ombak menghantam hamparan laut dengan hebatnya, dan bencana buruk sering terjadi seperti erosi. Keadaan ini membuat pak Fikri sulit dalam memenuhi kebutuhan pangan sehari-harinya. Bencana erosi ini mengakibatkan ketidak seimbangan dalam ekosistem laut, sehingga mengakibatkan sulitnya dalam memanen ikan. Tetapi, ia tahu betul bahwa sulitnya ikan-ikan ditemukan pasti ada suatu keadaan yang berubah dalam dasar laut. 

Suatu malam dalam lamunan yang sendu, ia duduk di beranda rumah panggungnya, menatap hamparan laut yang kelam. Angin malam membawa bisikan ombak yang seakan meratap. "Laut ini butuh suatu pembatas," gumamnya, mengenang cerita kakeknya saat dahulu. Saat dahulu leluhur beliau menceritakan akan pagar laut yang akan menjaga keseimbangan kehidupan laut.

Keesokan harinya setelah Pak Fikri berlayar seharian, ia mengambil cuti untuk berlayar. Ia pergi ke rumah Kepala Desa Swadalaya. "Laut nenek moyang kita sedang sakit," katanya. "Jika kita enggan melakukan suatu tindakan, lambat laun laut kita akan mati, begitu juga dengan kita." Kepala desa meremas pelipis dahinya dengan wajah yang tampak risau, lalu ia bertanya, “ Jadi apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal itu terjadi?’.

"Kita segera membuat pembatas dengan membangun pagar laut," jawab Pak Fikri dengan lugas. "Bukan artian kita membangun pagar laut ini dengan kayu, bambu, atau bahan material lainnya. Apalagi seperti berita yang akhir-akhir ini mengabarkan terdapat pagar laut terbuat dari bambu yang menjuntai sepanjang 30,16 km. Akan tetapi Pagar laut ini kita bangun dari kesadaran. Kita harus berhenti mengambil kekayaan laut secara berlebihan, kita harus menjaga semua ekosistem laut, dan mencegah terjadinya penumpukan sampah di laut yang difaktorkan dari membuang sampah secara sembarangan."

Namun, spekulasi ini mendapat banyak ketidak setujuan dari beberapa pihak. Banyak dari golongan nelayan muda yang menertawakan akan spekulasi Pak Fikri ini. "Bagaimana kita mampu bertahan jika kita tidak mengambil kekayaan laut ini yang melimpah, toh kita juga mencukupi kehidupan dari situ?" Sergah seorang nelayan muda. “Atau jangan-jangan dengan bapak membuat ide pagar laut ini agar bapak dapat menguasai kekuasaan yang telah lama kami jaga ini?” Ucap seorang bapa tua yang selama ini tidak menyukai kehidupan Bapak Fikri. Hal ini dikarenakan ia merasa iri karena Pak Fikri sangat mudah dalam memanen ikan dan membawa hasil panen yang amat melimpah kembali ke rumahnya . 

Pak Fikri menanggapi bantahan dan celotehan tersebut dengan tersenyum pahit. "Bayangkan jika kita terus merampas dan bergantung setiap saat tanpa memberi waktu bagi laut untuk bernapas, suatu hari kemudian,yang terdapat bukanlah hasil kekayaan laut lagi, akan tetapi laut yang dibesarkan bumi pertiwi ini akan terisi dengan air kosong yang tanpa penghuni." “Apakah kalian mau laut kita ini menjadi lautan yang mati?” Tanya Pak Fikri dalam situasi yang tegang.

Walaupun ide baik Pak Fikri banyak yang kurang menyenangi, hal itu tidak mematahkan semangat ia berusaha dalam menjaga keseimbangan kehidupan laut. Bersama segelintir nelayan yang percaya akan ide baik itu, ia memulai dengan pembuatan aturan baru dalam bernelayan. Para nelayan hanya dibolehkan memanen ikan pada saat suatu musim tertentu dan berkala, melakukan penanaman kembali pada terumbu karang yang mengalami cedera, dan yang terakhir dengan sayembara membersihkan pantai sekitar setiap minggunya. Dari hal kecil ini membawa perubahan baru yang sangat membuahkan hasil. Kehidupan laut mulai terjaga dan laut dapat bernapas seperti sedia kala. 

Tak mengenal waktu dan keadaan, bencana berdatangan seperti irama yang sering sekali beriringan. Suatu malam yang terasa dingin seperti kutub, badai besar datang tanpa pemberitahuan. Kondisi pemukiman mulai tidak terkendali, perahu-perahu yang menemani para pengarung lautan untuk mengais rezeki terhempas hingga ke daratan dengan penampakan rapuhnya. Keesokan harinya, desa Swadalaya tampak luluh lantak, dan beberapa warga mengungsi ke Masjid desa. Tetapi dalam hal itu, laut adalah laut yang hanya menjadi penonton dalam bencana ini tanpa mengalami pengurangan. 

Selepas air laut mulai tersapu tipis dan pelan, mereka terpukau dengan sesuatu yang menggetarkan hati. Usaha dari pagar laut yang telah mereka bangun berbuah hasil yang tidak sia-sia. Mereka membangun pagar laut dengan berupa menjaga terumbu karang dan hutan bakau yang mereka rawat dan pulihkan dari kondisi yang tidak baik-baik saja. Hal ini membuat terumbu karang serta hutan bakau dapat beradaptasi dan tumbuh kembang lebih baik. Usaha mereka sangat terapresiasi karena telah menyelamatkan sebagian besar desa. Dentuman ombak yang mengamuk tanpa alasan tertahan oleh alam yang sehat, oleh keseimbangan laut yang telah dijaga dan rangkul bersama.

Kerabat nelayan yang dulu menentang kesadaran mengenai ide pagar laut kini berdiri di hadapan Pak Fikri, dengan kepala tertunduk mereka mengakui kesalahan mereka karena banyak membantah dalam perbincangan yang lalu. "Kami salah, sudah seharusnya kami memikirkan baik-baik di tengah perbincangan hangat kemarin" ujar salah satu dari mereka.’’Maafkan saya pak, saya sudah menganggap remeh ide hebat yang dimiliki bapak, sebaiknya saya sebagai kaum pemuda dapat menjadi penggerak terlebih dahulu dan memikirkan hal lebih inovatif agar terjaganya kekayaan bumi pertiwi ini" ujar salah satu tokoh pemuda.”Semoga dengan adanya hal ini kami dapat menanamkan dalam diri kami, rasa kesadaran yang teramat tinggi terhadap sesama yang hidup, dan kami juga lebih bisa menyongsong untuk merangkul agar mampu menjaga kekayaan alam ini yang tak terhitung nilainya." Sahut salah seorang pemuda desa lainnya. 

Terlihat secarik senyuman hangat yang merekah dari wajah pak Fikri. Bagi seorang nelayan tua, tiada kemenangan yang sangat besar dibandingkan dengan melihat ketenangan kehidupan laut. Semenjak kejadian itu warga Desa Swadalaya tampak antusias dalam bekerjasama untuk melestarikan kehidupan laut. Mereka rajin untuk memperbaiki dan merawat dengan telaten keadaan terumbu karang yang tidak baik-baik saja. 

Pagar laut yang telah dibangun membuahkan hasil penuh suka cita, melindungi perairan laut dan mengembalikan kehidupan ekosistem laut. Ikan-ikan yang dulu menepi sekarang kembali dengan kawanan nya yang melimpah. Tangis harus penuh bangga terpancar dalam hati para nelayan Desa Swadalaya. 

Tak lama setelah keberhasilan pembuatan pagar laut ini, pak Fikri diliput oleh media lokal berkat ide yang sangat menyongsong hati nurani untuk menyadarkan akan saling menjaga dan merawat kehidupan bumi pertiwi ini. Pak Fikri juga mendapatkan penghargaan berharga dari menteri kelautan.