Oleh Kabut
Di Jakarta, kita bisa menemukan presiden. Di situ, ada para menteri yang menghuni rumah-rumah bagus. Yang pernah ke Jakarta mengetahui bahwa para jenderal, pengusaha, dan artis ada di sana. Mereka memiliki lakon hidup yang sukses, yang membuat jutaan orang memuji dan iri. Jakarta, tempat bagi orang-orang penting.
Siapa lagi yang ada di Jakarta? Percayalah di sana ada para seniman yang membuat Jakarta berlimpahan keindahan. Mereka yang merayakan imajinasi. Ada pula kaum intelektual yang otaknya selalu bekerja seolah dunia harus bisa dijelaskan lengkap. Jakarta menjadi ruang hidup bagi arus imajinasi dan ilmu.
Apakah kota besar itu masih memiliki ruang untuk sosok-sosok yang jarang dimuliakan? Benar! Jakarta itu tempat berkeringat bagi buruh. Jakarta pun memuat tokoh-tokoh yang menjadi momok pemerintah. Mereka adalah gelandangan, pengemis, pencuri, pencopet, dan lain-lain.
Jakarta dihuni jutaan orang yang berbeda predikat. Mereka merasa memiliki Jakarta dengan beragam kepentingan dan kutukan. Yang berlimpah uang dan berkuasa menganggap Jakarta adalah sumber kemenangan yang tidak usai. Bagi yang melarat dan sekarat, Jakarta adalah kota yang tidak memberi berkat meski hanya secuil. Jakarta menjadi kota yang keseringan menyediakan derita, tangisan, ketakutan, murung, dan putus asa.
Kita akan menuju Jakarta, bukan bertemu presiden, menteri, pengusaha, atau artis. Yang kita temui adalah para gelandangan. Kita ke Jakarta tidak naik kereta api, bus, atau truk. Kita ke sana dengan “naik” buku. Yang menjadi “sopir cerita” adalah M. Sobary. Ia menggubah cerita berjudul Dalam Pengejaran: Kisah Dua Anak Gelandangan (1985). Buku yang mungkin membuat rezim Orde Baru tercoreng.
Cerita yang bertokoh gelandangan berarti tidak mengakui janji Soeharto yang mau menjadikan Indonesia makmur dan sejahtera. Novel untuk anak dan remaja yang tidak menampilkan teladan kesuksesan politisi, pengusaha, tentara, atau artis. Anggap saja buku itu menyingkap aib-aib pembangunan nasional tapi mengingatkan juga keruwetan pada masa kekuasaan Soekarno masa 1960-an.
Kita wajib mengenalkan dulu M. Sobary. Yang rajin mengikuti koran, majalah, dan jurnal mengetahuinya sebagai intelektual. Ia biasa menulis artikel atau kolom pelbagai tema. Yang menjadi pijakan adalah kebudayaan. M. Sobary tak sekadar intelektual yang sanggup membahas tema-tema besar dan berat. Buku-bukunya membuat kita kagum. Pada masa menua, ia menulis disertasi mengenai petani dan tembakau. Ia terlibat dalam polemik rumit mengenai tembakau. Pada masa makin tua, ia mudah marah-marah. Pemicunya adalah mantan presiden, yang pernah berkuasa di Indonesia selama sepuluh tahun.
Jadi, orang-orang mengenalinya sebagai intelektual tangguh. Yang mengingatnya sebagai penulis cerita anak cuma sedikit orang. Padahal, M. Sobary saat masih muda termasuk yang rajin dan terhormat dalam kesusastraan anak di Indonesia. Kita menemukan novelnya yang berjudul Dalam Pengejaran: Kisah Dua Anak Gelandangan (1985) yang diterbitkan BPK Gunung Mulia. Beruntungnya, buku itu mendapat beberapa ilustrasi buatan Syahwil.
Jakarta yang diceritakan M. Sobary adalah Jakarta yang dicipta oleh para gelandangan, kaum miskin, dan kubu terpinggirkan. Ingat, yang ditulisnya adalah cerita, bukan makalah untuk seminar atau artikel yang dimuat di jurnal Prisma.
Kita berada di Jakarta masa lalu: “Sebuah truk meluncur di jalan beraspal di depan stanplat bus Blok M. Mesinnya berdengung, menderu-deru. Truk itu membelok ke kanan, ke kiri, lalu ke kanan lagi. Mendadak truk itu berhenti di belakang sebuah percetakan. Tiba-tiba beberapa petugas berloncatan turun. Orang-orang gelandangan yang tidur di rumah-rumahan plastik di sepanjang emper gugup melarikan diri. Tapi, para petugas yang gesit menangkapnya.”
Yang disampaikan adalah “geram” pemerintah mengetahui kaum gelandangan yang bikin Jakarta cemar. Jakarta bukan tempat untuk orang-orang kotor dan tidak berpenghasilan. Gelandangan itu menghina Jakarta. Artinya, pemerintah dituduh tidak mampu mencipta sejahtera dan bahagia untuk rakyat.
Kota harus dibersihkan agar indah. Yang mengotori adalah gelandangan. Konon, pemerintah menyelesaikan masalah melalui penangkapan, pembinaan, dan pengiriman ke lahan transmigrasi. Pemerintah yang ingin diakui bijak tapi biasanya gagal dengan kalimat-kalimat yang dibuatnya dalam “membasmi” gelandangan.
Anak-anak yang membaca novel berjudul Dalam Pengejaran pelan-pelan mengasihani para gelandangan. Anak-anak yang mendapat banyak pelajaran di sekolah itu merasa terjadi pembohongan. Di buku-buku pelajaran, pemerintah menunaikan kerja besar yang mau mengubah Indonesia menjadi negara maju. Yang diajarkan adalah keberhasilan pemerintah yang bertajuk pembangunan nasional. Di novel, anak-anak menemukan pemerintah yang “kejam” terhadap para gelandangan. Indonesia mustahil makmur. Jutaan orang terlalu sulit bahagia. Mereka sering gagal memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Dua anak geladangan dalam cerita bernama Udin dan Toto. Mereka seperti menjalani takdir penderitaan. M. Sobary menghadirkan dua tokoh agar para pembaca mengetahui apesnya anak dan remaja di Jakarta. Mereka tidak berada dalam keluarga mapan. Mereka biasanya terkena dampak dari kutukan-kutukan dipengaruhi kekuasaan, yang menempatkannya sebagai kaum gelandangan, yang selalu menjadi sasaran pembasmian pemerintah.
Udin dan Toto adalah pengisahan kegagalan-kegagalan dalam pembangunan nasional. Janji-janji besar Soeharto tidak terbukti. Kita berkenalan dengan “tumbal” pembangunan nasional: “Sekiranya ayah dan ibu Udin masih ada, mungkin sekarang ini dia masih bisa sekolah. Tapi, ayahnya telah lama meninggal. Dan, ibunya, meninggal dua tahun yang lalu. Udin terpaksa berhenti sekolah di kelas tiga. Udin terlantar. Ia mengemis makanan di restoran-restoran, tidur di emper toko, dan akhirnya bertemu Toto di Blok M. Nasib Toto lain lagi. Ibunya juga telah meninggal. Ayahnya masih ada tapi sudah beristri lagi. Toto tak mau tinggal dengan ibu tiri. Sering ia lari dari rumah… Suatu kali ia lari jauh-jauh dan berkumpul dengan kaum gelandangan. Sejak itu ia tak pernah bertemu ayahnya lagi.”
Biografi kaum gelandangan mudah membuat kita prihatin, marah, kecewa, dan malu. Mereka hidup di Indonesia tapi bernasib buruk. Kesalahan dan pengabaian telah terjadi yang mengakibatkan penguasa tidak mampu menyelamatkan mereka dari derita setiap hari. Derita yang kadang makin membesar dan menebal di Jakarta.
Ingatlah, Toto dan Udin bukan manusia bodoh. Mereka punya pengetahuan. Kebaikan-kebaikan pun diwujudkan oleh mereka dalam situasi hidup yang tidak keruan. Mereka berani bekerja serabutan asal mendapat nafkah atau makanan. Penampilan lusuh dan buruk tidak bisa menutupi keluguan, kebaikan, dan kecerdikan. Mereka tidak seperti anggapan pemerintah yang melulu mengecapnya sebagai momok dan kotor.
M. Sobary menampilkan dua gelandangan yang mengetahui nilai-nilai kebaikan. Mereka mengenal sosok-sosok yang sering membantu dan memberi makanan. Kebaikan-kebaikan ditiru dan dipelajari dalam wujud-wujud yang berbeda. Di Jakarta, mereka berpindah-pindah tempat agar tidak tertangkap dan belajar kepada orang-orang baik yang bekerja sebagai pedagang dan buruh. Sosok di birokrasi atau kemonceran pengusaha belum dijadikan panutan.
Pada suatu hari, Udin dan Toto mengetahui tokoh panutan yang bernama Bang Usup ditangkap polisi dengan tuduhan pencurian. Mereka tahu polisi salah tangkap. Bang Usup tetap masuk penjara. Dua gelandangan yang berani menjenguk ke penjara agar Bang Usup tabah. Mereka pun menjadi pihak yang ikut menyingkap kebenaran atas kasus pencurian. Kesaksian mereka menentukan kebebasan Bang Usup.
Nasib dua anak gelandang itu tidak pernah dipastikan menghasilkan bahagia. Akhirnya, mereka ada dalam genggaman pemerintah. Pihak dinas sosial mengirim mereka ke panti asuhan.
Cerita berakhir indah. M. Sobary tidak mau membuat pembaca marah dan menyesal. Maka, akhir yang membahagiakan sengaja dibuat agar novel itu tidak dilarang oleh rezim Soeharto. Yang diceritakan seperti meralat kebijakan pemerintah, yang ujung-ujungnya dianggap benar: “Segala kesulitan hidup yang dulu harus diatasinya sendiri, tiba-tiba saja sekarang serba tersedia. Tempat tinggal yang besar, bersih, dan rapi. Makanan dan pakaian yang selalu tersedia. Mereka akan dapat bersekolah kembali.” M. Sobary adalah pengarang yang baik, mampu memberi kritik tapi sadar untuk ikut membentuk opini keberhasilan Orde Baru.
“Hidup mereka ternyata tidak hanya berisi tangis dan sedih, melainkan juga tawa,” renungan yang disampaikan M. Sobary. Kita yang membaca diharapkan lega, batal untuk keseringan menggugat atau melawan pemerintah. Dua gelandang terbukti berubah nasibnya. Namun, berubah itu dalam cerita.
_________
Penulis
Kabut, penulis lepas.
redaksingewiyak@gmail.com