View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Friday, April 26, 2024

Puisi-Puisi Said Kusuma

Puisi Said Kusuma




Sunyiraya

: merayakan ulang tahun ala sosial media

 

(1)

diabaikannya repetisi bunyi notifikasi whatsapp pada subuh yang sunyi. ia hafal, setiap tahun pada tanggal ini, Tuhan mengucapkan happy birthday. sayangnya kotak seluler dalam genggaman itu memiliki setting abadi

; no reply - read only

 

(2)

di halaman buku berwajah biru, ditulisnya gugus gagasan status. tiada like maupun comment karena ribuan permintaan pertemanannya belum satu pun diterima, selain oleh sebuah akun palsu miliknya sendiri. well, setidaknya 'kesepian" jadi mutual friend mereka berdua di fakebook, eh, facebook.

ah, haruskah buku sial itu selalu mengingatkan tanggal lahir? memangnya sarang semesta dalam kepala telah dihinggapi amnesia?

 

(3)

sebuah biduk persegi merah, arungi samudra maya yang gelombangnya begitu instan dan mengandung garam. di bentang layarnya, alih-alih menangkap angin, menyajikan foto-foto monokrom dirinya dengan pose monoton

; jemari membentuk simbol love.

 

 selamat panjang umur, wahai individu nirsedulur

sejumlah like dari fake followers sekadar jadi penyala logo hati, tanpa pernah jadi pengisi hati sejati.

 

(4)

tak perlu banyak mengetik hingga ujung kuku rontok. cukup unggah video musik sekian detik pengiring lenggak-lenggok tubuh montok.

karena gila setitik merusak lugu sebelanga

(maka gilalah bertitik-titik agar tak rungkad, katanya).

 

mungkin viralisasi terbaik adalah dengan menyebar postingan tentang segenap musabab pembuat dunia ternganga, meski tanpa kebenaran di dalamnya.

 

(5)

barangkali, meniup lilin berkali-kali, adalah cara terbaik mengembuskan rasa syukur, atas apa-apa yang gagal ia miliki.

lagipula, terkadang golak ambisi tak hanya membisiki, tapi juga membusuki.

 

  --Jakarta 16042024

 


Aku dan Seekor Ular Bernama Deja-Fool

 

cinta lama adalah sejenis rattlesnake betina yang bersarang di belakang retina, melata di sisi buta dari mata. tak terlihat, tapi selalu terlibat di tiap habitat ingatan para retrofilia

; tempat reptillia beraksi membelitkan sensasi repetisi liar yang tak asing.

 

mungkin karena tak juga jera ditimpa dera, kugali-gali lagi memori dari tempat yang kukenal, dari liang-liang paling kukenang. hingga terlambat menyadari bahwa menyalahkan hilangnya romansa silam alih-alih menyalakan kasih sayang untuk masa depan, hanya akan memperpanjang garis sayat pada riwayat kepedihan.

 

ujung ekornya berderik menghantui telinga, berkuasa meratui meski religi tak merestui. semacam adiktif di cabang lidahnya jadi candu untuk kunikmati bersama secangkir latte setiap sore.

 

entah ia terlalu pintar atau aku selalu pandir; membiarkan dosa berbisa kembali berputar mengelilingi takdir.

 

--Jakarta 16042024

 


Pledoi Sang Penyintas di Jalan Pintas

 

kuraut sebatang pensil kayu, dari pohon pengetahuan yang nyaris layu. kedua ujungnya menawarkan kebebasan imaji pengasah taji

 

grafit pekat penajam kata, menggoreskan bait pengikat dusta dan fakta. mengkarantina ide dalam ruang beraksara, sebelum jelajahi ribuan jalan menuju roma, menerobos titik dan koma.

o, pemuja licentia poetica.

 

karet penghapus memupus rumitnya rute pengorbanan menuju kejayaan. namun, kelancangan menembus kultus dan ritus harus ditebus dengan kepasrahan hati menerima caci maki. dipaksa perkenalkan diri pada hunjaman hujatan yang kian akrab, kawani hari-hari, kawini jari-jari.

o, berlari-lari pula puisi, menyelamatkan diri.

 

biarlah langkah rapuh generasi sepuh bersikukuh menempuh jarak terjauh selama kaki belum lumpuh. asal mereka biarkan pula kubaca jalan lurusku dengan ujung kuku sebagai pemandu. dunia akan selalu menghakimi dengan kalimat serupa peluru pengadil di moncong bedil. karena di mata para pemuja kesilaman; seorang pengubah kelaziman adalah pencipta kezaliman.

 

-- Jakarta 16042024

 


Gastro Mundo

 

1/

dunia,

mengaduk isi perutnya sendiri

mencampur berita, baurkan cerita

 

sepotong fiksi terendam dalam semangkuk realita

mencemari rasa yang telanjur bikin lidah terbiasa

 

sementara, kita

mencicipi hidup

di bawah redup pelita

sembunyikan remah derita

di bawah taplak berenda

 

2/

di dunia kecil berlangit doa

ibu adalah ratu dapur

penabur rasa syukur

selama ayah selalu ingat

menyetorkan keringat

di loket kehidupan terdekat

 

di sana, kejelataan

bertugas di mejanya,

mencatat

 

deretan abjad

merapat makin lekat

goresan tinta pena

menghitam kian pekat

 

lalu, kefakiran

diresmikan jadi nama belakang keluarga

 

--Jakarta 11042024

 


______


Penulis


Said Kusuma
, pria asal Jakarta peraih juara I di Grup Puisi Om Dedi Tarhedi edisi Mei 2023, dan juara III Anugerah COMPETER Indonesia 2023 ini telah menulis karya yang tergabung dalam 25 buku antologi puisi dan cerpen. Dapat dijumpai karya-karyanya di akun IG @said_serigalla, @gelometris Tergabung dalam COMPETER INDONESIA, Kelas Puisi Bekasi, Kelas Puisi HUMA, AIS, dan Komunitas Penikmat Puisi.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Cerpen Suyat Aslah | Yenzi

Cerpen Suyat Aslah

 


Yenzi selalu sabar menunggu di depan pintu meski sudah satu jam lebih berdiri. Meski sudah sekian banyak ketukan dan panggilan masih tak ada jawaban, belum terlintas di kepalanya sesuatu yang buruk terjadi padanya. Hampir selalu orang yang dia tunggu akan keluar dua jam setelah ketukan pertama dengan rambut tak rapi, kamar berantakan, dan sebuah seragam serdadu yang tergeletak di atas kasur. Baju itu telah disimpan sejak Yenzi belum lahir. Warnanya telah pudar dan sebagian terlihat seperti kena getah. Ibunya sering kali lekat-lekat memandanginya dan kadang disertai air mata. Saat menunggu pintu itu dibuka, Yenzi suka melamuni sesuatu.


Yenzi kecil tak mengerti apa-apa. Saat menanyakan pada ibunya, dia hanya mendapat jawaban, “Dia akan kembali, dia akan kembali, Yenzi.” Semua itu membuatnya makin tak mengerti.


Hari-hari berat dilalui hanya berdua. Dunia yang terlalu bengis bahkan untuk sekadar cari makan. Tiap napas menarik perih. Hingga suatu saat Yenzi tahu, ada masa lebih berat yang berada jauh di belakang. Pasukan dengan wajah malaikat datang dari arah timur laut, menjanjikan sebuah perlindungan dari ganasnya peperangan. Semua mengamini dan menyambutnya dengan hati senang. Namun tak lama kemudian mereka berganti wajah dengan jubah kebengisan serta sejulur tangan dan kaki binatang. Mereka memperburuk keadaan.


“Ayahmu adalah salah satu di antara mereka, Yenzi,” kata ibunya di lain waktu. Saat itu Yenzi masih kecil. Itu adalah hal yang mengejutkan bagi Yenzi. Dia selama ini merasa kering kasih sayang seorang ayah. Namun saat sudah tahu siapa ayahnya, Yenzi tak tahu harus bagaimana menjawabinya. Dia pun tak mengerti kenapa sekian banyak rangkuman kisah penuh derita dalam peperangan, terselip di sana kisah cinta, bahkan mereka menikah.


“Dia serdadu yang baik dan tampan, Yenzi,” ujar ubunya.


Kemudian ubunya melanjutkan ceritanya. Saat Yenzi masih dalam kandungan keadaan tiba-tiba berbalik. Mereka para pendatang semua terusir dari tanah yang tak seharusnya dikuasai, termasuk Ayah Yenzi. Sejak saat itu dia tak kembali lagi. Hanya meninggalkan seragam serdadu yang selalu Ibunya pandangi dan tangisi setiap hari. Bahkan saat akan tidur, baju itu selalu didekap oleh Ibu Yenzi.


Yenzi hanya bisa membayangkan peristiwa itu. Bayangannya selalu pada tragedi berdarah. Karena dalam cerita-cerita yang dia dengar, saat peristiwa itu terjadi darah tercecer di mana-mana dan banyak mayat bergelimpangan. Yenzi juga ditakdirkan terlalu takut pada darah. Merah yang menyakitkan. Apalagi saat ibunya mulai berubah, selalu mengurung diri dalam rumah dan tak banyak bicara. Ibunya akan selalu sibuk dengan dunianya yang absurd, hanya berkutat dengan imajinasi dan perasaannya sendiri. Terkadang hanya ada kekosongan dalam matanya. Bahkan Yenzi pernah melihatnya langsung sekitar tiga tahun lalu, ibunya mengiris kulit tangannya sendiri di hadapan Yenzi dengan bibir tersenyum namun tetap merasakan sakit. Lalu cairan merah meluap dan melumasi sekujur tangan, sebagian ada yang menetes-netes. Jantung Yenzi seperti merosot ke bawah sambil berteriak. Lalu dia lupa waktu, dan terbangun saat ibunya sudah di rumah sakit. Ibunya terselamatkan karena tetangganya yang mendengar teriakan membawa ibunya ke rumah sakit.


Saat lamunannya makin terbang, suara gerendel pintu bergemerincing membuat kesadaran kembali memasuki kepala Yenzi. Keriut pintu mulai terbuka dan wajah di hadapannya tak seperti baru bangun tidur. Yenzi yakin ibunya telah terbangun lama, hanya saja tak membukakan pintu untuknya, itu hal biasa.


“Apa dia sudah kembali?” tanyanya.


“Dia takkan kembali,” jawab Yenzi.


“Dia akan kembali, Yenzi,” ujarnya, lalu pergi ke kamar mandi.


Ibunya sudah tak memikirkan lagi apa yang Yenzi alami sekarang. Menikah dengan laki-laki berengsek juga pengangguran. Mengabaikan semua tanggung jawab sebagai suami. Perangai palsu sudah menipunya hingga dia menyesalinya dalam-dalam. Yenzi hampir saja menumpahkan air matanya, namun cepat-cepat mengusap matanya sebelum benar-benar air mata itu jatuh, lalu menguatkan dirinya sendiri. Terkadang dia pun berpikir dan menginginkan ayahnya kembali. Meski dia tahu jika itu terjadi, dia bakal tak tahu bagaimana cara menyambutnya nanti. Namun dia juga merasa sedikit beruntung karena tak memiliki anak, hingga tak ada yang ikut merasakan kehidupan pedih seperti dirinya. Meski ketakutan akan masa depan juga ada, siapa yang akan mengurus dirinya nanti.


Badan kurus Yenzi dan wajah yang jarang tersenyum cukup menggambarkan dia tak baik-baik saja. Pakaiannya yang gombrang cukup mengundang iba orang yang melihatnya. Yenzi memandangi seragam serdadu itu dan kali ini dia malah benar-benar menangis. Tangannya menutupi mulutnya, namun tak bisa menahan ledakan dalam dadanya.


“Dia takkan kembali, dia takkan kembali,” gumamnya berulang-ulang untuk mengalihkan pikiran.


Yenzi akan meletakkan makanannya di meja kecil sebelah tempat tidur, lalu membereskan semua yang berantakan. Yenzi akan pulang jika semua sudah selesai. Beruntungnya, ibunya masih bisa sedikit mengurus dirinya sendiri. Meski selalu saat Yenzi kembali saat sore nanti, sisa-sisa makanan dan benda-benda dalam kamar semua berantakan lagi. Namun Yenzi tak dongkol sama sekali. Jika bukan dia yang mengurusi semua, ibunya bisa mati kelaparan. Beruntungnya rumah yang dihuni adalah milik sendiri, terletak beberapa blok dari rumah Yenzi.


“Turuti saja keinginannya. Dia saja tak mau dipindah, kenapa kau memaksa?” kata suaminya suatu kali. Yenzi tahu suaminya sendiri juga tak berharap untuk serumah dengan Ibu Yenzi. Dia sama sekali tak pernah menjenguknya ataupun menanyakan kabar. Hanya sebatas mengizinkan merawatnya sendirian.


Akhir-akhir ini suaminya biasa pulang pagi dalam keadaan mabuk. Jika mabuk terlalu berat, kawannya mengantarkan sampai ke sofa yang sudah robek sana-sini hingga terlihat busa-busanya tersembul keluar. Dan di sanalah dia bakal muntah-muntah. Biasanya celananya juga basah air kencingnya sendiri. Semua kekacauan itu Yenzi yang membereskan.


Yenzi tak terkejut saat sampai di rumah. Suaminya sudah tertidur di sofa dengan dengkuran keras dan terlihat juga muntahan yang tercecer. Lebih dulu Yenzi masuk ke kamarnya, memandang dirinya pada cermin yang retak. Hanya diam, namun dalam kepalanya kalimat-kalimat bertengkaran. Dia menyadarinya, selama ini hampir tak ada waktu mengurus dirinya sendiri. Tak pernah bersolek dan tak punya baju yang baru. Waktunya lebih banyak tersita pada hidup yang penuh tekanan. Kadang dia takut kepalanya tak bisa menyangga beban pikiran yang bisa menghilangkan segala isyarat tentang dirinya yang sekarang. Pandangannya makin masuk ke dalam diri. Untuk kali ini dia ingin lebih menghargai dirinya sendiri. Tangannya menyeruak baju-baju di lemari, dia memilih baju terbaik menurutnya dan memakainya. Rambutnya dia sisir pelan-pelan sambil memandang diri pada cermin. Bibirnya dia paksa untuk tersenyum. Sesekali mengibas-ibaskan rambutnya. Yenzi merasa lebih cantik saat ini, dan mulai bersenandung lirih sambil masih menyisir rambutnya. Lalu terdengar suara muntah-muntah dari suaminya, kali ini Yenzi tak peduli itu.


“Yenzi! Sini kau!” suara itu terdengar keras bernada memaksa. Yenzi masih mencoba untuk tak peduli.


“Yenzi...!” teriaknya lagi lebih keras.


Dalam kepalanya, Yenzi memikirkan waktu-waktu beratnya selama ini yang harusnya membuatnya berjiwa baja. Dia merasa seperti orang terbodoh di dunia selama ini, karena hanya selalu diam saat suaminya melukai, meneriaki dan meludahi Yenzi. Dadanya bergemuruh dan tak ingin menahannya. Lalu berjalan dengan langkah pelan menuju ruang depan. Wajah suaminya masih terlihat tak sepenuhnya sadar, dia mendongak melihat Yenzi. Saat itu juga Yenzi meludahinya berkali-kali.

 

______

Penulis

 

Suyat Aslah, penulis kelahiran Cilacap tahun 1995. Alumnus SMA Diponegoro Sampang (2014). Mulai menjadi penikmat sastra sejak SMA. Beberapa bukunya yang dia tulis berjudul Puspa (2016), Sehelai Jiwa Sepi (2018), Philogynik (belum terbit). Channel YouTube-nya: Aslah S.

 

Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wednesday, April 24, 2024

Cerpen Jawa Banten Encep Abdullah | Bêlêdogan si Rojali

Cerpen Encep Abdullah




Rojali mêlipir-mêlipir mêtu sing kamar. Ning tangané nyêkêl kêrék lan lilin. Rumasê wêruh lamun ibuné bakal ngêmarahi. Rojali pintêr, ngajak adiné mêtu, si Rosyid.


“Gagi, mumpung ibuné lagi adus,” jéréh Rojali ning si Rosyid sêmbari narik tangané.


Sekaroné metu sing umah boncéngan nunggang pit. Kêluyuran gêlati wong raméan sing nyulêd bêlêdogan. Rojali ngêlogok kantong. Picisé akéh. Anê sékêt éwu. 


“Kang, picis sing êndi?” jéréh Rosyid.


”Wis ajê akéh têtakon. Yuk, tuku bêlêdogan!” jéréh Rojali.


Rojali lan Rosyid borong bêlêdogan. Jênis apê baé dituku. Rumasê akéh picis. Rojali lan Rosyid pêpolah aduan bêlêdogan. Sulêd siji, sulêd maning. Untal-untalan. Aduan kêlawan bêbaturané. 


Bêlêdogane Rojali orê sêngajê manjing jêro kêlambi Duloh. Si Duloh gêgidig sembari melayu-mêlayu. Duaaar! Bêlêdogan kêréké mêlêdog. Rojali lan Rosyid ngiprit balik. Pit ditinggal ning latar. 


Bapané Rojali balik salat Mêgrib. Cêlingak-cêlinguk ngêdêlêng bocah rêraméan ning latar, bokan anê anaké sing mélu keluyuran. Bapané Rojali ngêdêlêng si Duloh ngêlépoh.


”Rojaliii ... Rojaliii ...,” jéréh Duloh nangis kêjêr sêmbari tangané nuding-nuding ning arahé Rojali kabur. Tapi bapané Rojali orê ngêdêlêng ulês anaké. 


Balik ning umah, bapané Rojali cumê ngêdêlêng rabiné lagi salat.


“Kêlipén Bah, kayê wong kêtêlimbêng?” takon ibuné Rojali sewisé salat.


”Bocah-bocah salat Mêgrib orê?” jéréh bapané Rojali.


“Darani mélu Abah ning mêsjid.”


Rojali lan Rosyid ngêgêtêr-gêtêr ngêrungu obrolan Abah lan Emak ning kamar. Kêringêt ngêgotos ning pawon. Mêjogrog sekaroné ning pinggir pulkas.


”Wis orê salat, maén bêlêdogan maning. Êndi bocah kaên. Tak sunat pisan sekaroné!”


Rojali lan Rosyid nyangkin orê puguh. Nyangkin ngêringêt. Kotos. Baranganu, orê sengajê sikil Rosyid nyênggol lemari kacê. 


”Ssst! Ajê beribin,” jéréh Rojali ning Rosyid. 


***


”Assalamualaikuuum ...! Assalamualaikuuum ...! Kamaad anak irê kéh pêpolah. Lakê kêrunyané ning sing si Duloh. Masê gêgêré sampé abuh menyor mêngkénén!” 


Ibuné Rojali ngêbuka lawang. Bapané nyusul ning buri. 


“Wéntên napê Kang Komar mêgrib-mêgrib têriwuh iku!” jéréh ibuné Rojali.


“Anaké kuh, têlêngês. Dêlêng gah gigir anak kitê sampé mêngkénén. Jéréhé kênang bêlêdogan si Rojali. Pokoné orê têrimê kitané. Kudu tanggung jawab bocah ikê,” jéréh Duloh.


“Astagfirullah. Orê ning sêkolahan, orê ning perumahan. Padê baé polahé. Ning sêkolahan nyulêd bêlêdogan. Ning kéné padê baé,” jéréh Kamad.


”Wingi gah kitê lagi masak jêring, si Rojali nyulêd bêlêdogan ning kéncéng. Gusti Pêngéran. Lah, awur-awuran sêjagat!”


Kamad lan rabiné kêtêlimbêng. Ajê maning wong liyan, sêkaroné gah dadi korban anaké. Anaké sêkaroné lagi ngénté alon-alon sing hordéng sêmbari ngêgêtêr-gêtêr tangané.


”Wis pokoné ko ésuk marêk baé ning umah kitê. Kudu tanggung jawab. Saiki kitané arêp gawê Duloh berobat dipit,” jéréh Komar.


Pas manjing umah, Kamad ngêdêlêng sêkaro anaké. Arêp kabur malah kêcêkêl. Ibuné ngejéwér kuping Rojali. 


”Apané kitê doang iku. Rosyid gah péluan!” jéréh Rojali orê gêlêm dihukum déwékan. Sekaroné dijéwér. Bêlêdêgon ning kantong Rojali dirampas bapané. Dipindahakên ning celanê déwéké ning kamar. Barang ngêlogok kantong, picisé ane sing ilang sékêt éwu.


”Bu, ngêmbil picis Abah orê?” takon Kamad.


“Lah êmbuh. Botên uning Bah,” jéréh rabiné Kamad.


Matê Kamad lan rabiné langsung mêlotot. Anaké ngêtungkul ngêrasê salah.


”Aih, Gusti Pêngéran! Abah lan Ibu orê élok ngêgéi contoh nyulêd bêlêdogan asal. Orê élok ngajari sirê-sirê nyolong picis. Oré élok ngajari bolos salat,” jéréh Kamad.


”Kitêmah orê salah, Bah. Kang Rojali sing maksê kitê kon ngêbaturi nyulêd bêlêdogan!” jéréh Rosyid.


”Wis, padê baé. Naséhat Abah iku gonah sirê segalê,” jéréh ibuné Rojali.


“Wong Abah lan Ibu ngêréwék baé ning umahé. Êndas kitané munyêr. Ruwêd. Makané nyulêd bêlêdogan baé sêkalian,” jawab Rojali.


“Rojali pernah janji ning Abah. Lamun nakal maning, janjiné bakal disunat. Sirané kuh wis gêdé. Wis kêlas limê SD. Orê isin tah durung sunat iku. Diajak sunati gati sing bêngén,” jéréh Kamad.


”Iyê Bah, Rojali ngaku salah. Ko ésuk jaluk ampurê ning Duloh. Tapi, ajê sunat dipit, durung wani,” jéréh Rojali.


”Garan gah ajê nakal kakangé!” Rosyid nyêlêtuk.


”Padê polahé. Sêkalian baé Rosyid disunat. Tanggung wis kêlas loro. Aje pepéluan kakang irê,” jéréh ibuné.


Rojali lan Rosyid padê-padê ngêtungkul. Matané saling ngêlirik. Matê Rojali ngêgéi kodê, endasé ngangguk. Lawang umah kêdêlêng ngêblak ambê. Ing dalêm kodê itungan têlu, Rojali lan Rosyid êmbil ancang-ancang. Sêkaroné ngêgas, mêlayu lêdêd.


2024

_______

Penulis


Encep Abdullah, penulis sing doyan mangan endog.


Kirim naskah
redaksingewiyak@gmail.com

Monday, April 22, 2024

Karya Siswa | Puisi-Puisi Kellyn

Puisi Kellyn




Kekasih 


Kekasih,

langit semakin gelap, 

tubuh semakin penat.

Kekasih, 

sudikah dirimu singgah di hatiku?



Sirna


Obrolan panjang telah usai

Asmaraloka kita telah berakhir

Kita telah sirna

Dan hanya menjadi cerita 


Aku merindukanmu

Apa kau juga merindukanku?


 

Aku 


Aku ingin menjadi awan 

yang tetap setia ada

untukmu.


Aku ingin menjadi hujan 

yang syahdu

datang kepadamu


Aku ingin menjadi lautan 

yang membawa namamu

dalam ombak menuju tepi


Jiwaku merindukanmu.

 


Bertemu Denganmu


Seperti puisi yang tak kehabisan kata, 

aku selalu menyuarakan namamu 

setiap waktu.


________


Penulis


Kellyn tinggal di kota Tangerang. Siswi kelas X SMK Buddhi, jurusan AKL. Lahir di Jakarta pada 5 September 2008. Anak pertama dari dua bersaudara. Selain memiliki ketertarikan di bidang yang berhubungan dengan alam, ia juga hobi bermain bulu tangkis sejak SD.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Sunday, April 21, 2024

Novel | Salim Halwa (#6) | Syamiel Dediyev

Novel Syamiel Dediyev 




#6

Pukul 20.00 WIB


Gerimis datang saat kupamit pulang ke Fani. Wajahnya terlihat bahagia. Heran juga, lama-lama sebuah rasa perlahan akan naik tingkat. Dari hanya meminta ditemani, berubah menjadi kawan diskusi setiap hari yang terbumbui oleh rasa yang ada di hati. Namun, harap itu hanya sebuah imajinasi karena realitalah yang membawaku kembali ke titik awal. Hanya bersepakat untuk saling mengisi. Tidak lebih, tidak boleh kurang. Berharap pada sebuah fatamorgana asa. Fani adalah sesuatu yang tinggi dan sulit untuk dimiliki perlu kerja keras dan mendaki.


Kutancap motorku dengan perasaan senang berkalut resah. Resah karena sebentar lagi bertemu wanita yang mungkin sekarang berubah menjadi macan yang galak menunggu mangsa. Di sisi lain Halwa adalah sahabat yang membuka jalanku mengerti tentang arti persahabatan.


"Met malam Awa," sapaku sambil perlahan mendekati dan menyalami kedua orang tua Halwa yang sedang di teras rumah menikmati udara malam.


"Malam amat, jam berapa ini?!" sewot Halwa. Aku sudah menduganya. Wajah manis itu akan berubah menjadi macan.


"Katanya tadi mau menunggu aku jam berapa pun? Ini martabaknya."


"Tapi gak semalam ini dong," jawab Halwa.


"Halwa, buatin kopi buat Salim," surug Umi Halwa akrab.


"Iya Bu sebentar," balas Halwa sambil berdiri perlahan masuk ke rumahnya.


"Nak Salim, kata ayahmu, kamu mau kuliah di Jogja ya?" tanya Umi Halwa.


"Iya, Bu. Insyaallah," jawabku.


"Oh, Halwa juga mau kami kuliahin di Jogja. Pumpung ada kamu, jadi minta sekalian dijagain ya. Umi juga udah bilang ke bapakmu," tambah Umi.


"Tapi awas ya Salim, kalo ada apa-apa kamu tanggung jawab," ujar Abi Halwa dengan serius.


"Ini kopinya, jangan sampai nggak dihabisin," ujar halwa.


"Tumben, baik banget kamu," jawabku dengan perlahan menyeruput kopi buatan halwa.


Agak kaget sepertinya, bada yang aneh dengan kopi ini. Kulihat Halwa sedikit menahan tawa, tapi tetap kuhargai kopi buatannya ketimbang aku mengatakan yang jujur, nanti Umi halwa marah lagi. Pikiranku pun berisi dugaan, "Jangan-jangan dia lupa kasih gula kopi ini. Atau memang sengaja lupa usil juga anak ini, ampun."


"Gimana Dek Salim, kopi buatan Halwa? Soalnya baru pertama kali dia buat."


"Masyaallah enak Bu," sambil kesal kulihat halwa yang menahan tawa.


"Oh, iya, Nak Salim dari mana pulang malam?" tanya Umi Halwa.


"Pacaran... pacaran…," jawab Halwa memotong.


"Enggak Bu. Cuma maen aja, pengen liat Kota Serang malam hari," jawabku.


"Pembohong," potong Halwa dengan kesal.


"Halwa, nggak boleh gitu, Nak," ujar Umi Halwa. ”Tapi, bukannya kalian selama ini...," tanya Umi Halwa lagi.


"Umi, udah mending kita masuk yuk. Bairin aja mereka dulu," ajak Abi Halwa kepada Umi untuk masuk ke dalam rumah.


"Pembohong pasti akan berbohong dan berbohong lagi," ujar Halwa.


"Kamu kenapa? Dari kemarin bilang pembohong-pembohong terus. Coba katakan, maumu apa?" tanyaku kesal.


"Ya pembohong. Katanya cuma jalan biasa, ternyata...," balas Halwa dengan menantang.


"Halwa, jika begini terus, aku akan malas bertemu denganmu," ujarku.


"Ya, wajarlah. Udah ada yang baru, buat apa ya lama, iya kan?" jawab Halwa yang semakin meningkatkan tensi darahku.


"Jadi ini kamu sengaja membuat kopi tanpa gula sama sekali?” tanyaku.


"Ya, karena kamu jahat!" jawab Halwa.


Ya, Tuhan, kenapa dengan kamu ini, Halwa. Dari kemarin selalu ngajak ribut terus. Whats wrong with you?" aku makin kesal ketika di setiap percakapan yang kudengar hanya kata "pembohong” dan ”pembohong”. Aku paling benci jika dituduh pembohong begini. Aku cukup geram.


"Halwa, maumu apa? Aku dan Fani hanya sebatas teman. Toh, kamu juga kemarin jalan dengan Ery aku biasa aja," ujarku.


"Cemburu ya?" tanya Halwa.


"Ya nggaklah. Buat apa aku cemburu. Emang aku ini siapa," jawabku.


"Aku nggak yakin kalau kamu nggak punya hubungan dengan Fani. Sebatas teman? Nggak mungkin," ujar Halwa seperti mendesakku.


"Awa, kamu boleh percaya aku atau tidak, terserah!" jawabku kesal.


"Tapi, kamu suka sama dia kan?" tanya Halwa.


"Kalau aku suka sama Fani kenapa?" jawabku tanpa sadar aku sudah mengeluarkan kalimat yang fatal. Waduh berabe ini urusan, bisikku dalam hati.


"Akhirnya, benar kan firasatku, kamu pembohong!" jawab Halwa kesal dan langsung masuk ke dalam rumah sembari membanting pintu.


"Awa denger aku dong, kamu jangan salah paham," ujarku.


Tak sedikit pun kata jawab terdengar dari mulutnya. Macan itu akhirnya benar-benar marah. Tiba-tiba, dia keluar dengan kesal hanya karena ingin mengambil martabak yang masih berada di teras rumah sambil berkata "Ribut sama kamu bikin lapar". Sekali lagi dia masuk ke rumah tak mau menoleh.


Malam ini sepertinya malam kelabu. Entah kenapa mulut ini tidal bisa dijaga sedikit. Akhirnya, sebuah kalimat terlontar tanpa aku berpikir panjang. Pasti hari-hari berikutnya menjadi hari yang kelam penuh konflik.


"Halwa ada apa denganmu?" bisik hatiku dengan pilu.


Aku pamit dan berucap di depan pintu, entah ada atau tidak ada manusia di belakangnya.


"Apakah ini akhir dari persabatan kita?"

 

(Bersambung)


Friday, April 19, 2024

Puisi-Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe

Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe




Rama

 

ia telah membelah hutan dengan kebenaran

ketika Barata datang dengan nampan airmata

memintanya kembali bersampan ke istana

berpesta dengan hamba sahaya dan tunawisma

 

tapi Sinta, yang memberikannya cinta pengembara

memeluk Humbaba, pohon besar untuk hati yang kecil

mereka tetap memeluk belukar, menjawab cicit burung

juga aung serigala betina

 

bagi Rama, kutuk tak pernah punya tampuk

ketika Laksamana berhasil membujuk

namun dewi iblis membuat mereka terpuruk

Sinta ambuk, dalam peluk Rahwana yang busuk

 

neraka telah disebar, cerita Ramayana terbakar.

 

Kubang Raya, Maret MMXXIV





Perjalanan Rama

  

terhadap jalan berliku, ia merasa kaku, terhadap jalan berbelok,

 ia merasa jorok, terhadap jalan menanjak, ia merasa berak,

terhadap jalan menurun, ia merasa ngungun.

 

terhadap jalan licin, ia merasa bacin, terhadap jalan berlubang,

ia merasa terbuang, terhadap jalan becek, ia meresa perek.

 

terhadap jalan berbahaya, ia merasa aman, Tuhan ada di mana-mana,

           membimbingnya ke negeri yang jauh, tanpa ada lagi ngeri.

 

Kubang Raya, Februari MMXXIV




Rama---Rama

 

Rama pergi ke hutan kelam tanpa takut hantu yang kejam,

bertahun-tahun ia mencari Tuhan, ternyata ia temukan di atas tubuh

rama-rama.

 

yang terbang mengitari danau, tubuhnya biru di atas air yang biru,

menghilang di bawah langit biru, tanpa perasaan haru biru.

 

kini rama tahu, jenggotnya yang panjang dari stupa ke stupa,

               dari stepa ke stepa, step demi step, stop demi stop,

membuatnya merasa tidak lebih mulia dari rama-rama.

 

ia percaya hantu, ia yakini Tuhan, ia melihat tahun-tahun kelupas,

juga hutan-hutan dengan pohon ranggas, kini ia tak lagi buas, tak lebih Rama,

ingin jadi rama-rama.

 

Kubang Raya, Februari MMXXIV




Sinta

 

sebab abuku tak kau temui dalam teratai,

pujalah langit malam paling dingin di atas danau.

 

lelaki kesepian itu, adalah seseorang yang kadung menelan kutuk.

        jiwanya busuk, terputuk dalam tumpuk sesal.

 

puja pula ikan, dewi-dewi kayangan, ingatan yang timbul tenggelam

di antara insang, amis perempuan yang menelurkan kuning dendam.

 

aku berendam, dalam dongeng ibumu yang dalam;

saat waktu beku, ia justru mencair, mengalir dari lidah tanpa ujung pangkal,

melesat ke gendang telingamu, ia jadi genderang perang; perangai laki-laki

hidup melawan sangai perempuan mati.

 

Kubang Raya, Februari MMXXIV



_______


Penulis

Muhammad Asqalani eNeSTe. Kelahiran Paringgonan, 25 Mei 1988. Menulis puisi sejak 2006. Adalah Pemenang II Duta Baca Riau 2028. Buku puisinya yang terbaru adalah Ikan-ikan Kebaikan Terbang dari Sungai ke Langit Lengang. Ia mengikuti Residensi Seniman Riau 2023. Adalah salah satu emerging di Balige Writers Festival (BWF) 2023. Sehari-hari ia bekerja sebagai Mentor Menulis Puisi di Asqa Imagination School (AIS). IG: @muhammadasqalanie.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com