Cerpen Suyat Aslah
Yenzi selalu sabar
menunggu di depan pintu meski sudah satu jam lebih berdiri. Meski sudah sekian
banyak ketukan dan panggilan masih tak ada jawaban, belum terlintas di kepalanya
sesuatu yang buruk terjadi padanya. Hampir
selalu orang yang dia tunggu akan keluar dua jam setelah ketukan pertama dengan
rambut tak rapi, kamar berantakan, dan sebuah seragam serdadu yang tergeletak di
atas kasur. Baju itu telah disimpan sejak Yenzi belum lahir. Warnanya telah pudar
dan sebagian terlihat seperti kena getah. Ibunya sering kali lekat-lekat memandanginya
dan kadang disertai air mata. Saat menunggu pintu itu dibuka, Yenzi suka
melamuni sesuatu.
Yenzi kecil tak mengerti apa-apa. Saat menanyakan pada ibunya, dia hanya
mendapat jawaban, “Dia akan kembali, dia akan kembali, Yenzi.” Semua itu
membuatnya makin tak mengerti.
Hari-hari berat dilalui hanya berdua. Dunia yang terlalu bengis bahkan
untuk sekadar cari makan. Tiap napas menarik perih. Hingga suatu saat Yenzi
tahu, ada masa lebih berat yang berada jauh di belakang. Pasukan dengan wajah
malaikat datang dari arah timur laut, menjanjikan sebuah perlindungan dari
ganasnya peperangan. Semua mengamini dan menyambutnya dengan hati senang. Namun
tak lama kemudian mereka berganti wajah dengan jubah kebengisan serta sejulur
tangan dan kaki binatang. Mereka memperburuk keadaan.
“Ayahmu adalah salah satu di antara mereka, Yenzi,” kata ibunya di lain
waktu. Saat itu Yenzi masih kecil. Itu adalah hal yang mengejutkan bagi Yenzi.
Dia selama ini merasa kering kasih sayang seorang ayah. Namun saat sudah tahu
siapa ayahnya, Yenzi tak tahu harus bagaimana menjawabinya. Dia pun tak
mengerti kenapa sekian banyak rangkuman kisah penuh derita dalam peperangan,
terselip di sana kisah cinta, bahkan mereka menikah.
“Dia serdadu yang baik dan tampan, Yenzi,” ujar ibunya.
Kemudian ibunya melanjutkan ceritanya. Saat Yenzi masih dalam kandungan
keadaan tiba-tiba berbalik. Mereka para pendatang semua terusir dari tanah yang
tak seharusnya dikuasai, termasuk Ayah Yenzi. Sejak saat itu dia tak kembali
lagi. Hanya meninggalkan seragam serdadu yang selalu ibunya pandangi dan
tangisi setiap hari. Bahkan saat akan tidur, baju itu selalu didekap oleh Ibu
Yenzi.
Yenzi hanya bisa membayangkan peristiwa itu. Bayangannya selalu pada
tragedi berdarah. Karena dalam cerita-cerita yang dia dengar, saat peristiwa
itu terjadi darah tercecer di mana-mana dan banyak mayat bergelimpangan. Yenzi
juga ditakdirkan terlalu takut pada darah. Merah yang menyakitkan. Apalagi saat ibunya mulai berubah, selalu mengurung diri dalam rumah dan tak banyak bicara. Ibunya
akan selalu sibuk dengan dunianya yang absurd, hanya berkutat dengan imajinasi
dan perasaannya sendiri. Terkadang hanya ada kekosongan dalam matanya. Bahkan
Yenzi pernah melihatnya langsung sekitar tiga tahun lalu, ibunya mengiris kulit
tangannya sendiri di hadapan Yenzi dengan bibir tersenyum namun tetap merasakan
sakit. Lalu cairan merah meluap dan melumasi sekujur tangan, sebagian ada yang
menetes-netes. Jantung Yenzi seperti merosot ke bawah sambil berteriak. Lalu
dia lupa waktu, dan terbangun saat ibunya sudah di rumah sakit. Ibunya terselamatkan
karena tetangganya yang mendengar teriakan membawa ibunya ke rumah sakit.
Saat lamunannya makin terbang, suara gerendel pintu bergemerincing membuat
kesadaran kembali memasuki kepala Yenzi. Keriut pintu mulai terbuka dan wajah
di hadapannya tak seperti baru bangun tidur. Yenzi yakin ibunya telah terbangun
lama, hanya saja tak membukakan pintu untuknya, itu hal biasa.
“Apa dia sudah kembali?” tanyanya.
“Dia takkan kembali,” jawab Yenzi.
“Dia akan kembali, Yenzi,” ujarnya, lalu pergi ke kamar mandi.
Ibunya sudah tak memikirkan lagi apa yang Yenzi alami sekarang. Menikah
dengan laki-laki berengsek juga pengangguran. Mengabaikan semua tanggung jawab
sebagai suami. Perangai palsu sudah menipunya hingga dia menyesalinya
dalam-dalam. Yenzi hampir saja menumpahkan air matanya, namun cepat-cepat
mengusap matanya sebelum benar-benar air mata itu jatuh, lalu menguatkan
dirinya sendiri. Terkadang dia pun berpikir dan menginginkan ayahnya kembali. Meski
dia tahu jika itu terjadi, dia bakal tak tahu bagaimana cara menyambutnya
nanti. Namun dia juga merasa sedikit beruntung karena tak memiliki anak, hingga
tak ada yang ikut merasakan kehidupan pedih seperti dirinya. Meski ketakutan
akan masa depan juga ada, siapa yang akan mengurus dirinya nanti.
Badan kurus Yenzi dan wajah yang jarang tersenyum cukup menggambarkan dia
tak baik-baik saja. Pakaiannya yang gombrang cukup mengundang iba orang yang
melihatnya. Yenzi memandangi seragam serdadu itu dan kali ini dia malah
benar-benar menangis. Tangannya menutupi mulutnya, namun tak bisa menahan
ledakan dalam dadanya.
“Dia takkan kembali, dia takkan kembali,” gumamnya berulang-ulang untuk mengalihkan
pikiran.
Yenzi akan meletakkan makanannya di meja kecil sebelah tempat tidur, lalu
membereskan semua yang berantakan. Yenzi akan pulang jika semua sudah selesai. Beruntungnya, ibunya masih bisa sedikit mengurus dirinya sendiri. Meski selalu saat Yenzi
kembali saat sore nanti, sisa-sisa makanan dan benda-benda dalam kamar semua
berantakan lagi. Namun Yenzi tak dongkol sama sekali. Jika bukan dia yang
mengurusi semua, ibunya bisa mati kelaparan. Beruntungnya rumah yang dihuni
adalah milik sendiri, terletak beberapa blok dari rumah Yenzi.
“Turuti saja keinginannya. Dia saja tak mau dipindah, kenapa kau memaksa?” kata
suaminya suatu kali. Yenzi tahu suaminya sendiri juga tak berharap untuk
serumah dengan Ibu Yenzi. Dia sama sekali tak pernah menjenguknya ataupun
menanyakan kabar. Hanya sebatas mengizinkan merawatnya sendirian.
Akhir-akhir ini suaminya biasa pulang pagi dalam keadaan mabuk. Jika mabuk
terlalu berat, kawannya mengantarkan sampai ke sofa yang sudah robek sana-sini
hingga terlihat busa-busanya tersembul keluar. Dan di sanalah dia bakal
muntah-muntah. Biasanya celananya juga basah air kencingnya sendiri. Semua kekacauan
itu Yenzi yang membereskan.
Yenzi tak terkejut saat sampai di rumah. Suaminya sudah tertidur di sofa
dengan dengkuran keras dan terlihat juga muntahan yang tercecer. Lebih dulu
Yenzi masuk ke kamarnya, memandang dirinya pada cermin yang retak. Hanya diam,
namun dalam kepalanya kalimat-kalimat bertengkaran. Dia menyadarinya, selama
ini hampir tak ada waktu mengurus dirinya sendiri. Tak pernah bersolek dan tak
punya baju yang baru. Waktunya lebih banyak tersita pada hidup yang penuh
tekanan. Kadang dia takut kepalanya tak bisa menyangga beban pikiran yang bisa
menghilangkan segala isyarat tentang dirinya yang sekarang. Pandangannya makin
masuk ke dalam diri. Untuk kali ini dia ingin lebih menghargai dirinya sendiri.
Tangannya menyeruak baju-baju di lemari, dia memilih baju terbaik menurutnya
dan memakainya. Rambutnya dia sisir pelan-pelan sambil memandang diri pada cermin.
Bibirnya dia paksa untuk tersenyum. Sesekali mengibas-ibaskan rambutnya. Yenzi
merasa lebih cantik saat ini, dan mulai bersenandung lirih sambil masih
menyisir rambutnya. Lalu terdengar suara muntah-muntah dari suaminya, kali ini
Yenzi tak peduli itu.
“Yenzi! Sini kau!” suara itu terdengar keras bernada memaksa. Yenzi
masih mencoba untuk tak peduli.
“Yenzi...!”
teriaknya lagi lebih keras.
Dalam kepalanya,
Yenzi memikirkan waktu-waktu beratnya selama ini yang harusnya membuatnya
berjiwa baja. Dia merasa seperti
orang terbodoh di dunia selama ini, karena hanya selalu diam saat suaminya melukai,
meneriaki dan meludahi Yenzi. Dadanya bergemuruh dan tak ingin menahannya. Lalu
berjalan dengan langkah pelan menuju ruang depan. Wajah suaminya masih terlihat
tak sepenuhnya sadar, dia mendongak melihat Yenzi. Saat itu juga Yenzi
meludahinya berkali-kali.
______
Penulis
Suyat Aslah, penulis kelahiran
Cilacap tahun 1995. Alumnus SMA Diponegoro Sampang (2014). Mulai menjadi
penikmat sastra sejak SMA. Beberapa bukunya yang dia tulis berjudul Puspa (2016),
Sehelai Jiwa Sepi (2018), Philogynik (belum terbit). Channel
YouTube-nya: Aslah S.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com