View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Sunday, November 16, 2025

Resensi Kabut | Keseharian dan Heroisme

Oleh Kabut




Sejak belajar di sekolah dasar, anak-anak mendapat imajinasi dan pengetahuan bertema pahlawan. Ada yang memulainya dengan lagu-lagu. Dulu, anak-anak mudah membawakan lagu-lagu “wajib” dan nasional, yang memberikan pesan-pesan heroisme dan tanah air. Pada saat bernyanyi, mereka membuat penghormatan kepada tokoh-tokoh yang telah berperan dalam raihan kemerdekaan Indonesia. Di SD, lagu-lagu mudah menghimpun kekuatan bersama untuk menyadari Indonesia yang merdeka lewat banyak pengorbanan.


Lagu-lagu makin bermakna saat murid-murid diminta rutin mengikuti upacara bendera. Kita mengerti anak-anak sudah harus diajari ideologi melalui lagu-lagu, yang bisa dibawakan dalam pelbagai acara. Selanjutnya, anak-anak mengikuti pelajaran-pelajaran yang makin meminta mereka menjadi pembela Indonesia. Mereka pun dituntun memberi peran untuk Indonesia yang maju. Ideologi itu sangat kentara dihadirkan dalam kehidupan anak-anak pada masa Orde Baru. Kita dapat menyelidiknya melalui penentuan atau pembuatan beberapa mata pelajaran.


Semua itu belum cukup. Dinding kelas pun dijadikan alat agar anak-anak menerima ideologi yang diinginkan rezim Orde Baru. Kita masih ingat foto atau gambar yang berada di dinding kelas. Kita kadang melihat peta Indonesia. Foto presiden pasti ada. Pokoknya, dinding-dinding di sekolah berguna dalam ideologisasi, yang mengarahkan anak-anak menghormati pahlawan dan mengisi kemerdekaan.


Ada cara lagi yang menjadikan anak-anak “terikat” dengan gagasan-gagasan besar mengenai Indonesia. Yang dilakukan pada masa lalu adalah menghasilkan buku cerita dalam jumlah yang banyak, mengedarkannya ke desa dan kota. Anak-anak dianjurkan rajin belajar. Buktinya adalah suka membaca buku. Adanya buku-buku cerita yang dibaca anak-anak mendukung kerja-kerja besar yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Pada buku-buku yang terbaca, anak-anak sebenarnya sedang berurusan dengan negara.


Namun, masalah-masalah besar itu kadang bisa “diturunkan” dalam cerita-cerita sederhana dan bersifat sehari-hari. Anak-anak yang membaca buku cerita seperti tidak sedang mendapatkan doktrin tapi menikmati segala yang tersaji. Cerita anak memang semestinya menghibur ketimbang ikut-ikutan menyusahkan seperti buku pelajaran.


Kita membaca buku berjudul Pahlawan Kecil (1981) yang ditulis Djiwanto. Buku yang diterbitkan Pustaka Jaya ikut dalam arus pembangunan nasional. Pengarang seperti minta perhatian besar melalui judul yang dibuatnya. Bagi anak-anak, pahlawan itu gelar atau sebutan yang agung, mulia, dan gagah. Mereka telanjur mendapat pengertian pahlawan melalui buku-buku pelajaran dan peringatan Hari Pahlawan. 


Anak-anak mungkin meniru sifat-sifat pahlawan, yang diketahui sejak kecil sampai dewasa. Peniruan bukan berarti anak-anak mau menjadi pahlawan. Mereka ingat saja bahwa pahlawan adalah teladan. Pahlawan memiliki banyak kebaikan, yang membuatnya mulia dan berjasa dalam sejarah Indonesia.


Yang membaca cerita tidak tiba-tiba mendapat penjelasan mengenai pahlawan tapi diajak mengikuti pergaulan anak-anak yang mengandung nilai-nilai dari meneladani pahlawan. Djiwatno bercerita: “Tiap pagi, Dul Gendut menyertai Sutanto pergi ke sekolah. Sutanto berjalan di muka, berlenggang kangkong tidak membawa apa-apa. Sedangkan, Dul Gendut berjalan di belakangnya membawa dua tas berisi buku-buku dan alat tulis. Tas yang satu milik Sutanto, yang selalu dibawa Dul Gendut dengan tangan kanan, dan yang satunya lagi tasnya sendiri yang dibawanya dengan tangan kiri.” 


Adegan itu gampang dimengerti pembaca. Jadi, anak yang membedakan sifat-sifat antara Sutanto dan Dul Gendut sebenarnya dapat belajar menjadi manusia yang baik, yang dulu ditunjukkan oleh para pahlawan. Yang tergesa membaca biasanya menjadikan itu contoh hubungan “tuan” dan “hamba”, yang lazim terjadi dalam feodalisme dan kolonialisme.


Para pembaca diminta memberi perhatian kepada Dul Gendut. Apakah ia anak yang patuh, salah, rendah, dan kalah? Pembaca yang menyimaknya bakal mengetahui usaha-usahanya menjadi manusia dalam beragam tekanan. Pembaca ikut merasakan gelisah bila memasuki dunia-batin Dul Gendut.


Pada suatu hari, Sutanto mendapat mendapat masalah di sekolah. Akibatnya, ia pulang belakangan, tidak berbarengan teman-teman sesuai jadwal berakhirnya pelajaran. Maka, Dul Gendut pulang sendirian. Peristiwa yang tidak mudah: “Kali ini Dul Gendut berjalan lambat karena dalam hati ia segan pulang. Ia sudah dapat menggambarkan bahwa ia nanti pasti dan mendapat bermacam-macam pertanyaan, terutama dari Ibu Sutanto. Ia pasti akan mendapat pertanyaan: ‘Di mana Sutanto berada? Mengapa Sutanto masih di kelas? Mengapa ia tidak menolong Sutanto?’ Dan, ia pasti akan dimarahi ibu Sutanto dan disalahkan.” 


Pembaca mencatat terjadi ketidakadilan. Ada yang ingin segera mengasihani dan membela Dul Gendut. Apakah anak itu bisa tabah? Apakah akhirnya ia akan menjadi sosok yang berani atas nama kebenaran? Membaca cerita memang memungkinkan terjadinya pertimbangan nilai-nilai atas para tokoh dan pemaknaan yang berkembang. Pada mulanya, Dul Gendut terbaca sebagai pihak yang lemah. Pada akhirnya, semuanya bisa berubah.


Perubahan demi perubahan terjadi, yang mengajak pembaca ikut dalam permainan makna. Kita simak yang diceritakan Djiwatno: “Ibu Dul Gendut sudah tidak bekerja lagi pada orang tua Sutanto. Ia mempunyai sedikit uang simpanan, yang dipergunakannya untuk modal berjualan nasi dan bubur pada pagi hari. Meskipun untungnya sedikit, tapi ia dan anaknya dapat ikut makan dengan cukup… Oleh orang tua Edi, ia diberi ruangan kecil di belakang. Di situlah, ia dan anaknya tidur di atas balai-balai dari bambu….” Kehidupan yang sederhana tapi sudah terlepas dari hubungan yang diskriminatif.


Pembaca dibikin kagum dengan karakter Dul Gendut. Anak yang mendapat didikan dari ibu dan lingkungan-sosial. Anak yang membaca mengerti nasib Dul Gendut: “Sebagai tanda terima kasih kepada orang tua Edi, tiap sore Dul Gendut menyapu halaman rumah orang tua Edi. Pada hari pertama, Edi memandang saja kepada Dul Gendut yang sedang menyapu. Pada hari kedua, Edi mengikuti Dul Gendut sambil mengobrol. Dan, pada hari ketiga, Edi mengambil sapu dan ikut menyapu. Ia tidak tahan melihat temannya bekerja sendirian. Padahal, sebelumnya, ia tidak pernah melakukan pekerjaan menyapu halaman.” 


Dunia anak-anak, dunia campur aduk. Di pergaulan, mereka kadang akrab. Segala hal bisa dikerjakan Bersama dengan rasa senang dan berbagi kebaikan. Namun, mereka kadang dalam konflik, pendek atau Panjang. Yang dimunculkan adalah kepentingan menyalahkan dan membuka keburukan-keburukan. Pengarang memunculkan para anak itu dalam pergaulan yang lazim saat berada di sekolah atau kampung. Yang cukup mengejutkan kebersamaan anak-anak sampai dalam usaha heroik menghadapi kejahatan.


Anak-anak yang pemberani biasanya kepikiran menjadi pahlawan. Yang dipelajari adalah membela kebenaran dan keadilan. Anak pun mengerti rela berkorban. Pokoknya gagasan-gagasan kepahlawanan cepat meresap dalam dunia anak-anak, yang disokong oleh tontonan dan bacaan. Anak yang menjadi pahlawan adalah anak yang berusaha untuk baik dan benar.


Buku yang ditulis Djiwatno itu tampak sesak konflik. Anak-anak yang membacanya mungkin tertantang ikut mengalami masalah-masalah yang terjadi. Namun, yang membaca cerita akan lelah bila kepikiran kepahlawanan. Pembaca boleh saja menandai yang seru-seru saat anak-anak menghadapi masalah dalam belajar, keluarga, dan pertemanan.


________


Penulis


Kabut, penulis lepas.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Tuesday, November 11, 2025

Puisi Jawa Banten | Encep Abdullah

Puisi Jawa Banten Encep Abdullah





Longsong


Ibu kite brojol

Kite selamet

Longsong

Kite disapih 

Ibu kite longsong

Nambah maning 6 

Brojol kabeh

Longsong

Anake lulus sekola

Longsong

Anake wisuda

Longsong

Anake pade megawe

Longsong

Anake wis kawin

Longsong

Rabi kite brojol

Ngulang maning sing awal


Longsong iku kapan?

Ape seuwise longsong

Kudu ngelungsungi kaye ule?

Kedahemah mekoten

Badan lan batin anyar maning

Dadi wader maning

Dadi bayi maning


Longsong

Ngelungsungi

Mati


Ape wong mati iku longsong?


Gusti Pengeran

Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil alamin


Kiara, 2025



Murid Saiki


Duwe otak ore bise mikir

Duwe ati ore ngererati

Dikon takon cangkeme mingkem  

Dikon jawab nyangkin melempem


Dikon belajar pejirih

Dikon etes pejirih


Barang tawuran nomor siji 

Barang pacaran nomor siji

 

Barang gede nyalon dewan

Duit rakyat genah memengan

Larak-lirik perawan


Kiara, 2025


_________


Penulis


Encep Abdullah, tukang mangan dadar endog.


Kirim naskah

redaksingewiyak@gmail.com 


Saturday, November 8, 2025

Resensi Yuditeha | Cermin yang Menelanjangi

Resensi Yuditeha




Judul: Kisah Lama, Tutur Baru

Penulis: Lu Xun

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: 2019

ISBN: 978-979-1260-84-8

Tebal: vi + 170 hlm



Membaca Kisah Lama Tutur Baru karya Lu Xun ibarat menonton teater bayangan, menampilkan siluet mitologi dan legenda, tetapi di balik layar ada sindiran halus bagi manusia yang begitu yakin memerankan diri sebagai makhluk paling luhur. Lu Xun tidak hanya bercerita ulang dongeng lama, melainkan juga sedang menertawakan keseriusan manusia dalam menjalani absurditas dirinya.


Buku ini berisi delapan kisah yang meminjam mitos dan legenda Tiongkok kuno, lalu memutarnya seperti tak acuh pada aroma sakralnya. Ia seperti mencomot cerita yang dulu disembah, lalu mengajaknya duduk di warung teh untuk membicarakan kebodohan manusia. Kecerdikan Lu Xun, ia tidak menghancurkan mitos dengan palu, melainkan dengan senyum sinis.


Kebanyakan orang mendekati mitos dengan takzim, Lu Xun mengupasnya bagai dokter membedah mayat pasien yang dulu dianggap dewa. Dalam kisah pembuka yang legendaris, dewi pencipta dunia diceritakan dengan nada jenaka dan nyaris absurd. Ia menambal langit bocor bukan demi keagungan, melainkan karena kesalahan kecil tapi berakibat besar, yang dari situ manusia muncul, nyaris sebagai efek samping yang tak diinginkan.


Ironinya menampar lembut, manusia yang sibuk memuja diri, rupanya hanya kebetulan kosmis. Dari awal penciptaan saja, Lu Xun sudah menertawakan konsep kesempurnaan dan keagungan manusia. Ia memperlihatkan betapa rapuh asal-usul kita, bahkan betapa tidak seriusnya semesta ketika menciptakan kita.


Satire itu menegaskan pandangan Lu Xun, bahwa tragedi manusia bukan terletak pada penderitaan, melainkan pada kepercayaan berlebihan terhadap dirinya. Dalam dunia di mana rakyat dikorbankan demi kestabilan negara, kisah dewi menambal langit terasa seperti alegori tentang kekuasaan yang menambal kerusakan dengan darah rakyat.


Cerita-cerita berikutnya terus memainkan ironi: nilai-nilai luhur dikupas sampai terlihat busuknya. Dalam satu kisah, dua bangsawan yang dianggap suci memilih mati demi prinsip, tapi Lu Xun menyajikannya seperti dua orang keras kepala yang tak tahu harus berbuat apa selain mempertahankan harga diri. Pembaca dipaksa berpikir, apakah kebajikan yang diperjuangkan mati-matian benar-benar bernilai, atau hanya topeng lain bagi kesombongan?


Cerdasnya Lu Xun, ia menertawakan kemuliaan dengan cara yang membuat pembaca ingin menutup buku, bukan tersinggung, tapi merasa telanjang. Ia menunjukkan kesucian, pengorbanan, bahkan kepatuhan moral sering kali hanya bentuk lain dari kegagalan berpikir. Dengan nada getir, menurut Lu Xun, kita sering memuja prinsip hanya takut kehilangan arah. Maka moral pun hanya ritual untuk jalan tanpa berpikir, diwariskan tanpa ditanyakan. Di tangan Lu Xun, kisah-kisah moral klasik Tiongkok menjadi satire terhadap manusia modern yang sibuk mencari kebajikan di buku-buku, tapi hilang empati di jalanan.


Salah satu kekuatan Kisah Lama Tutur Baru adalah kemampuan memparodikan tradisi filsafat Timur dengan cara elegan. Lu Xun seolah mengundang para bijak masa lalu, Zhuangzi, Mozi, para pertapa, dan dewa-dewa, lalu membuat mereka tersandung kebijaksanaannya sendiri. Dalam satu cerita, seorang filsuf besar membangkitkan orang mati hanya untuk membuktikan ia mampu melampaui batas kehidupan dan kematian. Tapi yang bangkit malah menegurnya, untuk apa kau repot-repot? Kau pikir aku ingin hidup kembali di dunia yang tak banyak berubah? Humor ini bukan sekadar jenaka. Ia mengandung getir tajam.


Lu Xun sedang mengingatkan bahwa kebijaksanaan yang terlampau percaya diri sering kali berujung pada kekonyolan. Dunia Lu Xun bukan dunia penuh keajaiban, melainkan dunia yang terlalu yakin pada keajaiban. Ia menyindir para cendekia dan penguasa yang merasa bisa mengatur nasib rakyat seperti dewa mengatur semesta. Dalam setiap tawa kecil yang ia tulis, ada rasa pahit ketika menyingkap kenyataan. Semakin tinggi manusia menggapai langit, semakin ia tampak kecil di hadapan kebenaran yang ia ciptakan sendiri.


Gaya penceritaan Lu Xun nyaris bersifat paradoks: ringan tapi menggigit, jenaka tapi mematikan. Ia menulis dengan nada lembut, seolah sedang mengajak pembaca minum teh sore hari, lalu tanpa disadari kita sudah disuguhi racun dalam cangkir. Bahasanya penuh metafora, tapi bukan berusaha untuk indah. Ia memakai simbol bukan untuk mempercantik, melainkan untuk membocorkan kepalsuan. Dalam setiap dongengnya, ada kebetulan yang sempurna, ada kebajikan yang terasa seperti topeng, dan ada kebijaksanaan yang terdengar seperti kedunguan yang bersolek.


Karya ini tetap relevan hingga kini. Ironinya terasa seperti sedang bicara kepada zaman kita, zaman yang gemar menambal reputasi dengan citra, mengganti luka dengan slogan, dan menyebut kepura-puraan sebagai strategi. Membaca Lu Xun hari ini seperti menatap cermin retak, wajah kita terpantul dalam pecahannya, dan setiap serpihan memperlihatkan bagian diri yang tak ingin kita lihat.


Meski sarat sindiran, Kisah Lama Tutur Baru bukan sinis terhadap manusia. Sebaliknya, di balik tawa getir ada kasih. Lu Xun menertawakan bukan karena benci, tapi karena masih berharap. Ia menulis dengan semangat seorang tabib yang tahu betapa parah penyakit yang diderita bangsanya, tapi masih percaya bahwa humor bisa jadi obat paling manjur.


Buku ini lahir di masa Tiongkok sedang bergulat dengan krisis identitas, antara warisan feodal yang membusuk dan modernitas yang belum matang. Maka Lu Xun mengambil jalan tengah yang radikal, menghidupkan kembali kisah lama, tapi dengan cara baru, membongkar, membolak-balik, dan menguliti. Ia memperlihatkan masa lalu bukan monumen untuk disembah, melainkan laboratorium untuk belajar.


Dalam konteks ini, setiap kisahnya terasa seperti sindiran kepada kita, yang sering bersembunyi di balik sejarah dan budaya, tapi enggan mengakui kebodohan yang diwariskan turun-temurun. Lu Xun, dengan segala keusilannya, seolah berbisik: jangan terlalu serius jadi manusia bijak. Kadang, yang menyelamatkan kita bukan kesempurnaan, tapi kesadaran akan kebodohan kita.


Terjemahan Tonny Mustika menghadirkan roh Lu Xun dalam bahasa Indonesia yang jernih tanpa kehilangan ironi khasnya. Membaca terjemahan ini terasa seperti mendengarkan seorang pendongeng tua di pasar malam, bahasanya sederhana, tapi setiap kalimat mengandung lapisan makna. Ada kalimat-kalimat yang sekilas terdengar seperti humor, tetapi jika direnungi, kita seperti ditampar kenyataan sosial: tentang penguasa korup, kebajikan dijadikan komoditas, dan manusia-manusia kecil yang dipaksa menanggung beban langit.


Kekuatan buku ini bukan pada komplek bahasanya, melainkan pada keberanian mempermainkan sejarah dan moralitas tanpa kehilangan empati. Mengajarkan cara baru membaca masa lalu, bukan untuk memuja, tapi untuk tertawa pahit dan melanjutkan hidup dengan sedikit lebih sadar.


Kisah Lama Tutur Baru bukan sekadar kumpulan cerita, tapi ajakan reflektif yang dibungkus jenaka: bagaimana jika kita berhenti sejenak menatap langit, dan mulai menambal kebocoran diri? Lu Xun memperlihatkan bahwa sejarah selalu berulang, hanya aktornya yang ganti. Dulu dewi menambal langit, kini manusia menambal citra. Dulu filsuf membangkitkan orang mati, kini orang-orang membangkitkan kenangan untuk validasi. Dulu pangeran mengasingkan diri karena malu, kini rakyat mengasingkan akal sehat karena takut dikucilkan.


Ironinya, segala yang tampak kuno justru terasa akrab bagi pembaca modern. Lu Xun menulis seolah sedang menatap masa depan yang belum dilihat, di mana keangkuhan manusia tetap sama, hanya topengnya yang berubah. Buku ini memberi jawaban, tapi juga menyalakan gelisah, tidak menggurui, tapi menuntun untuk menertawakan dirinya sendiri. Tawa yang tidak ringan, tetapi membawa getir yang jujur.


Kisah Lama Tutur Baru adalah potret bagaimana satire bisa menjadi bentuk tertinggi dari cinta. Mitos bukan lagi dongeng pengantar tidur, tapi cermin yang menelanjangi. Menunjukkan kesedihan dunia dengan menertawakannya, bukan untuk melupakan.***


Penulis 

Yuditeha, Menjadi lebih mudah membaca ketika hati sedang berantakan.


Resensi Kabut | Kematian dan Kemakmuran

Oleh Kabut



Anak yang membaca cerita boleh menuntut atau meminta keajaiban-keajaiban. Yang membaca cerita tidak ingin sia-sia. Waktu yang digunakan untuk membuka lembaran-lembaran sampai cerita tamat diharapkan menimbulkan kesan yang tidak hanya sekejap. Maka, anak yang membaca cerita sebenarnya memiliki kepentingan-kepentingan yang semestinya bisa dipenuhi pengarang.


Pada saat membaca fabel, anak-anak mengerti bahwa para binatang dapat bicara dan bertingkah seperti manusia. Anak-anak tidak cukup hanya dengan fabel. Mereka pun bisa berharap membaca cerita, yang menunjukkan mobil, pohon, batu, atau sepatu bisa bicara. Pokoknya, yang ajaib-ajaib dalam cerita itu menghibur anak-anak. Ajaib bukan cuma makhluk atau benda yang bisa bicara. 


Pada akhirnya, yang diminati anak-anak adalah buku-buku yang biasanya dicap fantasi. Kini, banyak terbitan buku fantasi edisi terjemahan bahasa Indonesia yang sangat disukai anak-anak di Indonesia. Buku-buku itu tebal, 500-700 halaman. Anak-anak mampu melahapnya tanpa keluhan. Mereka jarang kecewa asal yang dibaca adalah novel fantasi dari Eropa atau Amerika Serikat. 


Apakah buku tipis masih diminati anak-anak? Yang masih berada di kelas-kelas awal SD tetap membutuhkan bacaan yang tipis-tipis saja. Mereka jangan sampai kelelahan hanya untuk merampungkan buku 500-an halaman. Yang terpenting mereka masih suka membaca. Berharap saat membaca mereka menemukan keajaiban-keajaiban, yang nantinya menimbulkan keinginan terus membaca buku cerita meski selalu tersiksa oleh buku-buku pelajaran yang harus dibuka setiap hari di sekolah.


Dulu, ada buku yang sedikit memuat keajaiban. Bukunya tipis saja tapi bergambar. Kita membayangkan yang membaca adalah anak-anak berseragam merah dan putih. Buku memanjang, yang mudah dibuka anak-anak saat mau menikmati gambar-gambar. Yang diinginkan gambar dengan beragam warna tapi yang tersaji cuma hitam dan putih. 


Buku itu berjudul Pengorbanan Sang Gajah yang digarap oleh Suyono HR dan Ambar. Kita menduga perannya adalah penulis dan ilustrator. Di buku, hanya pencantuman nama tanpa penjelasan. Buku yang tipis diterbitkan Yayasan Kawanku, 1976. Pada masa lalu, anak-anak suka membaca majalah Kawanku, selain Bobo. Majalah untuk anak berkembang pesat pada masa Orde Baru. Kawanku itu majalah yang turut memberi cerita-cerita kepada anak-anak. Jadi, yang membaca Pengorbanan Sang Gajah sebenarnya diajak pula meminati majalah Kawanku. Majalah terbit rutin didukung penerbitan buku-buku membuktikan pemenuhan hak anak dalam bacaan.


Apakah cerita mengenai gajah dipastikan istimewa? Di dongeng-dongeng atau cerita lisan, gajah sudah sering muncul. Di Nusantara, gajah adalah binatang yang ikut menggerakkan sejarah dan mencipta imajinasi yang memukau, sejak berabad-abad yang lalu. Gajah akhirnya menjadi simbol atau pesan yang terwariskan sampai sekarang. 


Pembuka yang lazim: “Pada zaman dahulu, di sebuah hutan, hiduplah seekor gajah… Gajah itu sangat baik hati. Tidak jarang dia memberikan makanan kepada binatang-binatang lain yang kelaparan. Memberikan pertolongan kepada mereka yang menderita kecelakaan dan kesusahan.” Yang ditampilkan awal sebenarnya kondisi fisik gajah. Selanjutnya, pengenalan tentang kebaikan-kebaikan gajah. 


Anak yang membaca terlalu cepat mengerti bahwa gajah itu baik. Di televisi, anak mungkin sempat melihat berita di pelbagai tempat bahwa gajah masuk ke permukiman warna. Gajah merusak lahan pertanian dan rumah. Berita yang menyedihkan. Anak mulai belajar bahwa kehidupan gajah di hutan sudah terlalu diganggu oleh manusia yang mata duitan. Akibatnya, gajah bisa marah.


Ada lagi berita yang membuat anak-anak sedih dan menangis. Perburuan gajah terjadi di pelbagai negara, terutama di Afrika. Yang diincar adalah gading. Konon, harga jual gading itu sangat mahal. Gajah pun mati oleh orang-orang yang kejam dan mata duitan. 


Di lembaran buku yang terbuka, anak percaya bahwa gajah itu baik. Hal itu dapat disokong dengan menonton film-film bertokoh gajah, yang dibuat di Eropa dan Amerika Serikat. Anak-anak Indonesia menonton saja untuk hiburan atau belajar pengetahuan yang bersumber gajah.


Di cerita, gajah hidup di tempat yang terbaik. Bayangkan saja: “Tempat tinggal gajah itu, daerah yang subur. Ada sebuah perigi di kaki bukit, yang airnya jernih dan melimpah. Banyak pohon buah-buahan, seperti manga, durian, rambutan, salak, jeruk, pisang, dan lain-lainnya. Selain pohon buah-buahan, di sana tumbuh pula bunga-bunga, seperti kenanga, mawar, melati, kana, dahlia, dan sebagainya.” Tempat yang indah. Anak-anak ingin mendatanginya untuk melihat pemandangan indah dan bermain bersama gajah. Anehnya, gajah itu sendiri. Ia tidak punya bapak, ibu, anak, atau saudara. Namun, ia memiliki teman-teman yakni binatang-binatang penghuni hutan.


Di lembaran-lembaran berikutnya, anak-anak mulai dibuat agak bingung dengan tingkah gajah. Ia menempuh perjalanan jauh, sendirian. Pengarang pun berlebihan dalam mengisahkan perjalanan: “Dia keluar hutan masuk hutan. Menyeberangi sungai-sungai yang dalam dan deras. Melewati lereng-lereng bukit, tebing-tebing yang curam dan lembah-lembah yang berbatu. Setelah melewati padang ilalang yang luas, tibalah dia di sebuah desa yang sangat terpencil letaknya.” Apa yang gajah inginkan dengan menempuh perjalanan dan sampai ke desa? Padahal, ia hidup di tempat indah dan makmur yang bikin betah.


Pengarang sedikit mengadakan teka-teki. Anak-anak yang membaca cerita tidak perlu pusing dengan teka-teki yang dibuat pengarang. Yang jelas, anak-anak belum mendapat keajaiban. Cerita bisa saja cepat membosankan, yang dibuktikan dengan anak-anak menutup buku. Mereka memilih bermain di pekarangan atau jalan ketimbang menyelesaikan Pengorbanan Sang Gajah.


Di desa, gajah sedih melihat rumah-rumah yang mau roboh. Kondisi para warga pun miskin. Mengapa gajah sampai di desa dan prihatin? Orang dewasa yang pembaca agak mengerti telah terjadi seruan pemerintah, yang bertujuan pengentasan atau pemberantasan kemiskinan. Selama berkuasa, Soeharto tidak ingin Orde Baru dinodai oleh kemiskinan atau kekurangan pangan. Maka, ia sering berpidato dan memberi perintah agar Indonesia bebas dari kemiskinan. Namun, anak yang membaca cerita tidak usah berpikiran terlalu jauh atau kritis. Pembaca dewasa boleh menganggap gajah itu menunaikan misi sesuai pemerintah.


Yang dipikirkan gajah: “Bagaimana caranya agar para penduduk di desa yang miskin itu mau pindah ke daerahku yang subur membuka hutan?” Yang menjadi masalah besar masa Orde Baru adalah urbanisasi dan transmigrasi. Renungan gajah itu dekat dengan transmigrasi.


Pencarian jawaban belum selesai, tiba-tiba terjadi gempa. Nasib desa itu makin hancur. Para penduduk sengsara. Niat gajah bertambah kuat untuk membantu mereka. Akhirnya, gajah bisa bicara dengan kepala desa. Segala keluhan tentang tanah tandus, kemiskinan, dan kelaparan didengarkan gajah. Keajaiban mulai disajikan pengarang melalui gajah yang bicara: “Aku bermaksud menolong kalian semua. Desa dan harta kalian baru saja hancur dilanda gempa. Marilah, kalian pindah ke daerahku yang subur dan makmur.” 


Semua warga setuju. Mereka berpindah, menempuh perjalanan yang jauh. Mereka punya harapan sesuai yang dijelaskan gajah: “Air melimpah. Tanah di sana subur.” 


Perjalanan yang jauh mengakibatkan kehabisan bekal. Para warga lelah dan lapar, terutama anak-anak. Mengapa mereka tidak dapat menemukan makanan di tempat-tempat yang dilalui? Cerita yang aneh bila kita mengingat perjalanan gajah, dari hutan ke desa. Seharusnya, ada makanan di setiap tempat meski sedikit. Pembaca mulai tidak terima dengan cerita.


Gajah memberi jawaban yang menenangkan: “Kalian tak usah khawatir. Lihat, tak jauh dari sini ada sebuah gunung. Di kaki gunung itu terdapat telaga yang jernih airnya. Berjalanlah langsung ke sana, setelah fajar menyingsing. Kalian akan menjumpai seekor gajah. Daging gajah itu cukup untuk bekal, menuju ke tanah subur, daerah kalian yang baru.” Cerita mulai tidak menarik.


Pengarang menyatakan bahwa gajah itu mengorbankan diri dengan cara menjatuhkan diri dari ketinggian. Misinya: “Demi keselamatan orang-orang malang desa itu.” Apa yang terjadi? Anak-anak yang membaca mungkin sedih dan kecewa. Yang dilakukan para warga: “Dengan rasa hormat bercampur sedih, maka disembelihlah gajah yang terluka itu. Dagingnya mereka bagi beramai-ramai kemudian dimasaknya. Kini persediaan daging dan air cukup buat mereka. Maka, mereka pun meneruskan perjalanan, menuju ke tanah harapan.” Cerita yang keajaibannya cepat menghilang berganti sedih yang mendalam. 


Mengapa buku cerita itu diterbitkan dan mengalami cetak ulang pada 1980? Pengarang lekas saja mengakhiri cerita dengan indah, sebelum sedih selesai. Pengarang yang tergesa dan tidak mengerti perasaan anak: “Selanjutnya, mereka mendirikan rumah dan mengerjakan tanah yang subur itu menjadi sawah dan ladang. Sekarang, mereka hidup Bahagia. Cukup sandang, cukup pangan. Tak ada yang hidup kekurangan sewaktu mereka masih tinggal di desanya yang lama.” 


Tempat itu sesuai yang dijanjikan gajah, yang mati dalam pengorbanan, yang dagingnya berada dalam tubuh para warga yang memakannya. Tempat itu disebut Gajah Makmur. Namun, pembaca sulit tersenyum akibat kesedihan atas pengorbanan gajah dan para warga yang makan daging gajah.


______


Penulis


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Thursday, November 6, 2025

Esai Yudi Damanhuri | Membentuk Karakter dari Meja Makan

Esai Yudi Damanhuri



Pemandangan seperti ini sudah jadi hal biasa: di sebuah restoran, seorang ibu menyodorkan gawai kepada anaknya yang mulai rewel. Si kecil langsung diam, matanya terpaku pada layar. Sang ibu pun bisa makan dengan tenang, mungkin sambil sesekali menatap anaknya yang asyik sendiri. Damai, sekilas. Tapi kalau diamati lebih dalam, ada yang hilang di antara sendok, piring, dan tatapan yang tak pernah benar-benar bertemu.


Memberikan gawai kepada anak saat makan di luar sering dianggap solusi paling praktis. Anak jadi anteng, suasana tetap tenang, dan orang tua bisa menikmati waktu tanpa drama. Namun, di balik kepraktisan itu, tersimpan pertanyaan besar: apakah kita sedang menenangkan anak, atau justru menenangkan diri sendiri dari kerepotan menjadi orang tua?


Kita hidup di zaman serba cepat dan banyak hal instan yang mengikutinya. Orang tua bekerja sepanjang hari, pulang membawa lelah, lalu berharap waktu makan menjadi momen istirahat. Tak heran jika gawai sering jadi “penyelamat”, semacam jaminan bahwa anak akan diam tanpa perlu banyak tenaga. Tapi yang tampak sederhana itu sebenarnya bisa berdampak panjang: anak jadi terbiasa menenangkan diri lewat hiburan instan, bukan lewat interaksi atau sabar menunggu.


Dalam pada itu, penelitian yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics (2023) menyebutkan bahwa anak-anak usia di bawah lima tahun sebaiknya tidak terpapar layar lebih dari satu jam per hari, dan itu pun harus didampingi orang dewasa. Alasannya sederhana: otak anak sedang berada dalam masa pembentukan koneksi sosial dan emosional. Saat layar menggantikan interaksi manusia, bagian otak yang berhubungan dengan empati dan komunikasi tidak terstimulasi dengan baik.


Hal serupa juga diungkapkan oleh WHO dalam pedoman tentang kesehatan anak usia dini. Mereka menegaskan bahwa “anak tidak hanya belajar dari apa yang dilihat, tetapi terutama dari apa yang dialami bersama orang lain.” Itu artinya, pengalaman makan bersama — dengan tatapan mata, tawa, dan percakapan — jauh lebih berharga daripada tontonan digital yang tampak mendidik sekalipun.


Anak-anak yang terlalu sering disodori gawai saat makan cenderung kesulitan fokus dan mudah bosan ketika tidak ada layar. Lebih dari itu, mereka kehilangan kesempatan belajar hal-hal kecil yang membentuk karakter — seperti belajar menunggu, menghargai percakapan, atau sekadar menikmati momen bersama keluarga. Di sisi lain, orang tua juga kehilangan momen penting untuk mengenal anaknya lebih dalam.


Dalam banyak tradisi keluarga, meja makan bukan sekadar tempat makan, melainkan ruang simbolik tempat nilai-nilai ditanamkan. Di sanalah anak belajar mengucapkan terima kasih, meminta dengan sopan, atau menunggu giliran. Semua itu adalah bentuk pendidikan karakter yang alami.


Peneliti keluarga dari Harvard Graduate School of Education bahkan menemukan bahwa anak-anak yang rutin makan bersama keluarga memiliki risiko lebih rendah terhadap stres, kecanduan, dan kenakalan remaja. Frekuensi makan bersama ternyata lebih berpengaruh terhadap stabilitas emosional anak dibandingkan waktu belajar tambahan di luar rumah.


Dengan kata lain, meja makan bisa menjadi sekolah pertama bagi anak — tempat ia belajar mendengarkan, berbicara dengan hormat, dan memahami nilai kebersamaan.


Senarai dengan paparan di atas, ada banyak cara agar anak tetap tenang tanpa harus bergantung pada gawai. Salah satunya dengan menyiapkan “restaurant bag”, semacam tas kecil berisi benda-benda sederhana: buku gambar, mainan kecil, krayon, atau puzzle mini. Barang-barang ini hanya dikeluarkan saat makan di luar, sehingga terasa spesial bagi anak. Dengan begitu, ia belajar menunggu sambil bermain dan berimajinasi, bukan pasif di depan layar.


Selain itu, anak bisa diajak terlibat dalam kegiatan makan. Misalnya, biarkan ia ikut memilih restoran, menebak warna makanan, membantu mengambil tisu, atau mencampur minuman. Aktivitas kecil seperti ini sering kali membuat anak merasa penting dan dilibatkan. Anak yang merasa punya peran biasanya lebih tenang, karena ia tahu kehadirannya dihargai.


Namun, hal yang paling sederhana sekaligus paling bermakna adalah mengobrol. Meja makan seharusnya menjadi tempat untuk berbagi cerita, bukan sekadar mengisi perut. Di situlah percakapan kecil bisa tumbuh: tentang sekolah, teman, makanan, atau hal lucu yang terjadi hari itu. Dari obrolan ringan seperti itu, anak belajar mendengarkan, merespons, dan mengekspresikan pikirannya.


Kadang, kita lupa bahwa anak tidak selalu butuh hiburan, mereka hanya butuh didengarkan. Dengan diajak bicara, mereka merasa diakui. Dan dari sanalah lahir rasa percaya diri dan empati.


Sebaliknya, kalau setiap momen kebersamaan digantikan oleh layar, maka yang tumbuh adalah jarak. Kita bisa duduk di meja yang sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Anak sibuk dengan tontonan, orang tua sibuk dengan pikirannya sendiri. Keheningan yang tercipta bukanlah ketenangan, melainkan sunyi yang hampa.


Menurut Daniel J. Siegel (2018), seorang psikiater anak dari UCLA, anak akan membangun keamanan emosional bukan dari kemewahan fasilitas, melainkan dari “the feeling of being seen, soothed, safe, and secure.” Empat hal itu hanya bisa hadir bila orang tua benar-benar “hadir” — bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin.


Menjadi orang tua memang tidak mudah. Tidak ada panduan yang benar-benar sempurna. Tapi mungkin, yang paling penting bukan soal punya anak yang “anteng”, melainkan punya anak yang merasa dekat. Anak yang tahu bahwa setiap kali ia menatap wajah orang tuanya, ia akan disambut, bukan digantikan oleh cahaya layar.


Ketenangan sejati tidak datang dari layar yang menyala, melainkan dari hubungan yang hidup. Gawai bisa menenangkan anak selama beberapa menit, tapi pelukan dan tatapan hangat orang tua bisa menenangkan hatinya seumur hidup.


Jadi, lain kali ketika kita tergoda untuk menyodorkan ponsel agar anak diam di restoran, mungkin ada baiknya berhenti sejenak dan berpikir: apakah kita sedang menciptakan ketenangan, atau justru kehilangan momen berharga untuk benar-benar hadir bersama anak kita? Karena pada akhirnya, yang anak ingat bukan video di layar, melainkan tawa, obrolan, dan rasa hangat di meja makan itu sendiri.



Sumber Referensi:

* American Academy of Pediatrics, “Media and Young Minds,” 2023.

* World Health Organization, “Guidelines on Physical Activity, Sedentary Behaviour and Sleep for Children under 5 Years of Age,” 2021.

* Harvard Graduate School of Education, “The Family Dinner Project,” 2022.

* Daniel J. Siegel, “The Power of Showing Up,” 2018.


______


Penulis


Yudi Damanhuri, pengajar di SMA Pesantren Unggul AlBayan Anyer.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Wednesday, November 5, 2025

Puisi Jawa Banten | Encep Abdullah

Puisi Jawa Banten Encep Abdullah




Si Kamad


si Kamad badane petekel tapi memen

doyan melider-melider ning latar malaki uwong

lamun ore digei picis atawe penganan 

bakale merongos-merongos

ngiduhi rai nang ore ngebadug kare watu


kite ore kukup ngeladeni si Kamad

mendingan melayu atawe adawadan mati


tapi ules si Kamad iki ane ning endi-endi

ujug-ujug ane ning arepan kite

tangane sembari nadong 

“genah tuku rokok,” jereh si Kamad


unggal dine ngerecek nadong ning uwong

uripe belangsak padahal bengene wong sugih

mobile lime, umahe wolu, rabine papat

tapi peragat kerane judol


kerunye barangemah ngedeleng si Kamad

”tulung kite keh, pegel temen urip iki,” jereh si Kamad


aih, galimah si Kamad iku sire

sing wace puisi iki!


Kiara, November 2025


Si Kamad Maning


nabet mikiri si Kamad

wakeh pegawean sing ngangkrak

kedahemah peragat nulis cerite cendek

nulis puisi, nulis catetan utang


si Kamad kon kawin maning gati, jerehe ore payu

kon megawe ning pabrik, ngakune ulap adoh

kon ngoyos, ngakune bokan kulite ireng


si Kamad wis ore kebite dunie

tapi ongap megawe

lamun wis ulih roko ngejubleg ning gardu dese

dodok sembari ngopi ireng Bi Kamsinah


“ruwed tapi nikmat temen urip iki, Bi Kam,” jereh si Kamad


Kiara, November 2025


_______


Penulis


Encep Abdullah, tukang mangan dadar endog.



Kirim naskah

redaksingewiyak@gmail.com


Monday, November 3, 2025

Karya Siswa | Puisi Nayzila Sofita Putri

Puisi Nayzila Sofita Putri



Sunyinya Malam


malam menutup hari dengan sunyi

tubuhku lelah, hati penuh luka

mata menahan tangis yang tak tampak

langkahku terseret di jalan yang kosong

diam-diam aku rapuh

hati ini terjebak dalam sepi


Serang, 2025



Batas Doa


kita sama-sama berdoa

tapi pada langit yang berbeda

aku mencintaimu dalam diam

karena tuhan kita tak sama


Serang, 2025



Di Antara Ribuan Sorak


kau bernyanyi di atas panggung

aku tenggelam di antara ribuan sorak

senyummu menenangkan

lagumu pulang ke hatiku


Serang, 2025


_______


Penulis 


Nayzila Sofita Putri, siswi SMPN 25 Kota Serang kelas 9D. Selain puisi, ia juga menulis novel dengan ribuan lebih pembaca di Wetped.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Sunday, November 2, 2025

Puisi-Puisi Karst Mawardi

Puisi Karst Mawardi




Intonasi 


setengah tidur dalam gumaman

kemudian tersentak oleh kakofoni

bangun belum tiba ke permukaan

lafal sekadar volume dikompresi



Teorema


pengelolaan internal komutatif

bukan variasi angka tapi posisi

keterbacaan kalimat matematik

tak lain intensi sebagai operasi



______


Penulis 


Karst Mawardi, lahir di Banjarmasin pada 28 Juni 1999. Di samping kesibukannya bekerja pada salah satu sekolah dasar di kota kelahirannya, ia juga tengah mempersiapkan naskah puisinya, Tendensi dan Viva Adverbia!.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Puisi-Puisi Diana Chandra

Puisi Diana Chandra 




Hatarakibachi


di negeri ini, kecepatan ialah hari-hari

sedang kesibukan ialah kekasih sejati

yang melekat-lekat di ujung sepatu

—menamparku dalam sekali temu


gedung-gedung menggaruk-garuk langit

dan laba-laba yang tekun memintal jaring

—sendirian

ia menyamai kutu-kutu pekerja

yang lalu lalang di kepalaku

—hatarakibachi


sesudahnya, engkau masihlah laba-laba

yang memintal-mintal pertemuan

lalu menyanyikan lagu-lagu lampau

—yang membikin pening kepalaku

juga kepercayaan diri yang menguap

bersama kepakan kupu-kupu

di dadaku


(2025)


Langkeluwit dan Apa-Apa yang Ada di Bukit Batu Kepale


seratus tahun yang lalu, 

orang-orang masih memelihara perkawanan

—dan nyawa alam

yang dimulai orang-orang megalitikum

: ialah mereka 

yang menggemari batu-batu besar

melebihi diri sendiri


o, tidakkah kau sempat melawat yang lalu-lalu

perkara langkeluwit 

yang menyimpan rapat-rapat percakapan 

orang-orang tua


(2025)


Berdiri di Samping Waktu dan juga Ibu


di samping waktu, cobalah kau berdiri

apakah kau temukan kesejajaran

yang dikemas Tuhan

?


di samping ibu, cobalah kau berdiri

apakah uban di kepalanya tumbuh serentak

?


di samping waktu & ibu, cobalah kau susuri 

jaman

melalui keriput

di dadamu yang mendadak berdegup

adakah engkau di sana?


(2025)


Detak-Detak Retak


di ujung matamu, bermukim detak-detak

retak

–ia baru saja pindah dari jantungmu

yang mengaku dihantam duka

berkali-kali

lalu mengusirnya jauh-jauh

hingga ke ujung pandanganmu

yang diam-diam kau sembunyikan

dalam ribuan kedipan


oh, mata yang malang

dibantai hari-hari yang jalang


______

Penulis


Dian Chandra atau Hardianti, S.Hum., merupakan seorang tutor paket B dan C di PKBM GEMAR. Ia bermukim di Toboali, Bangka Selatan. Lulusan S-1 dan S-2 arkeologi UI. Ia dikenal sebagai penulis puisi Laju Aksara Timah.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Saturday, November 1, 2025

Resens Kabut | Curiga dan Candu

Oleh Kabut



Pada masa depan, Djokolelolono adalah tokoh besar yang tercatat dalam album kesusastraan anak. Ia keranjingan menulis cerita anak. Buku-bukunya terbit, mendapat pembaca dan penggemar fanatik. Yang membaca buku-bukunya saat masih bocah terus melanjutkan sampai usia tua. 


Djokolelono membuat buku-buku yang usianya panjang. Para pembaca memulainya dengan kagum, bersambung saat bertambah usia menjadi pukau nostalgia. Mereka merasa dibentuk biografinya oleh setumpuk atau deretan buku gubahan Djokolelono. Mereka pun mengagumi hasil terjemahan Djokolelono atas warisan sastra anak dunia dan novel-novel selera dewasa. 


Djokolelono telah mengiringi anak-anak di Indonesia dengan bacaan yang bermutu. Yang kita sebut bermutu bisa berbeda dengan patokan-patokan yang digunakan para guru, kaum moralis, atau pihak pemerintah. Djokolelono menulis cerita dengan beragam referensi, yang membuatnya gampang menimbulkan ketagihan atau kecanduan buku. Ribuan anak masa Orde Baru terhibur dan berani “mencandu” buku-buku Djokolelono. Mereka tidak selesai oleh hiburan, tapi menyadari belajar pelbagai hal dalam sastra.


Para pembaca masih terus kecanduan sampai tua dan kolektor mengingat Djokolelono itu buku-buku yang diterbitkan Pustaka Jaya, Gramedia, dan KPG. Beberapa bukunya ada di penerbit-penerbit yang jarang disebut dalam sejarah dan perkembangan sastra anak di Indonesia.


Yang kita pegang sekarang adalah buku terbitan Pustaka Jaya yang berjudul Terdampar di Pulau Candu (1972). Buku sering cetak ulang. Pembaca buku merasa sedang menonton film. Judul yang apik tapi tidak sedang mengajarkan geografi Indonesia. Djokolelono mengajukan latar pulau-pulau di Indonesia tapi belum ada keinginan mengajarkan peta. Yang diberikannya adalah cerita penuh ketegangan. Cerita yang berakhir kemenangan.


Pada mulanya adalah curiga. Dua tokoh anak yang lulus SD diceritakan Djokolelono memiliki kepekaan, yang menghasilan seribu curiga. Djokolelono terlalu cepat menunjukkan dua tokoh yang punya nyali atau berani. Pengarang yang tidak sabaran agar pembaca mengenali anak-anak yang sewajarnya. Namun, olahan imajinasi memungkinkan anak yang curiga membentuk cerita yang melibatkan “logika” sekaligus “keajaiban.”


Dua anak yang bernama Danarto dan Rayasto ikut dalam pelayaran, dari Cirebon menuju Pontianak. Dua anak memiliki alasan yang berbeda saat ikut naik kapal dalam pelayaran berhari-hari. Mereka menyatu gara-gara curiga. Pengarang menghendaki para pembaca percaya dengan curiga dua anak. Yang dicurigai adalah pelaut bernama Tukijo, yang ikut dalam pelayaran yang dipimpin Santosa. Mengapa anak-anak dapat ikut dalam pelayaran? Santosa itu bapaknya Rayasto. Santosa itu bersahabat dengan bapaknya Danarto. Rayasto ikut bapaknya. Danarto menumpang kapal bareng sahabatnya bertujuan ingin menemui keluarganya yang tinggal di Pontianak.


Pada suatu malam, curiga itu membesar: “Pada saat itu angin bertiup lebih keras dengan tiba-tiba, sesaat pintu bilik Tukijo terbuka untuk menutup kembali dengan suara keras. Tetapi, waktu yang sesaat itu cukup untuk bisa melihat keadaan di dalam bilik. Tampak Tukijo duduk di tepi tempat tidur, lengan bajunya digulung sampai bahu. Tangan kanannya rapat sekali dekat lengan kiri sebelah atas. Dan, tampaknya tangan kanannya memegang sebuah jarum suntikan. Dan, di meja tampak kaki kayu, lengkap dengan sepatu dan kaus kaki.” Pemandangan yang dilihat dua bocah yang sebenarnya malam itu kelaparan. Mereka malah kebablasan “makan” curiga, melupakan kondisi perutnya. 


Djokolelono kecepatan menampilkan curiga, yang babak awalnya mengajak pembaca menyusun daftar tebakan. “Mungkin ia mengidap penyakit,” dugaan Danarto. Yang dirugai Rayasto: “Tetapi, mengapa ia harus menyembunyikan hal itu dari kita?” Dua anak yang sanggup berpikir saat tengah malam, yang awalnya merasakan lapar. Berpikir mengakibatkan penundaan tidur dan berkurangnya siksa lapar. 


Yang diceritakan Djokolelono adalah anak-anak yang kesannya lahir dan tumbuh di Indonesia. Pembaca boleh yakin ada anak-anak di Indonesia yang berani berpikir berdasarkan curiga. Mereka belajar di sekolah untuk pintar seperti harapan Soeharto. Konon, pembangunan nasional memerlukan anak-anak yang pintar. Kebenaran yang tidak bisa digugat adalah Pendidikan dan kecerdasan tercantum dalam GBHN. Soeharto ingin mewujudkannya tapi tidak mengetahui anak-anak yang dihadirkan para pengarang dalam ribuan novel untuk anak, dari masa ke masa.   


Curiga terus bertambah. Pengalaman ikut berlayar adalah menyusun daftar curiga dan pembuktian. Anak-anak itu tidak bercerita keindahan. Mereka abai dengan segala pengetahuan menyenangkan selama berada di lautan. Ilmu-ilmu di sekolah tidak terlalu berguna untuk mereka yang menuruti curiga-curiga?


Dua anak tambah curiga saat melihat Tukijo di ruang kemudi. Pelaut itu melakukan tindakan-tindakan aneh: “Ia sedang sibuk mengayun-ayunkan lentera, matanya terus memandang ke arah pulau yang makin lama makin dekat itu.” Tukijo memang pantas dicurigai. Hasil dari perbuatannya: “Kapal itu dengan cepat meluncur langsung kea rah pantai berkarang! Rayasto dan Danarto akan berteriak namun tidak sempat. Terdengar suara tubrukan. Keras sekali! Kedua anak itu terlempar ke lantai kapal, terguling-guling menabrak dinding. Hampir saja Danarto jatuh ke laut namun ia sempat memegang tiang pagar kapal. Terasa kapal itu bergetar keras sekali, sementara mesinnya terbatuk-batuk.” Tragedi yang menambahi curiga. Para pembaca hanya mengetahui curiga-curiga itu milik dua anak. Tokoh-tokoh yang lain tidak sempat atau kurang berminat mengurusi curiga.


Akhirnya, judul cerita menemukan kebenaran: Terdampar di Pulau Candu. Semula, anak-anak dan penumpang kapal tidak mengetahui nama pulau. Yang jelas mereka terdampar, ingin selamat dan melanjutkan pelayaran. Di pulau aneh, mereka bertemu tokoh yang Chwa Kiong Hien. Anak-anak merasa terdampar tapi makin merayakan seribu curiga. Mereka seperti sulit bahagia. Pelayaran yang semestinya indah justru membuat mereka menjadi pihak pencari kebenaran-kebenaran. Anak-anak yang tangguh. Yang membuatnya tangguh adalah Djokolelono. Pembaca wajib mengetahui bahwa Terdampar di Pulau Candu itu diilhami oleh Cry From The Dungeon gubahan Betty Swinford. Artinya, cerita itu tidak sepenuhnya berasal dari kehendak (imajinasi) Djokolelono. 


Anak-anak berhasil membuktikan bahwa Tukijo terlibat dalam perdagangan heroin. Pembaca mendapat keseruan di pulau yang sepi: “Kira-kira lima menit kemudian Tukijo keluar dari kamar Tuan Chaw sambil membawa sebuah bungkusan besar. Ia masuk ke dalam gang samping ruang makan. Bagaikan bayangan, Danarto dan Rayasto mengikutinya. Tukijo masuk dalam sebuah bilik dekat dapur, dan menutup pintu. Danarto dan Rayasto bersembunyi di belakang keranjang-keranjang bekas tempat ikan asin.” Curiga yang sedikit lagi sampai kebenaran.


Keterangan terpenting yang diperoleh anak-anak saat mengamati para tokoh aneh di pulau: “Tuan Chaw mengusahakan perkebunan candu. Tuan Chaw membuat morphine dan heroin dari candu itu. Kemudian dari pulau ini Tuan Chaw menyebarkan hasil pekerjaannya itu ke seluruh dunia.” Bisnis yang menggiurkan, yang menghasilkan banyak uang. Dua anak itu perlahan paham. Pembaca meyakini dua anak yang cerdas dan kelak bisa menjadi polisi, detektif, atau peneliti. 


Pada akhirnya, polisi berhasil menyerbu pulau candu. Dua anak itu berjasa besar. Djokolelono menutup cerita dengan kemenangan dan kebahagiaan. Pembaca mungkin senang atau curiga mengetahui maksud dan seleranya Djokolelono. Pihak kepolisian mengusulkan Danarto dan Rayasto atau pahlawan cilik mendapat bintang jasa. Dua kalimat terakhir dalam novel: “Semua orang tertawa. Dan, Rayasto saling pandang dengan Danarto. Mereka bangga sekali.”


Kita usulkan novel diterbitkan lagi oleh Polri atau BNN. Buku cerita yang menegangkan dibaca anak dan remaja ketimbang dipaksa ikut penyuluhan. Djokolelono boleh mendapat penghargaan daro Polri atau BNN gara-gara membuat cerita yang cocok dengan kerja besar menumpas bisnis narkoba di Indonesia.


________


Penulis


Kabut, penulis lepas dan pedagang buku bekas dan lawan.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Friday, October 31, 2025

Berita | Hangatnya "Jumat Berbagi" di Masjid Darul Arqom PCM Pontang

 


NGEWIYAK.com, KAB. SERANG — Udara selepas salat Jumat itu masih terasa hangat, tapi di halaman Masjid Darul Arqom Kp. Pasar Sore, RT/RW 004/001, Ds. Singarajan, Kec. Pontang, hawa sejuk menyambut setiap jamaah yang melangkah keluar. Di depan pintu aula masjid, minuman dingin dalam kemasan siap dibagikan oleh takmir yang diwakili oleh ibu-ibu.


Hari itu, Jumat (31/10), menjadi penanda dimulainya sebuah gerakan kecil dengan semangat besar: “Gerakan Jumat Berbagi.”


Suparno, Ketua Takmir Masjid Darul Arqom, berdiri di mimbar selepas salat. Dengan suara lembut namun tegas, ia menyampaikan maksud di balik kegiatan perdana itu.


“Kami berbagi minuman dingin. Bakda salat, silakan jamaah ambil di bawah,” ujarnya singkat, disambut senyum jamaah yang mulai bergerak ke halaman.



Bagi sebagian orang, mungkin itu hanya segelas minuman dingin. Tapi bagi jamaah, terutama mereka yang datang dari jauh, kesegaran itu seperti hadiah kecil yang menenangkan. Anak-anak kecil berlarian sambil menenteng gelas plastik, sementara para bapak saling bercanda di halaman masjid.


Ikhmatullah, guru Matematika di SMK Muhammadiyah Pontang, tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.


“Program ini sangat bagus karena bisa membuat jamaah lebih semangat dan antusias untuk salat Jumat, khususnya anak-anak,” ujarnya dengan penuh haru.


Tak hanya minuman, Suparno menuturkan bahwa Takmir juga menyiapkan sayuran gratis untuk para ibu pengajian. Sebuah upaya sederhana yang menumbuhkan rasa kebersamaan di tengah masyarakat. 


Bagi Takmir Masjid Darul Arqom, berbagi bukan sekadar memberi. Ini tentang merawat semangat jamaah dan mempererat hubungan antarwarga. 


Sekretaris Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pontang, Farid Supriadi, menjelaskan bahwa kegiatan ini digerakkan oleh sumbangan masyarakat.


“Program 'Gerakan Jumat Berbagi' ini memberdayakan UMKM agar keberkahan berbagi juga dirasakan bersama masyarakat sekitar,” jelasnya.



Sebanyak 200 minuman dingin disediakan hari itu. Takmir, jamaah, hingga anak-anak semua larut dalam suasana gembira. Beberapa bahkan mengabadikan momen dengan berfoto ria, wajah mereka memancarkan kegembiraan yang tulus.


Masjid Darul Arqom tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjelma menjadi ruang hangat tempat iman, silaturahmi, dan kepedulian bertemu dalam satu kata: berbagi.


(Redaksi/Encep)

Dakwah | Bahaya Sihir, Perdukunan, dan Ramalan dalam Menjaga Keimanan

Ust. Drs. Abu Bakar



Dalam kehidupan seorang muslim, iman adalah fondasi paling berharga. Ia bukan sekadar pengakuan di lisan, tetapi cahaya yang hidup di hati dan diwujudkan dalam amal perbuatan. Karena itu, menjaga keimanan merupakan tugas seumur hidup yang menuntut kewaspadaan dan keteguhan.


Dalam ilmu tauhid dikenal istilah Nawaaqidlul Iimaan (نواقض الإيمان), yaitu hal-hal yang dapat membatalkan iman seseorang setelah ia memasukinya. Para ulama mendefinisikan istilah ini dengan kalimat:


مَا يُذْهِبُهُ بَعْدَ الدُّخُوْلِ فِيْهِ

Mā yudzhibuhu ba‘dad-dukhuuli fīhi

“Sesuatu yang dapat menghilangkan keimanan setelah seseorang memasukinya.”


Artinya, iman bisa hilang apabila seseorang terjerumus dalam perkara-perkara yang membatalkannya. Karena itu, seorang mukmin harus berhati-hati agar keyakinan dan keteguhan imannya tidak ternodai oleh hal-hal yang merusak, baik melalui pikiran, keyakinan, maupun perbuatan. Wal‘iyādzu billāh — semoga Allah melindungi kita dari kebinasaan iman.


Dalam pembahasan mengenai pembatal keimanan, para ulama menjelaskan beberapa hal besar yang termasuk di dalamnya, seperti mengingkari rububiyah Allah, sombong enggan beribadah, berbuat syirik, menentang ketetapan Allah, mendustakan Rasul, serta meyakini bahwa petunjuk Rasulullah ﷺ tidak sempurna. Termasuk pula: tidak mengkafirkan orang musyrik yang nyata kekafirannya, memperolok agama, membantu musuh Islam, berpaling dari ajaran Allah, serta membenci sesuatu yang dibawa Rasul meskipun masih mengamalkannya.


Namun, di antara semua itu, ada satu hal yang tak kalah berbahaya: sihir (السحر). Sihir merupakan dosa besar yang dapat menghapus keimanan, sebagaimana dijelaskan dalam Muqorror Tauhid karya Syaikh Shalih bin Fauzan. Sihir bukan sekadar tipu daya, tetapi bentuk kerja sama dengan setan dan penentangan terhadap kekuasaan Allah. Ia tidak hanya merusak akidah pelakunya, tetapi juga dapat menghancurkan kehidupan orang lain dan tatanan masyarakat.


Dalam praktiknya, sihir sering muncul dalam berbagai bentuk: ash-shorfu (mengubah keadaan seseorang), al-‘athfu (menimbulkan simpati atau cinta secara tidak wajar), dan ar-ridha (menimbulkan rasa senang secara batil). Semua bentuk tersebut merupakan tipu daya yang menyalahi fitrah dan mengandung unsur kekufuran.


Allah Ta‘ala berfirman:


وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَـٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ...


“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Padahal Sulaiman tidak kafir, hanya setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia…”

(QS. Al-Baqarah: 102)


Ayat ini turun untuk membantah tuduhan kaum Yahudi yang menuduh Nabi Sulaiman sebagai tukang sihir. Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa dua malaikat, Harut dan Marut, sebenarnya diutus untuk menguji manusia. Setiap kali seseorang datang untuk belajar sihir, keduanya memperingatkan: “Innamā naḥnu fitnah, falā takfur”: Sesungguhnya kami hanyalah cobaan bagimu, maka janganlah kamu kafir.”


Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir menegaskan bahwa peringatan tersebut merupakan larangan keras agar manusia menjauhi sihir, sebab mempelajarinya termasuk perbuatan kufur. Dengan demikian, mempelajari atau mempraktikkan sihir, sekalipun dengan alasan “menguji” atau “membela diri”, tetap termasuk kekufuran karena berpaling dari tawakal kepada Allah dan menempuh jalan setan.


Dalam kelanjutan pembahasan para ulama, termasuk Muqorror Tauhid dan Syarah Kitabut Tauhid, dijelaskan pula bahwa bentuk kekufuran serupa juga terdapat dalam kahanah (perdukunan) dan ‘arafah (ramalan). Para dukun dan peramal sering kali menampilkan diri sebagai “orang pintar” atau “penyembuh spiritual”. Mereka meminta hewan sembelihan sebagai persembahan bukan karena Allah, melainkan untuk jin atau setan tertentu. Mereka juga menulis ṭalāsim syirkiyyah, azimat, rajah, atau jimat yang diyakini dapat memberi perlindungan, padahal itu semua adalah bentuk kesyirikan.


Sebagian lainnya mengaku mampu mengetahui perkara gaib — menunjukkan barang hilang, membaca pikiran, atau menebak nasib seseorang. Padahal mereka hanya mendapat sebagian kabar dari setan yang mencuri dengar berita langit, lalu mencampurnya dengan kebohongan. Bahkan ada yang menipu dengan menunjukkan atraksi ekstrem seperti kebal senjata atau tidak terbakar api, padahal itu hanyalah tipu daya setan yang disebut oleh para ulama sebagai umūrun takhayyuliyyatun — hal-hal khayalan yang menipu pandangan manusia, sebagaimana tukang sihir Fir‘aun memperdaya mata orang-orang dahulu.


Larangan terhadap sihir, perdukunan, dan ramalan ditegaskan dalam banyak dalil. Rasulullah ﷺ bersabda:


اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” 

Para sahabat bertanya, “Apakah itu wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “(Yaitu) mempersekutukan Allah dan melakukan sihir…”

(HR. Bukhari dan Muslim)


Hadis ini menunjukkan bahwa sihir sejajar dengan syirik, sebab keduanya sama-sama menghancurkan fondasi iman.


Allah juga berfirman dalam Surah Asy-Syu‘arā’ (221–223):


هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَىٰ مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ۝ تَنَزَّلُ عَلَىٰ كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ۝ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ


“Apakah akan Aku beritakan kepadamu kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada setiap pendusta lagi banyak dosa. Mereka menyampaikan sebagian yang mereka dengar, padahal kebanyakan mereka adalah pendusta.”


Ayat ini menjelaskan bahwa setan hanya menurunkan bisikan kepada pendusta, yaitu para dukun dan tukang ramal yang mengaku mengetahui hal gaib.


Rasulullah ﷺ juga bersabda:


مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ


“Barang siapa mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad ﷺ.”

(HR. Ahmad dan Al-Hakim, disahihkan menurut syarat Bukhari dan Muslim)


Hadis ini menjadi peringatan keras bahwa percaya kepada dukun berarti mengingkari Al-Qur’an dan Sunnah, sebab hanya Allah yang mengetahui perkara gaib. Keyakinan bahwa manusia bisa mengetahui hal gaib tanpa wahyu merupakan bentuk pengingkaran terhadap rububiyah Allah. Oleh karena itu, setiap muslim wajib menutup sekecil apa pun pintu menuju syirik — termasuk mendatangi, mempercayai, atau sekadar menguji tukang sihir dan peramal. Semua itu adalah jebakan setan yang dapat mengikis iman.


Sihir, perdukunan, dan ramalan adalah penyakit akidah yang harus diberantas. Ia tidak hanya menyesatkan pelakunya, tetapi juga merusak keyakinan masyarakat. Maka, memperdalam ilmu tauhid dan memperbarui iman menjadi benteng paling kokoh bagi seorang mukmin.


يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”


Semoga Allah menjaga iman kita dari segala hal yang membatalkannya, mengokohkan hati dalam ketaatan, dan menjauhkan kita dari godaan syirik, sihir, serta segala bentuk kekufuran.


Referensi:

1. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Tim Depag RI, hal. 28.

2. Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, hal. 208 dst.

3. Tafsir Fathul Qadir, Jilid I, hal. 242.

4. Asbābun Nuzūl, KH. Qomaruddin Shaleh dkk., hal. 34–35, dan lain-lain.

5. Muqorror Tauhid, Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan, Jilid II, hal. 19.

6. Muqorror Tauhid, Jilid III, hal. 52.

7. Tauhidul ‘Ibadah, hal. 176 dst.

8. Syarah Kitabut Tauhid (Fathul Majid), hal. 293 dst.

9. Al-Jadid: Syarah Kitabut Tauhid, hal. 166 dst.


Thursday, October 30, 2025

Esai Ma'rifat Bayhaki | Mengingat Masa Depan yang Tak Pernah Dimiliki



Barangkali kita senang berimajinasi tentang masa depan. Tentang kehidupan yang menarik, dinamis, dan berat untuk ditinggalkan. Dari hal ini, kita mulai bergerak dengan penuh percaya diri bahwa ide kehidupan itu akan sampai. Kendati pada akhirnya hal itu tidak pernah benar-benar dimiliki dan menyisakkan humor yang mengundang gelak tawa.

Seperti yang dikatakan Søren Kierkegaard bahwa kondisi yang paling menyakitkan adalah mengingat masa depan, terutama masa depan yang tak pernah Anda miliki. “The most painful state of being is remembering the future, particularly the one you’ll never have.” (Søren Kierkegaard).

Memproduksi pikiran tentang masa depan tentu bukanlah hal buruk. Seperti kala kita masih anak-anak yang berimajinasi menjadi apa pun di masa depan—tentara, polisi, super hero, mekanik, nelayan, juru masak di kapal pesiar, bahkan tidak sedikit yang berkeinginan menjadi pemuka agama. Dari imajinasi inilah tubuh kita senantiasa bergerak, berharap tiba pada telos—tujuan.

Memperjuangkan masa depan berarti bersiap menikmati kesemuanya. Menerima setiap perjumpaan dan perpisahan. Meresapi setiap perjalanan yang membentur batu-batu cadas, mengarungi kelokan yang deras, menghadapi gulungan gelombang, bertahan dari badai yang pekat, bahkan berdesakan mengantre jatah Jumat berkah. Tentu ini adalah bagian kehidupan yang asoy-geboy untuk dinikmati, sembari menerka-nerka wujud apalagi yang yang harus dihadapi. Pada sisi ini, saya merasa bersyukur dilahirkan menjadi manusia.

Kehidupan manusia tentu tidak sesederhana yang dituturkan di muka. Pada kasus lain, alih-alih menikmati proses, tidak sedikit dari kita yang terjerembab pada pikiran masa depan, namun tidak pernah benar-benar hadir pada kehidupan yang tengah dijalani. Menyuntuki masa depan yang tak kunjung tiba dan lagi-lagi berujung pada komedi yang lembab—agak kering.

Pada bagian ini saya mulai mempertanyakan kemanusiaan saya. Apakah saya memang benar-benar hadir di dunia ini. Barangkali ada saatnya saya perlu memberi ruang untuk bernapas dan melepaskan semuanya—bahkan mimpi itu sendiri. Seperti yang pernah dikatakan Encep, “Hidup tuh Bro, butuh tuma'ninah—jeda—ketenangan. Bukan cuma salat yang harus tuma'ninah. Hidup juga!”

Jangan-jangan perjalanan hidup saya selama ini keliru. Jalan lurus yang mengantarkan jiwa ini pada hakikat hidup berada jauh di seberang sana. Saya teramat lugu bersandar pada keyakinan dan harapan tanpa pernah mau mengeja dan membaca diri saya berada di mana. Saya mengira perjalanan ini menuju keberhasilan dan kegemilangan, padahal saya hanya berputar-putar di tempat yang sama, seperti halnya seorang perawan yang asyik skrol TikTok di kasur empuk sembari merangkul guling kesayangannya dan mulai membayangkan dirinya menjadi apa yang ia lihat atau perjaka yang mengingat kemenangan dari putaran rolet yang ia taruhi, padahal itu tak pernah terjadi.

Entah bulan sabit ke berapa yang menggantung di langit Ibu Kota ini. Langit yang menaungi kisah-kisah manusia yang kompleks. Percintaan, kenestapaan, olok-olok, semua ada di sini. Di kota yang serba bergerak cepat ini, sulit rasanya menemukan ruang sunyi. Ruang untuk becakap-cakap dengan diri sendiri. Rasanya tubuh saya dipaksa terus bergerak dan dejavu setiap pagi. Sampai-sampai nyaring alarm terasa menyebalkan—sekaligus menakutkan. Sungguh aku merindukan cara menikmati srengenge subuh lan damar bulan sing keanginan.

Menembus jalanan kota yang basah dan penuh sesak kendaraan adalah rutinitas menjengkelkan yang tidak bisa saya hindari. Di antara pengendara itu tak sedikit yang grasak-grusuk—buru-buru seolah sedang dikejar-kejar fans akut. Nyatanya dengan grasak-grusuk pun kita semua tak pernah benar-benar sampai.

Esok pagi kita akan dipertemukan lagi pada kemacetan identik yang menguras emosi, waktu, dan nyawa yang perlahan-lahan dikeruk tanpa suara. Dan kita senantiasa yakin jika ada kesusksesan, keberhasilan setelah melewati kemacetan ini. Kita tak henti-hentinya grasak-grusuk, menerobos jalan busway dan lampu merah, menikung tajam bagai Valentino Rossi, menyumpah serapah sembarangan, kendati hati kecil kita sadar jika tujuan itu hanya maya.

Tempurung kepala kita sudah sangat penuh sesak. Namun, kita harus terus menerima segala motivasi dan harapan baru setiap hari yang berujung pada kebingungan. Dunia sudah banyak berubah. Kekaisaran Romawi sudah tak lagi berjaya. Keraton Surosowan hanya menyisakan reruntuhan. VOC tenggelam oleh zaman. Dunia yang kita diami adalah dunia teknologi digital yang kesaktiannya melebihi ilmu teluh atau ilmu telepati para moyang. Para influencer lahir setiap pagi. Memproduksi motivasi yang membikin semakin sakit tempurung kepala.

Timothy Ronald, influencer muda yang gencar mempromosikan investasi uang digital ini konten-kontennya selalu viral. Ia senantiasa menunjukan kesuksesan, keberhasilan, kegemilangannya dalam dunia bisnis. Ia tidak jarang memberi saran—mengajari kita untuk mengubah mindset untuk menjadi orang kaya. Niat tulusnya tentu tidak bisa kita hakimi.

Beberapa rekan saya mengaku “tercerahkan” untuk mengubah pola pikirnya yang selama ini dirasa “kolot”. Berbekal menonton konten Timothy berulang-ulang dan pengetahuan seadanya, ia memberanikan diri untuk berinvestasi di uang digital. Saya tidak tahu apa yang ada di tempurung kepalanya. Yang saya tahu ia selalu memotivasi saya untuk ikut investasi. Mengajari saya untuk mengubah mindset. Selebihnya ia hanya menyuntuki fluktuatif uang digital tanpa pernah benar-benar mempelajarinya. Ia telah menjadi orang kaya di kapalnya.

Pada kasus yang lain. Beberapa teman saya sering kali meminjam—lebih tepatnya meminta uang untuk deposit judol. Dia selalu mengeluarkan kata-kata keramatnya, "Mau jakpot ni, Bos!". Keyakinan itu memang patut saya apresiasi, kendati perkataan itu telah terlontar sekurang-kurangnya seribu tiga puluh dua kali. Motor, laptop, gawai tak jelas juntrungannya, dan ia masih bisa mengatakan mau JP. Gendeng!

Beberapa teman lain yang biasa saya temui di sela-sela istirahat kerja, setiap hari membahas bisnis, tetapi bisnisnya tak pernah nyata. Jujur jika saya mendengar tutur katanya bagaikan pebisnis besar dengan harta kekayaan membentang dari Selat Malaka sampai Semenanjung Sinai.

Sepertinya manusia di zaman ini sangat sibuk membangun dunianya dalam khayalan. Tentu itu tidak salah, semuanya adalah pilihan. Barangkali memang itulah yang teman-teman saya ingini. Kendati keriuhan ini agaknya memaksa saya untuk menepi dan sendiri.

Suatu malam di hari yang berbeda di tahun yang sama nada lagu Donna Donna —Joan Baez—terdengar mengisi ruang dalam kafe ini. Seorang pelayan yang sedari tadi gesit ke sana kemari tiba mengantarkan secangkir latte ke meja bulat yang saya diami. Setelah menaruh cangkir, ia melontarkan pertanyaan basa-basi.

“Saya perhatikan Abang selalu sendirian, pasti jomlo, hehe becanda Bang,” ujar pelayan dengan raut wajah cengengesan.

Awalnya saya enggan menjawab. Namun, karena ia tak juga lekas beranjak, saya pikir tak ada salahnya memberi sedikit jawaban atas rasa penasaran seseorang.

“Ibu saya empat.”

Angin malam berembus membelai wajah saya dengan halus. Langit tampak cerah dengan cahaya rembulannya yang memerah. Derit kursi sesekali terdengar. Cekakak-cekikik ABG yang tengah kongkow di sudut jauh menguap mengisi seisi kafe ini. Sesekali saya teguk latte ini banyak-banyak

Pertanyaan pelayan kafe yang lucu itu ternyata menghentikan waktu. Jawabannya menjelma pengakuan yang saya butuhkan. Saya memang sendiri tetapi tidak sendirian dan kesepian.  Meja yang membulat, bulir air yang menggantung di dinding gelas, gumpalan awan yang jarang, rembulan yang menyala merah jambu, beserta angin malam yang berembus-embus, juga daun dan ranting-ranting kering ada di sini. Ia hadir untuk menjaga saya dari kesepian dan kesendirian. Dari ketakutan, dari  kesedihan, dari kenestapaan, dari harapan semu yang membius.   

Barangkali, kebahagiaan sejati bukanlah terletak pada masa depan yang harus diraih dengan grasak-grusuk, melainkan pada tuma'ninah (jeda yang tenang) untuk menyadari bahwa alam dan kehadiran yang sunyi telah menjadi pelindung. Bahwa manusia, pada akhirnya, hanya perlu berhenti berlari untuk menemukan telos yang sesungguhnya. Sebuah penerimaan sederhana atas apa yang ada saat ini. Seperti dalam puisinya Gunawan Muhammad:


Dingin Tak Tercatat Termometer

 
Dingin tak tercatat
Pada termometer
 
Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
Mengusir, tetapi kita tetap

di sana. Seakan-akan
 
gerimis raib
dan cahaya berenang-renang
 
mempermainkan warna
 
Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?

Jakarta, Oktober 2025

______

Penulis

Ma’rifat Bayhaki, lahir di Serang-Banten. Sempat bercita-cita menjadi juru masak di kapal pesiar. 


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com


Wednesday, October 29, 2025

Puisi Jawa Banten | Encep Abdullah

Puisi Jawa Banten Encep Abdullah



Ruwed Dewek


Unggal dine menuse ketelimbeng

Arep ngeluh apa maning

Wis kakehen aduh-aduh ning Gusti Pengeran


Ditahan-ditahan ore bise

Menuse duwe ati

Kadang banyu mate mili dewek

Padahal lake sing nempiling


Dine iki nangis  

Ko esuk jingkrak-jingkrak

Esuke nangis maning

Mangan maning

Adus maning

Turu maning

Ngising maning

Kawin maning


2025



Petoak


Wis tekang endi kite dolanan ning dunie iki

Lake alat ukure

Padahal Pengeran ngekon kite kudu nimbang-nimbang dewek amale


Sing kite timbang-timbang wonganan udu amal

Tapi picis, jabatan, pangkat, wadon prigel, skinker

Suwe-suwe mati atine


Digei gering ngeluh

Digei musibah ngelumah-lumah


Petoak doang!


2025



Dolan sing Adoh


Cah, uripmah aje megegeg bae

Endas kudu mikir

Pawon kudu ngebul


Jerehe “rezekimah wis ane sing ngatur”

Tapi, unggal dine ngelonjor bae ning kasur

Sekrol-sekrol tiktok deleng sing munel-munel


Cah, gelati pegawean iku gati

Aje ilok ceplas-ceplos "leh, enje sih ore megawe gah masih urip"


Tak jawab ning kite, " leh, entut badeg!


2025


_______


Penulis


Encep Abdullah, penulis sing doyan mangan endog.



redaksingewiyak@gmail.com 


Tuesday, October 28, 2025

Berita | SMA Budi Agung Sukses Selenggarakan Kegiatan Bulan Bahasa Tahun 2025



NGEWIYAK.com, JAKUT -  SMA Budi Agung Jakarta Utara telah sukses menyelenggarakan kegiatan Bulan Bahasa (Bulbas) tahunan pada Jumat, 24 Oktober 2025 dengan tema "Virelia". Kegiatan tahun ini berfokus pada inovasi dan variasi dalam penggunaan bahasa di kalangan siswa.


Ketua OSIS, Josafat, menjelaskan bahwa inti dari kegiatan Bulan Bahasa kali ini adalah mendorong siswa untuk menggunakan bahasa secara invovatif. 

"Ide utama dari kegiatan Bulan Bahasa ini adalah mengajak siswa-siswa menggunakan bahasa-bahasa dengan cara yang inovatif agar siswa-siswa terinspirasi dalam menggunakan bahasa yang variatif, dengan begini bahasa bisa lebih terlestarikan di kalangan siswa-siswa SMA Budi Agung," ujar Josafat.

Rangkaian acara yang diselenggarakan mencakup berbagai kompetisi untuk menguji kemampuan berbahasa siswa dalam tiga bahasa utama (Indonesia, Inggris, dan Mandarin). 




Wakil ketua OSIS, Jovena, merinci isi kegiatan Bulan Bahasa tahun ini, antara lain pameran hasil karya (poster, komik, dll.) dari kelas 10-12, lomba cerdas cermat (pengetahuan umum), spelling bee (Bahasa Inggris), tongue twister (Bahasa Mandarin), story telling (Bahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin), dan fashion show. 

 "Proses kegiatan Bulan Bahasa tahun ini melalui perencanaan lomba, pendaftaran peserta, pengumpulan hasil karya, hingga hari pelaksanaan," jelas Jovena. Ia berharap kegiatan ini dapat membuat siswa lebih semangat mempelajari berbagai bahasa. 

Pembinas OSIS, Ma'rifat Bayhaki, memberikan apresiasi terhadap penyelenggaraan Bulan Bahasa tahun ini, terutama dalam menghadirkan juri profesional. 

"Kegiatan Bulan Bahasa kali ini cukup baik, bahkan kita mendatangkan juri Spelling Bee dari EF (English Fisrt) yang notabene bule," ungkap Ma'rifat. 

Kehadiran juri dari EF English First ini menunjukkan komitmen sekolah untuk memberikan pengalaman kompetisi yang setara dengan standar internasional. 

Kegiatan ini juga diharapkan mampu meningkatkan kesadaran siswa akan pentingnya bahasa. 

"Diharapkan siswa-siswa bisa lebih sadar akan pentingnya berbahasa karena fungsi bahasa bukan hanya alat berkomunikasi, tapi juga sebagai budaya dari sesuatu negara itu sendiri," tutup Josafat. 

Bulan Bahasa tahun 2025 SMA Budi Agung Jakarta Utara sukses terlaksana dan semoga menjadi sekolah yang edukatif dan inspiratif dalam melestarikan sekaligus merayakan kekayaan bahasa.


(Redaksi)



Saturday, October 25, 2025

Resensi Kabut | Makanan dan Kemenangan

Oleh Kabut



Pengetahuan anak dan remaja tentang makanan teruji melalui kebijakan pemerintah yang mengadakan makanan di sekolah. Makanan itu dicap bergizi sekaligus gratis. Yang suka berpikir keras boleh protes untuk arti gizi dan gratis. Hari-harinya akan murung. Yakinlah ia susah tidur dan tidak doyan makan. Yang dipikirkannya berkaitan dengan Prabowo Subianto, keracunan, dapur, harga, dan lain-lain.


Bagaimana yang menyantap makanan itu bertambah pengetahuan? Tanyakan saja kepada para menteri atau pejabat. Beberapa hari lalu, ada yang tegas mengatakan makanan di sekolah meningkatkan pengetahuan matematika dan bahasa Inggris. Apakah kita percaya sambil merem? Ada lagi pernyataan-pernyataan penting dari para pejabat yang justru tidak membuat anak dan remaja tekun belajar tentang makanan. Yang menyimak pidato Prabowo Subianto dalam renungan setahun berkuasa, masalah makanan itu mendapat pujian dan tepuk tangan. Kita yang menonton di televisi cuma termangu tanpa ada gairah berdebat, berharap dapat menikmati sepiring mi instan mumpung hari-hari yang hujan. 


Yang pernah berdebat makanan adalah Ningsih dan Karti. Mereka ikut lomba memasak di sekolah. Persaingan sengit terjadi yang menimbulkan gosip. Ningsih merasa bakal menjadi pemenang. Ia telah mengikuti kusus memasak di kota, yang artinya ilmunya bakal lebih dibandingkan muri-murid lain. Lomba dilakukan secara kelompok.


“Yang dinilai selain kelezatan juga faktor biaya dan kebersihan,” keterangan dari penyelenggara lomba. Murid-murid diajak bersemangat dengan iming-iming hadiah: “Bagi yang menang, bisa ikut perlombaan seluruh keresidenan dan buku-buku gratis. Buku pelajaran dan buku tulis.” Perhatikan hadiahnya adalah buku. Apakah murid-murid tertarik? Mereka tetap ingin menang meski hadiahnya malah bikin “beban” belajar rasanya bertambah. Mengapa hadiah bukan yang enak atau rupiah?


Akhirnya, lomba diadakan bikin berdebar-debar. Pengumuman disampaikan, yang menang adalah Karti dan teman-teman. Ningsih yang yakin menang terbukti kalah. Protes dan pembelaan terjadi dalam penentuan kemenangan. Penjelasan dari juri menjawab protes Ningsih: “Dengan seratus lima puluh rupiah, kau hanya mampu menghidangkan bakso. Sedangkan, Karti bisa menghidangkan sayur lodeh, tempe, tahu, dan daging goreng, lengkap dengan sambalnya. Hanya seratus tiga puluh rupiah. Bahkan, yang dua puluh rupiah bisa untuk membeli kerupuk, yang memang tepat untuk sayur ini.”


Yang kita baca, sayur lodeh mengalahan bakso. Juri tidak bercerita kandungan gizi. Makanan itu tidak gratis. Duit harus dikeluarkan untuk berbelanja macam-macam. Kemenangan sayur lodeh mungkin memicu penasaran murid-murid belajar tentang makanan atau sayuran. 


Kita sedang masuk dalam cerita gubahan Arswendo Atmowiloto yang berjudul “Juara Masak Tak Terkalahkan”, yang terdapat dalam buku Pesta Jangkrik. Buku diterbitkan oleh Astant, 1978. Cerita yang cukup menimbulkan senyum saat kita ikut berpikiran kebijakan makanan di sekolah di seantero Indonesia, yang “makan” anggaran triliunan rupiah. Kita pilih baca cerita saja, tidak mau debat melawan pejabat-pejabat yang membawa setumpuk kebenaran atas nama Indonesia.


Buku yang bakal bikin gemas anak-anak hari ini andai mau membacanya. Arswendo Atmowilotio mahir bercerita, yang membuat anak-anak tidak harus kepikiran dalil-dalil moral. Sejak dulu, cerita anak di Indonesia keterlaluan dinilai memakai patokan-patokan moral. 


Arswendo Atmowiloto mengajukan cerita yang berjudul “Otak Ayam Goreng; Asyik!” Di keluarga sederhana, anak-anak ingin memelihara ayam. Maka, orangtua yang bijak merestui meski hanya mampu membeli seekor ayam. Padahal, yang minta adalah dua anak.


Cerita yang sangat penting dibaca anak-anak abad XXI. Mereka tahunya makan ayam goreng di restoran terkenal. Di rumah, mereka doyan makan jika lauknya daging atau telur. Pada saat ibu menganjurkan mereka makan sayur malah diam, kabur, atau membuat sejuta alasan. Ayam itu tema yang mengabadi bagi anak-anak, yang mudah dijerat industri makanan dengan merek-merek terkenal.


Arswendo Atmowiloto tidak sedang bercerita industri makanan ayam di Indonesia atau dunia. Ia memulai dengan anak-anak yang memelihara ayam: “Kakak beradik itu sangat rukun. Pagi-pagi sekali, Mi mengeluarkan ayam itu dari kurungan. Lalu, memberi makan dari sisa-sisa yang sengaja disisihkan. Ketika Mi berangkat sekolah, Yah yang ganti mengurus. Mengawasi, mencarikan makanan… Tak ada gunaya dilarang karena Yah sangat senang mengawasi ayamnya. Seperti juga Mi, kakanya yang duduk di kelas satu. Sehari-hari tak ada yang diceritakan selain tentang ayam. Hari ini makan cacing. Kemarin, berhantam dengan ayam tetangga, dan kalah. Lalu, kenakalannya ketika membuang kotoran dalam rumah, suka naik meja.”


Bayangkan, kegembiraan anak-anak memelihara ayam! Mereka bukan yang menuntut setiap hari harus tersaji daging atau telur ayam di meja. Anak-anak dalam keluarga sederhana. Makanan itu tidak tiba-tiba ada sesuai keinginan atau selera yang sedang dibicarakan di sekolah. Tugas sebagai pemelihara ayam memicu tanggung jawab, gembira, dan tantangan. 


Namun, ayam itu perlahan menimbulkan perbedaan pendapat dan pertengkaran. Satu ayam dimiliki dua anak memicu gagasan keadilan. Dua anak ingin duluan dan paling banyak untuk menikmati telur atau daging. Yang diceritakan Arswendo Atmowiloto: “Suasana menjadi tidak sehat. Saling curiga-mencurigai. Persoalan kecil mampu meledakkan keributan dalam rumah. Kemarahan ayah dan ibu, tak banyak menolong. Keributan masih terus terjadi. Suasana menjadi kacau…”


Penyelamat situasi yang kacau adalah Karti. Ia paham yang diinginkan adik-adiknya. Mi dan Yah diajak makan bareng setelah Karti datang membawa bungkusan yang mengobarkan selera. Yang bisa dibayangkan pembaca: “Baunya memang luar biasa. Rasa ayam goreng yang sedap. Yah segera mengambil piring dan nasi. Bau itu masih terus tersebar. Hingga Mi yang paling bersikeras terjerat keinginanya.”


Ketenangan dan perdamaian ingin tercipta. Kartin harus segera memberi jawaban terbaik agar adik-adiknya tidak bertengkar sampai kiamat. Pembaca diajak melihat pemandangan yang mengharukan. Dua anak itu berdamai dengan makan bareng, mengikuti petunjuk Karti. Arwendo Atmowiloto sengaja menyentuh perasaan pembaca: “Karti mengiris bagian demi bagian dengan sangat hati-hati. Maklum otak ayam goreng. Sesuatu yang kelewat mahal. Dan, itulah untuk pertama kalinya mereka makan. Selama ini hanya cerita saja.” Keluarga itu jarang menikmati makanan yang lezat tapi memiliki usaha mengadakan makanan yang bergizi, yang tidak harus gratis.


Yang seru adalah ulah Karti. Pembaca dikagetkan oleh siasat Karti. Ia mampu menyelesaikan masalah secara lucu tapi bijak. Yang disampaikan Karti kepada ibu yang penasaran tentang pemerolehan otak ayam goreng, yang harganya mahal: “Itu hanya tahu biasa. Hanya saja digoreng dengan minyak yang tadinya untuk menggoreng daging ayam. Aku pergi ke warung yang terkenal itu. Aku numpang menggoreng tahu.” Karti tidak punya uang untuk beli makanan yang mahal tapi mengetahui penciptaan selera. Ulah itu demi perdamaian adik-adiknya.


Kita memang tidak memilih cerita “Pesta Jangkrik” yang dijadikan judul buku. Berimajinasi sayur lodeh dan tahun yang digoreng dengan rasa ayam itu membuat kita dibujuk belajar lagi tentang pangan. Siapa mengetahui kebenaran dan dampak makanan bergizi yang disajikan di sekolah, masa sekarang? 


Arswendo Atwiwoloto sempat bercerita makanan berlatar sekolah dan rumah. Ia tidak meramal bahwa pemerintah di Indonesia membuat kebijakan besar bertema makanan di sekolah. Kita yang tidak mau pusing memikirkan kebijakan pemerintah dapat keseruan saat membaca cerita-cerita Arswendo Atmowiloto.

_________


Penulis

Kabut, penulis lepas.


redaksingewiyak@gmail.com