View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Wednesday, June 11, 2025

Suluk Tanah Menyapa Sekolah: Musik Gerabah dari Bumi Jaya


Serang 11 Juni 2025Setelah sukses menghadirkan musik kreasi berbahan gerabah di Desa Bumi Jaya, kini program Suluk Tanah menapakkan langkah baru. Akar budaya yang tumbuh dari tanah ini mulai menjalar ke dunia pendidikan. SMPN 11 Kota Serang menjadi sekolah pertama yang memperkenalkan alat musik gerabah hasil kolaborasi peneliti dan perajin lokal kepada para siswa.

Sekolah ini tidak hanya menjadi tempat belajar biasa. Ia berubah menjadi ruang kreatif. Di tangan Hasanudin, S.Pd., guru seni sekaligus kolaborator program Suluk Tanah, kelas seni berkembang menjadi ruang perkenalan dengan musik yang unik. Walau alat musik gerabah masih dalam tahap pengembangan, perkenalan sejak dini dianggap penting.

“Kita ingin murid-murid merasakan langsung keunikan musik gerabah. Mulai dari proses pembuatan hingga memainkan alat musik ini yang juga digabungkan dengan alat musik tradisional khas Banten lainnya. Dengan begitu, kecintaan terhadap warisan lokal tumbuh sejak di bangku sekolah.”

Program Suluk Tanah dipimpin oleh Imaf Maftuhi, peneliti yang mendapat dukungan dari Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan BPK Wilayah VIII. Bersama Hasanudin, Azmi Ibrahim, dan para perajin Desa Bumi Jaya, mereka mengembangkan tiga jenis instrumen gerabah: tiup, perkusi, dan tabuh. Di sekolah, siswa diajak mempelajari teknik dasar memainkannya.

Langkah awal ini dimulai melalui kegiatan ekstrakurikuler musik tradisional. Kelak, akan berkembang menjadi pertunjukan dan festival musik yang mengangkat tema tentang gerabah. Hasanudin berharap:

“Ke depan, kami berharap alat musik gerabah bisa diperkenalkan ke sekolah-sekolah lain di Serang, bahkan Banten. Ini bukan sekadar pelestarian, tetapi inovasi budaya yang dinamis.”

Desa Bumi Jaya sendiri telah lama dikenal sebagai sentra gerabah sejak zaman Kesultanan Banten. Kini, melalui alat musik kreasi, gerabah tidak hanya menjadi kerajinan, tetapi juga sumber bunyi dan ekspresi seni yang relevan dengan zaman. Melalui tangan generasi muda, tradisi ini tidak hanya dilestarikan, tapi juga diperbarui.

 

REDAKSI/MA'RIFAT

Sunday, June 8, 2025

Puisi-Puisi Dewis Pramanas



Kepada  Wanita Pemilik Hati


Tahukah kau

setiap embusan napasku

serta derap laju langkah kaki ini

ialah deskripsi relung kasih

yang kelak bermutasi rindu


Tahukah kau

bintang yang kerlip di atas sana

lalu bertahan dari gelapnya langit

sebuah jawaban bahwa rasaku

akan terus benderang di tengah getir


Tahukah kau

pada malam sunyi

aku bercengkrama dengan jam dinding

merayu waktu agar berhenti bergulir

lantas kita berbaring bersama

tak terpisahkan

Subang, 14 Februari 2025



Yang Lalai


Semua tentang bercak-bercak noda

Dari pergolakan hidup

Kata-kata yang terlontar terlanjur mengudara

Menjurai prahara menganga

Sehabis pedang mengiris hati


Aku seperti ditampar bayangan di cermin

Menguar akumulasi penyesalan

Segera maaf terucap yang lalai

Tak menjaga lisan

Sebelum waktu menggilas jiwaku

Subang, 3 April 2025


Penulis 

Dewis Pramanas, lahir di Subang 1 Maret 1987. Seorang guru di SD Negeri Ciberes, Subang, ia menetap di Subang, Jawa Barat, hobinya menulis puisi dan membaca buku, Ia aktif bergiat di beberapa komunitas literasi online. Buku Puisi tunggalnya berjudul Perindu Hujan. Beberapa karya puisinya juga termuat di media daring. Baginya menulis adalah sebagai tempat yang bisa membuatnya bebas menuangkan imajinasi dan keresahan hati.

Monday, June 2, 2025

Cerpen Tin Miswary | Mulod




Cerpen oleh Tin Miswary

****

Beuransah baru saja pulang dari sekolah ketika istrinya berteriak-teriak memanggil namanya. Mendengar suara istrinya, lelaki itu segera memarkir sepeda motornya di teras. Dia menarik beberapa buku yang terselip di jepitan motor bagian depan, dan lalu berjalan terhuyung-huyung ke dalam rumah. Kepulangan Beuransah diketahui istrinya dari suara motor yang memang terdengar nyaring. Motor Suzuki Jet Cooled itu memang tidak bisa diajak diplomasi soal suara, selalu saja riuh dan melengking.


Ya, sebentar, ujar Beuransah, seraya menghembus napas.


Tidak terdengar lagi suara istrinya yang seperti suara peluit tukang parkir itu, bising dan memekak telinga. Dia mendapati istrinya sedang menampi beras di dapur, sementara di atas kompor Hock, dua depa dari tempat istrinya duduk, terlihat wajan kecil mengeluarkan asap.


Tolong lemparkan ikan-ikan itu ke wajan. Minyaknya hampir hangus, kata istrinya sambil terus menampi, dan sesekali menjumput bulir-bulir padi dalam nyiru.


Tanpa merasa perlu menjawab, Beuransah meletakkan buku-bukunya di atas meja kayu, tepat di belakang istrinya, dan lalu menyodok beberapa ekor ikan dalam beulidi menggunakan aweuk. Dengan bantuan benda itu dia memasukkan beberapa ekor ikan dalam wajan yang sedari tadi dipenuhi asap. 


Beuransah mengambil kembali buku di atas meja dan bergegas ke dalam kamar. Setelah mengganti pakaian, dia kembali menuju dapur, membalik ikan yang hampir hangus. Siang itu dia hanya menggunakan singlet dan sarung. Cuaca di luar cukup panas dan matahari membakar tanpa ampun. Beuransah duduk pada sebuah kursi kayu di belakang meja makan. Dia menyalakan rokok dengan mata menyipit.


Namun, belum lagi asap tembakau itu keluar dari mulutnya, istrinya menoleh, memandang wajah Beuransah, dan lalu berkata, Lusa ada mulod di tempat mengaji si Agam. Istrinya mengatakan itu seraya mendongak.


Beuransah mengembuskan asap ke langit-langit dapur sambil matanya memandangi sarang laba-laba yang bergelantungan di sana. Pikirannya bergerak-gerak, mencari-cari wajah seseorang yang bisa dia temui untuk meminjam uang. Namun, tak ada wajah yang muncul di sana. Pikirannya kembali bergelayut, mengingat-ingat kepada siapa dia pernah meminjamkan uang. Akan tetapi hasilnya sama, tidak ada seorang pun yang muncul di pikirannya yang kusut.


Beuransah menarik napas panjang seraya memainkan batang rokok dengan jarinya, memutarnya bagai baling-baling. Baru kemarin dia menyumbang untuk maulid di sekolah si Agam. Tidak ada patokan memang. Namun, angka 30 ribu adalah nilai minimal yang mungkin disumbang, sebab harga barang sudah semakin naik. Lagi pula dia juga masih ingat wejangan penceramah, bahwa sedekah dan permintaan harus seimbang. Sedekah lima ribu tapi mintanya masuk surga, halo? ledek penceramah. 


Atas pertimbangan itulah Beuransah terpaksa menyumbang 30 ribu untuk panitia maulid di sekolah si Agam. Dia tidak mau anaknya rendah diri, apalagi Beuransah juga seorang guru. Namun, permintaan kali ini, yang baru saja disampaikan istrinya, membuat wajahnya kembali murung. Karena itulah dia terus memandang sarang laba-laba di atas sana dengan harapan mendapat inspirasi.


“Itu ikannya sudah bisa diangkat!


Teriakan istrinya membuat Beuransah terperanjat, membiarkan lamunannya menggantung di langit-langit dapur. Lelaki bertubuh kurus dengan rambut keriting bagai benang kusut itu bangkit dari duduknya, mengambil aweuk dan lalu mengangkat ikan yang hampir hangus, meletakkannya dalam cupe. Setelah mematikan kompor dia kembali duduk, melanjutkan renungan yang tadi terputus.


“Kata si Agam, untuk mulod lusa diminta sepuluh porsi per-wali santri.


Suara istrinya membuat Beuransah kembali terhenyak.


Berbeda dengan maulid di sekolah yang meminta sumbangan dalam bentuk uang, maulid di tempat mengaji si Agam tidak menerima uang, tapi makanan yang sudah dimasak beserta lauk pauk. Memang sudah tradisinya begitu. Makanya dia tidak protes ketika istrinya berkata begitu. Namun, sepuluh porsi itu butuh biaya besar.


Kira-kira habis berapa? tanya Beuransah.


Untuk belanja ayam, ikan dan bahan-bahan dapur, setidaknya 300 ribu. Itu paling kurang, jawab istrinya sambil terus menampi.


Kok mahal, ya?


Ya, mahal memang. Harga barang sudah naik. Uang 100 ribu sekarang gak ada harganya di pasar. Bapak pikir ini zaman Pak Harto?”


Ya, tapi maunya jangan 10 porsi.


Kan sudah dibuat rapat di balee, tapi Bapak gak mau datang. Salah sendiri. Maunya kan bisa protes di sana. 


Jawaban istrinya terasa bagai tusukan belati di jantung Beuransah. Dia terdiam dan tak menjawab lagi. Sebenarnya dia bukan tak mau datang ke sana, tapi karena dia tahu pendapatnya akan ditolak oleh wali santri lain. Pada tahun-tahun sebelumnya dia selalu menghadiri rapat di balee itu, tapi dia justru dipermalukan dengan sadis.


Alah, Bapak ini untuk sedekah aja pelitnya bukan main, demikian kata mereka saat itu. Sedekah gak usah banyak mikir, Pak. Kapan lagi kalau bukan di acara-acara seperti ini, kata yang lain lagi.


Beuransah merasa terpukul. Hatinya sakit.


Rezeki kita beda-beda, ada yang banyak ada yang sedikit, timpal Beuransah dengan wajah kusut.


Alah, Bapak ini. Untuk mencari pahala saja Bapak mau berdebat. Bagaimana Bapak ini? Jangan-jangan Bapak gak cinta sama Nabi, ya? timpal salah seorang wali santri bertubuh tambun.


Mendapat jawaban seperti itu Beuransah hanya bisa diam, memendam rasa malu yang mengapung di wajahnya yang merah. Karena itulah dia tidak mau lagi menghadiri rapat-rapat terkait sumbangan di balee. Memang rapat itu bentuk musyawarah untuk mencapai mufakat, tapi sering kali yang suaranya tinggi dan kantongnya tebal menguasai panggung, memengaruhi orang lain untuk kemudian bersepakat atas apa yang sebenarnya mereka tak setuju.


Jangan termenung begitu! 


Suara istrinya menyadarkan Beuransah dari pikirannya yang sedang merantau. Dia kembali mengisap rokoknya dalam-dalam, menenangkan diri dari gemuruh pikirannya sendiri. Istrinya yang baru saja selesai menampi beras bangkit dan duduk di samping suaminya. Dia memandang wajah suaminya yang masih terlihat bingung.


Senin depan Bapak juga ada maulid di sekolah. Diminta sumbangan 50 ribu perguru sama kepala sekolah, kata Beuransah dengan suara pelan.


Bapak kan guru honorer, apa tidak ada keringanan? tanya istrinya dengan mata mendelik.


Maunya begitu, tapi ada guru honorer lain yang setuju.


Siapa itu?

Pak Midi.

Owalah. Dia kan punya tambak udang?

Itulah masalahnya. Kepala sekolah mana mau tahu, yang penting berat sama dipikul ringan sama dijinjing, katanya. Dan yang penting itu kesepakatan rapat guru-guru di sekolah.”


Sejenak suami istri itu terdiam, saling memandang dengan hati sama-sama bergolak.


Sudah 20 tahun Beuransah menjadi guru honorer di SD Kali Udang, sebuah kampung di pegunungan yang berbatasan dengan Tanah Gayo. Untuk bisa sampai ke sana dia harus memacu motornya selama satu jam setengah. Itu kalau tidak hujan dan jalannya kering. Tapi kalau hujan dan jalannya berlumpur, dia butuh waktu dua kali lipat. Karena itulah dia tidak membawa si Agam ke sana, tapi ke sekolah pinggiran kota, agar anaknya bisa pulang lebih cepat dan tidak kelaparan di tengah jalan.


Sebenarnya nama Beuransah sudah beberapa kali masuk dalam catatan guru honorer yang akan diangkat sebagai pegawai negeri. Namun, entah kenapa namanya selalu berpindah-pindah tempat. Awalnya masuk buku putih yang akan lulus tanpa tes, tapi kemudian namanya berpindah ke daftar K2, dan sekarang, karena dia hanya berijazah diploma, namanya juga hilang di sana. Yang layak masuk daftar K2 hanya mereka yang punya ijazah sarjana. Mengingat usianya sudah hampir kepala lima, rasanya tak mungkin lagi dia kuliah, apalagi kebutuhan hidup sudah semakin tinggi.


Pernah beberapa kali istrinya meminta agar ia berhenti saja menjadi guru, tapi Beuransah tidak mau. Dia tetap ingin mengajar, lagi pula dia juga sudah sangat akrab dengan orang-orang kampung di sana. Kadang-kadang waktu pulang sekolah dia membawa pisang, ubi dan buah-buahan lain, hadiah dari wali murid. Karena itu, walau gajinya tak lebih dari 200 ribu sebulan, dia tetap bertahan. Selain itu, dia juga yakin suatu saat ketika presiden baru terpilih, akan ada kebijakan untuk mengangkat orang-orang seperti dirinya sebagai pegawai negeri. Apalagi dia sudah mengajar di sana sangat lama, ketika orang-orang GAM dan TNI masih berperang. Saat itu tidak ada yang berani datang ke sana. Namun, Beuransah yang saat itu baru lulus kuliah memberanikan diri mengajar di sekolah itu, sekolah yang kemudian dibakar orang tak dikenal sehingga dia harus mengajar anak-anak di bawah tenda.


Jadi, bagaimana untuk mulod si Agam? istrinya kembali bertanya.

Kalau mungkin kita bawa lima bungkus saja, itu pun masih berat.

Istrinya diam sejenak dan lalu berkata, Asal Bapak berani bawa gak apa-apa.

Perbincangan terputus.


Keesokan paginya setelah belanja dan memasak, istrinya menyerahkan lima bungkus nasi dan satu rantang lauk. Beuransah menerimanya dengan wajah yang tidak pantas untuk dikatakan gembira. Si Agam, anak laki-laki satu-satunya yang mereka punya telah lebih dulu berangkat ke balee. Dia akan membaca dalail khairat dengan teman-temannya di sana.


Jam menunjukkan pukul 11 siang ketika Beuransah dengan langkah gontai menaiki motornya. Suara motor yang seperti terompet itu mengejutkan beberapa ekor ayam yang sedang buang hajat di teras rumahnya, sementara istrinya berdiri di ambang pintu, melepas kepergian suaminya dengan hati cemas.


Sampai di sana, Beuransah menyerahkan bawaannya kepada Teungku Suman, pemimpin balai pengajian yang selama ini mengajari anaknya membaca Al-Quran. Teungku itu menerima pemberian Beuransah sambil tersenyum, tidak ada tanda-tanda aneh di wajahnya, seperti ditakuti Beuransah sejak kemarin. Teungku Suman mempersilakan Beuransah untuk menikmati makanan bersama tamu-tamu di bawah tenda.


Maka mulailah Beuransah menyantap makanan itu dengan lahap. Hatinya sangat bersyukur karena apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Selesai makan, Beuransah pamit pada Teungku Suman dan berjalan pelan meninggalkan tenda. Namun, baru saja dia menduduki motornya, seorang laki-laki tambun menepuk bahunya dari belakang.


Lain kali kalau mau makan yang banyak, bawa yang banyak, teriak laki-laki itu sambil berlalu meninggalkan Beuransah. Seraya menarik tangan anaknya, laki-laki itu kemudian menaiki mobil yang terparkir di ujung jalan. Dia melempar senyum pada Beuransah yang masih terdiam di atas motornya. Beuransah ingat pada laki-laki itu, laki-laki yang dulu mempermalukannya di balee.


Tengku Suman yang sadar dengan kejadian tersebut segera mendekati Beuransah dan lalu berbisik, Jangan diambil hati. Dia sedang marah karena makanan yang dia bawa saya tolak. Dia juga membawa pulang anak laki-lakinya, tidak diizinkan lagi mengaji di sini.


Beuransah melongo.

Kenapa? tanyanya kemudian.

Saya tidak mau Nabi marah. 

Maksud Teungku? 

“Tahulah, dia kan .”

Haji Suman diam sejenak, dan lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Beuransah, Tauke Tramadol!


********

Catatan:

Mulod : Maulid

Beulidi: Sejenis wadah makanan

Aweuk: Sendok untuk menggoreng ikan

Si Agam: Panggilan untuk anak laki-laki di Aceh

Cupe: Piring kecil dari kaca

Balee: Balai tempat mengaji

K2: Status pegawai honorer 

Tramadol: Jenis obat-obatan yang sering disalahgunakan


_____________


Biodata Penulis

Tin Miswary, menulis esai, cerpen dan resensi buku. 

Sunday, June 1, 2025

Puisi-Puisi Mecca Ardelia



Lidah yang Lupa Siang yang Terkulai


Di bawah terik yang menguji sabar

debu menari di sela hawa

langit berbisik dengan lirihnya

Adakah kau teguh, wahai insan


Namun di sudut jalan yang resah

asap mengular dari tungku basah

periuk berdendang tanpa malu

menanak hening di rongga waktu


Tirai tergeser, nafsu terbuka

dinar berjatuhan di genggam lemah

Sajian terhampar di atas dusta

wangi rempah menggoda lidah


Sedang masjid menangis dalam sujud

puasa bersedih dalam sunyi

siang berduka di pangkuan waktu

iman terkatup di sela ragu


Duhai tangan yang menakar dunia

bukankah fajar telah bersumpah

Rezeki tak lekang oleh haus

namun tergadai oleh tergesa


Adakah perut lebih berharga

dari janji yang digurat langit

Atau ini sekadar fana

yang memudarkan segala akhir



Tangan yang Enggan Menanam


Di fajar muda yang berkah terbuka

ia berdiri di lorong tanpa jejak

Kakinya tak menyentuh ladang

tangannya tak menganyam nafkah


Hari-hari berkelana di bayang belas

menadah rezeki dari mulut iba

Ia bisikkan keluh pada angin

padahal lengannya sekuat baja


Tangan lain menakar peluh

membelah siang, menjemput rezeki

Sedang ia, memetik hampa

mengemis pagi, meratap senja


Di hadapannya bumi terbuka

tapi ia enggan menanam benih

Menunggu langit menjatuhkan emas

namun hujan tak mengerti pinta malas


Duhai insan, di mana harga?

Jika tanganmu tak hendak berjuang

Bukankah rezeki butuh digali

bukan sekadar diratap sunyi?

Tuesday, May 27, 2025

Berita | Pesan Kuat dari Kota yang Sibuk: Tarian “Day to Die” Bawa SMA Budi Agung Raih Juara 2



NGEWIYAK.com, JAKARTA UTARA — Suasana penuh semangat dan kreativitas mewarnai ajang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat Jakarta Utara Wilayah 1 yang digelar di Sekolah Kristen Calvin, Sunter pada 27 Mei 2025. 



Acara ini menjadi ajang unjuk bakat seni para pelajar SMA dari berbagai sekolah, mulai dari musik, teater, hingga tari. Salah satu penampilan paling mencuri perhatian datang dari SMA Budi Agung, yang secara mengejutkan sukses meraih Juara 2 lewat penampilan tari berjudul “Day to Die”. Hebatnya lagi, ini adalah kali pertama SMA Budi Agung mengikuti lomba FLS2N, dan langsung berhasil naik podium.

Tarian tersebut dibawakan dengan penuh penghayatan oleh dua siswa berbakat: Marcia Chaniadi dan Glen Henggono, di bawah bimbingan pelatih mereka, Daniel Setyo Pambudi.

“Day to Die” mengangkat kisah kehidupan perkotaan yang serba cepat—dari pekerjaan yang menumpuk hingga rutinitas makan yang tergesa-gesa—semuanya dilakukan dalam tekanan waktu. Dalam tarian ini, mereka menggambarkan bagaimana manusia perlahan kehilangan rasa dan makna hidup karena terjebak dalam rutinitas yang melelahkan.

“Jujur, saya sebenarnya tidak terlalu terkecimpung ke dalam tari. Waktu ikut lomba ini, saya ikut saja tanpa ekspektasi tinggi,” ujar Glen Henggono
 
Ketika diumumkan sebagai Juara 2, perasaan bangga langsung membuncah. Namun, Glen dengan rendah hati menyampaikan,

“Saya merasa juara ini bukan sepenuhnya karena saya, tapi berkat guru kami, Daniel Setyo Pambudi, yang membuat tema dan koreografi tarian ini. Saya merasa sangat beruntung pernah dilatih oleh beliau.”

 Ia menambahkan, tarian “Day to Die” menceritakan kisah kehidupan masyarakat kota yang penuh tekanan hingga perlahan membunuh jiwa tanpa disadari.

“Karya ini sangat bermakna, dan saya merasa penghargaan sebenarnya layak diberikan kepada guru kami.”

Kemenangan ini menjadi bukti bahwa semangat dan kerja keras bisa menghasilkan prestasi luar biasa, bahkan sejak langkah pertama. SMA Budi Agung berhasil membuktikan bahwa pemula pun bisa bersinar, asalkan mau berlatih dan tampil dengan hati. 

Kendati SMA Budi Agung belum berhasil melaju ke tahap berikutnya, prestasi Juara 2 ini menjadi kebanggaan tersendiri dan membawa semangat baru di dunia seni bagi para siswa dan guru di sekolah tersebut. Mereka membuktikan bahwa dengan kerja keras dan langkah awal yang kuat bisa membuka peluang lebih besar di masa depan.
 
Selamat kepada Marcia, Glen, dan pelatih Daniel! Semoga ini menjadi awal dari lebih banyak prestasi seni di masa depan.

(Redaksi/Ma'rifat Bayhaki)

Sunday, May 25, 2025

Puisi-Puisi Fileski Walidha Tanjung

Puisi Fileski Walidha Tanjung




Sepatu Lusuh

– sudut pandang sepatu seorang siswa –


Aku, sepatu penuh lubang,

mengendus aroma pulau dewata

dari tumpukan brosur agen travel

Tuan kecil mengelusku pelan,

“kau siap berlari ke pulau para dewa?”


Tuan kecil sedang gundah, bimbang

orang tuanya sedang menawar harga pada malam,

mencicil harap pada pinjaman berbunga.


Setiap langkahnya kini adalah cicilan:

pagi mengantar koran, siang mencuci mimpi orang,

malam menambal baju yang penuh lobang.


Aku tetap melangkah,

bersama sepatu yang sebelah,

berganti warna dengan air mata ibu.

Sejenak melupakan bahwa perjalanan ini

dibayar dengan gali lubang

tutup lubang.

2025


Jalan Pinjol ke Bali

– sudut pandang algoritma pinjol –


Aku bukan manusia.

Aku adalah angka yang berkedok harapan.

Aku pintu masuk yang tak punya jalan keluar.


Ketika jari-jari menyentuhku,

aku tersenyum dalam notifikasi:

“Selamat! Dana perjalanan Bali sudah tersedia”


Aku akan membawa anaknya ke pulau,

pulau gelisah tanpa malam-malam indah,

pulau yang membuat suaminya tak tahu lagi

cara memandang mata anaknya.


Aku tidak bernapas,

tapi aku bisa menghancurkan paru-paru.


Namaku pinjol.

Akulah sang dewa palsu,

yang bisa membawamu ke Bali beberapa hari,

menjeratmu mati berkali-kali.

2025


Sajak Kursi Plastik

– sudut pandang kursi plastik di acara perpisahan –


Aku adalah kursi plastik,

melihat laki-laki itu berdiri di belakang,

seorang ayah yang belum lunas hutang.


Wajahnya retak seperti tembok gudang.

Ia tersenyum—anaknya berseragam toga,

meski dalam hatinya ada hujan yang belum reda.


Padahal “Perpisahan bukanlah pesta.

Hanya halaman terakhir dari buku

yang seharusnya dibaca bersama.”


Aku cuma seonggok kursi,

menampung berat tubuh dan rahasia tersembunyi.

Dan di atas panggung, anak-anak berfoto,

mengira dunia akan lebih mudah seusai acara ini.

2025


______

Penulis


Fileski Walidha Tanjung, adalah penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media nasional.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com




Sunday, May 18, 2025

Esai Redaksi | Nurhadi | Silogisme Liem Oei Ping dalam Menyikapi Percaturan Waktu

Esai Nurhadi



Rekonstruksi waktu rupanya telah membawa saya pada sosok Liem Oei Ping, yang setelah saya tahu, ternyata biasa disapa dengan panggilan Pak Wiping. Yang pada permulaannya tidak ada sama sekali niat untuk membahasnya di sini, tapi ini bukanlah sebuah kebetulan belaka. Mungkin Liem Oei Ping sedang merencanakan sesuatu dengan semesta atau saya sendiri yang terlalu naif dalam mengeja waktu. Namun yang jelas, saya telah menjadi bagian saksi dalam percaturan waktu bagi Liem Oei Ping itu sendiri.

Saya beruntung sekaligus segan ketika diminta—Sulaiman Djaya, salah satu penyair nasional di Banten yang terkenal—untuk mewawancarai Liem Oei Ping tentang isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekonomi di Banten secara langsung di kediamannya, tepatnya di Toko Krakatau Royal Serang di lantai 4. Tentu, Saya merasa segan karena ini bukan tugas yang mudah sebagai penikmat sastra, lain halnya dengan Sulaiman Djaya yang telah mulung-malang-melintang dalam kesusastraan dan kebudayaan. Walau begitu saya merasa beruntung karena telah dipercaya untuk terlibat dalam kepentingan agendanya tersebut.

Liem Oei Ping atau biasa disapa Pak Wping adalah sosok pengusaha Tionghoa tangguh yang lahir pada 1941 di Buol, Sulawesi Tengah—Pak Wiping juga sangat menyukai seni, seperti puisi dan lukisan, hal itu terpampang di ruangan kerjanya di lantai 4, di mana karya-karya seni menghiasi kami saat proses wawancara. Beliau tiba di Serang sekitar era 1960-an dengan bekal prinsip hidup yang dipegangnya sampai hari ini, yaitu berusaha dengan tekun dan halal untuk keluarga. Prinsip itu dituangkan dalam puisinya, yang secara bersamaan karya tersebut dibacakan dengan syahdu oleh penyair kita, Sulaiman Djaya, judulnya ‘Hutang dan Aib’:

 “Berusaha tekun dan halal

 adalah ibadah

 adalah pengabdian

 pada kehidupan

 pada kematian.

 Di saat masih hidup

 bisa sejahterakan keluarga

 di saat sudah wafat

 tidak meninggalkan hutang

 dan aib keluarga.”

Puisi di atas menurut saya adalah silogisme Pak Wiping, sekaligus rumus hidup yang menegur kepada kita semua bahwa, kerja-kerja yang seharusnya dilakukan itu bukan saja mengenai soal kerja keras, melainkan juga kerja halal. Kerja halal yang dimaksud adalah kerja yang selaras dengan apa yang diajarkan oleh Tuhan. Terutama dalam ruang lingkup di kehidupan kita di Serang ini yang masih memegang teguh nilai dan moral kebudayaan dan agama. Setelah kerja halal terpenuhi maka keluarga akan bahagia, sejahtera, dan tidak akan menanggung malu di kemudian hari.

Serang dalam Memoar Liem Oei Ping

Percaturan waktu yang membentuk Liem Oei Ping atau Pak Wiping sampai saat ini bukanlah isapan jempol, melainkan perjuangan yang penuh perhitungan dan langkah strategis yang telah dibuktikan. Meski bisa dibilang beliau dari keluarga yang berkecukupan untuk makan sehari-hari pada saat itu, namun mental untuk terus tumbuh telah membawanya sampai saat ini. Dan bagaimana pergaulannya dengan masyarakat Serang saat itu adalah langkah yang tidak dapat diambil secara gegabah.

Hal yang dapat kita lihat dengan jelas bahwa beliau merupakan keturunan Tionghoa. Tentu memiliki paradigma atau cara pandang yang berbeda dengan masyarakat Serang pada umumnya. Di Serang mayoritas masyarakatnya adalah religius karena pengaruh para ulama dan kiai yang telah membentuk kebiasaan sosial. Maka Pak Wiping dengan kesederhanaannya secara terbuka untuk belajar dan beradaptasi dengan pendekatan dialog dengan para petani, pedagang, dan juga tokoh masyarakat.

Kemudian Pak Wiping juga membuka lahan pertanian yang dapat dikelola oleh masyarakat dengan sistem bagi hasil. Lahan tersebut juga beriringan dengan Rumah Hutan Cidampit miliknya di Kecamatan Taktakan, Kota Serang—yang dapat digunakan sebagai rekreasi masyarakat, agenda sosial maupun kebudayaan, atau tempat bercengkerama beliau di kala senggang. Selanjutnya, Pak Wiping menyukai seni dan sangat menghargainya. Salah satu seni yang bisa saya saksikan saat itu adalah seni lukis. Lukisan itu seolah berbicara mengenai Pak Wiping. Ia adalah almarhum Bukhari, seniman lukis yang menjadi andalan Pak Wiping pada saat itu.

Ekonomi dan Kesejahteraan Liem Oei Ping

Ada salah satu pertanyaan yang mengganjal di benak saya adalah bagaimana proses Liem Oei Ping atau Pak Wiping dalam perjalannya sebagai pengusaha dan apa ide yang ditawarkan dalam menyikapi perekonomian di Banten, utamanya di Serang agar lebih maju. Barangkali itu yang dapat saya ketahui secara umum bagaimana orang Tionghoa berbisnis, khususnya Pak Wiping untuk memberi ramuannya.

Tutur beliau bahwa Banten memiliki potensi alam yang sangat kaya untuk sebuah kesejahteraan bagi penduduknya. Namun prinsip hidup sering kali menjadi problematik dalam merealisasikan itu. Maka beliau mencoba menginterupsi kebiasaan masyarakat kita agar lebih proporsional antara beragama dan berbisnis. Beliau tidak menampik bahwa beragama adalah jalan untuk kebaikan, namun itu harus menjadi penghubung bagi kesejahteraan yang lebih kompleks. Dengan kata lain, bahwa kita harus memikirkan bagaimana hidup dan warisan untuk anak cucu kita kelak, yaitu dengan bekerja secara halal. Karena sesungguhnya dalam agama pun kita diwajibkan untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri dan keluarga mengenai kebutuhan hidup.

Kemudian beliau menjelaskan lebih spesifik mengenai pemanfaatan sumber daya alam tadi, yaitu dengan membangun rumah atau tempat tinggal di kebun-kebun agar para petani lebih dekat dengan alamnya. Pak Wiping melihat banyak masyarakat yang memiliki potensi tersebut justru menjauh sehingga hasilnya kurang maksimal. Maka dia menyarankan untuk mereka yang memiliki pengetahuan dan potensi di wilayahnya agar menggarap lahan untuk diambil hasilnya dan untuk kebutuhan hidup serta mencapai kesejahteraan di Banten yang notabenenya adalah wilayah agraris. Lalu diikuti dengan program pemerintah yang memudahkan para petani untuk mengolah lahannya yang kompleks itu.


_______

Penulis 

Nurhadi, tulisan-tulisannya pernah dimuat di koran harian Kabar Banten dan Majalah Sastra Kandaga Provinsi Banten.


Friday, May 16, 2025

Puisi-Puisi Qonita Tillah

Puisi Qonita Tillah





Tak Selesai


Aku tumbuh

tapi tak selalu menjadi

Ada hari-hari di mana aku hanya diam

menonton dunia berlari

tanpa tahu ke mana harus ikut pergi.

Di antara cermin dan doa

aku mencari atma yang kukenal

Namun seringkali

yang kutemui hanya mata lelah

dan senyum yang dipaksa

Katanya hidup harus penuh arah

tapi bagaimana kalau aku tersesat

di jalan yang bahkan belum sempat kupilih?

Aku bukan batu karang

tapi juga tak cukup air

untuk mengalir entah ke mana

Aku, yang tak selesai dengan diriku

hanya ingin sedikit waktu

untuk diam

tanpa ditanya

“Lalu kamu mau jadi apa?”



Hujan yang Tak Bertanya


Hujan datang tanpa bertanya

menghapus debu, tapi juga luka

yang tak sempat aku ceritakan

Setiap tetesnya seperti senandika

yang pernah kupendam dalam hati

bercampur dengan angin malam

yang tak pernah memilih jalan

Aku berdiri

menatap langit yang abu

dan menunggu jawaban

dari tiap pertanyaan yang tenggelam dalam hujan

Tapi hujan hanya diam

seperti aku yang tak tahu harus mulai dari mana



Jalan yang Tak Terlihat


Masa depan

seperti jalan yang terbungkus kabut

tak ada yang jelas, hanya langkah-langkah ragu

yang mencoba menemukan jejaknya sendiri

Setiap pilihan seperti pertanyaan besar

menyebalkan, membingungkan

dan sering kali membuatku bertanya

"Apakah ini yang benar?"

Aku berjalan di tengah suara-suara

yang mengharapkan aku menjadi sesuatu yang besar

tapi aku hanya merasa terlalu kecil

untuk menggapai langit yang tinggi itu

Kadang aku ingin berhenti sejenak

mengamati semua jalan yang terhampar

tapi aku takut

takut jika berhenti berarti aku tertinggal

selamanya


_________


Penulis


Qonita Tillah, seorang manusia biasa yang sedang belajar memahami dunia dan dirinya sendiri. Lahir di Bandung dan kini menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Ia meratapi dunia menulis karena menurutnya menulis adalah cara pulang ke bagian dirinya yang paling tenang.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 



Cerpen M. Ghaniey Al Rasyid | Setelah Lebaran Usai

Cerpen M. Ghaniey Al Rasyid 




Siang itu tak setitik awan membumbung menghiasi langit. Binar terang mentari merangsek tanpa penghalau. Teong basah kuyup oleh keringatnya sendiri. Ia mengaduk-aduk semen, pasir, kerikil dan setengah ember air hingga setengah lembek. Adonan semen itu mengingatkan ibunya yang tak lagi dapat mengunyah nasi.

Beberapa temannya nikmat mengguyur dahaganya dengan es jeruk manis. Teong ingin pula mengguyur kerongkongannya. Di kerongkongannya hanya tinggal lembap air liur, kemudian kering dahaga membikinnya mengerutkan dahi. Dahaga benar-benar menyiksanya. Namun ia pertahankan demi iman.


“Ong, nasi rendang?”


“Ya, silahkan.”


Adukan terakhir, sebuah ember penuh dengan semen. Teong menarik ember ke lantai dua melalui katrol yang gagangnya dibikin dari karet ban. Kecipak lumpur mengucur saat ember terombang-ambing dikerek merangsek ke lantai dua. Ia membayangkan tentang makanan, sekali lagi ia tak menggubrisnya. Lusa ia harus pulang ke kampung halaman.


Langit begitu cerah tak secerah nasib hidupnya. Ia meratapi dengan saksama, bagaimana keberuntungan terkadang jauh tak mempertemukannya. Meski demikian, Teong selalu berbaik sangka. Selalu saja ia membelai-belai pikirannya, bahwa ia hanya sebuah wayang.


Teda, Broto, Suroto mulutnya sibuk mengunyah makanan. Bumbu rendang menyembul seakan mengajak Teong untuk mampir. Ia duduk di sebelah mereka. 


“Tulat kita sudah Lebaran, tak apa sekali-kali,” tukas Teda sambil mengkuncupkan nasi dengan jari-jemarinya yang masih nampak kotoran yang nyempil di sela-sela kukunya.


Teong hanya meringis, sambil melempar-lempar kerikil seperti seorang pemain sirkus. Ia kadang membayangkan, apakah kisah menakutkan bila melanggar perintah-Nya itu benar terjadi. Seorang pendusta dapat hidup mewah, pejabat korup dapat hidup tenteram meskipun di balik jeruji atau dirinya yang menderita meskipun taat. 


“Dunia ini sementara,” sejurus Teong mengingat lamat-lamat guru mengaji di surau sewaktu ia kecil.


“Sudah mempersiapkan apa saja untuk kampung halaman?” tanya Suroto sambil mengusap-usap perutnya.


“Seperti biasa, tabungan satu tahun akan kubongkar,” jawab Teda.


“Membelikan baju Lebaran untuk anak-istri,” ujar Broto.


Teong terdiam dengan sorot mata tertuju dalam adonan semen. Ia mendengarkan gumaman teman-temannya. Ia ingin ikut berceloteh, namun bingung memunculkan kata. Dalam benaknya terbesit kebimbangan kala membayangkan kelima adiknya dan seorang ibu di kampung halaman nan jauh.


“Minum dulu Ong. Lu melamun mulu,” tukas Teda sambil menggoyang-goyangkan lengan Teong.


“Paling penting, ya bagi-bagi THR buat sanak famili.”


“Emang cukup Ong?”


“Yah, nanti diuasahinlah, harga diri.”


“Gila bener, si Teong,” ucap Teda sambil mengajak kawan-kawannya untuk mengaduk kembali semen yang telah mengering.


Waktu nampak berlalu begitu cepat. Binar matari beralih dengan temaram kilau cahaya kekuning-kuningan. Munculnya seorang penjual jamu menandakan waktu menunjukan pukul empat. Teong lekas-lekas membasuh kepalanya dan mengemasi barang bawaannya. Sore berlalu, temaram di ufuk timur tampak begitu cantik. Waktu santap datang. Segelas air minum dan tiga keping pisang goreng menemani Teong.


Hidangan terakhir di tanah rantau terasa hambar. Rasanya mulai getir setelah hampir sebulan perut dan mulutnya dididik untuk memaknai maksud secukupnya.


Di sebuah bangunan yang Teong sewa, ia tinggal seorang diri. Bertemankan seekor perkutut, ia menghadapi hari, bulan dan tahun. Sempat suatu ketika mendiang ayahnya berpesan agar memelihara seekor burung perkututnya bila ia memutuskan merantau.


Teong menikmati santapan dalam sepi di tengah ramai hilir mudik penghuninya yang menikmati waktu selepas magrib menjelang tarawih. Bocah-bocah berlari-lari bahagia, sambil berteriak setelah petasan yang sengaja ia nyalakan memekik menggema sepanjang gang di mana Teong tinggal.


Teriakan bocah-bocah itu mengingatkan adik dan sanak famili di kampung halaman. Tak hanya itu, gurauan bocah-bocah itu mengingatkan dirinya yang telah dimakan sang waktu. Namun, belum pula berjumpa dengan tulang rusuk yang dijanjikan.


Keheningan yang mengantarkan kepada perenungan terurai oleh ketukan pintu amat lirih. Teong memastikan bahwa pintunya yang diketuk oleh seseorang di balik pintu itu. 


“Ong, Teong.” Suara itu terdengar tak asing di daun telinganya.


“Eh, elu. Mari!” Teong membuka lebar pintu rumahnya. Semerbak bubuk petasan menyengat masuk ke ruang singgahnya.


Broto tampak aneh di setiap gerak-geriknya. Embusan napasnya tampak kurang beraturan. Lirikan matanya cukup sayu seakan ingin berucap. Sebuah rak botol minuman, namun dialihfungsikan menjadi kursi. Mereka berbincang. “Besok mudik?” tanya Teong mencoba memecah keheningan dan kekikukan temannya itu.


Seperti disetrum, Broto merangkai kata menyambung maksud mudik dengan perihal yang tengah ia hadapi. “Ong, gue mau minta tolong?” Broto berujar dengan lembut.


“Gimana emang?”


“Gini Ong, rumah kontrakan kena bobol maling,” ujar Broto dengan lesu.


“Serius?” Teong menghela napas. Ia menatap wajah Broto dan mengetahui kata selanjutnya yang bakal muncul.


“Iya Ong, uang itu rencana buat beli baju istri dan anak gue.” 


“Sudah lapor polisi atau Pak RT?”


“Yaelah, mana bisa balik duitnya Ong?” dengan lesu Broto berkeluh kesah. Sorot matanya tampak kacau. Segalanya tampak buyar. Teong hanya terdiam menantikan kalimat-kalimat yang bakal muncul.


“Ong, pinjem duit bisa buat mudik,” Broto memasang wajah memelas mengharapkan uluran tangan Teong.


“Sebelumnya, mohon maaf, gue cuma punya tiga ratus, selebihnya untuk kebutuhan di rumah.”


“Ya, sudah itu dulu saja. Bulan depan gue balikin Ong,” Broto menepuk-nepuk pundak Teda, memastikan uang pinjamannya itu akan kembali.


Teong berjalan menuju lemari. Ia meletakkan uangnya di bawah tumpukan baju, di mana di bawahnya telah dibikin seperti laci rahasia yang hanya dirinya  yang tahu. Sambil merogok laci dan pakaiannya, Teong ingin sekali berkeluh kesah. Meski demikian, ia harus menghadapinya. Sambil menarik tiga lembar uang, ia sedikit meremas baju-baju dengan menggegat keras rahangnya penuh kesal.


Tiga lembar uang menjulur mempertemukan dua tangan. Broto sumringah setelah ia dapat menggenggam uang itu. Mereka berjabat tangan kemudian bergumam menyoal hidup. 


Air muka Broto kembali segar. Ia seperti dibasuh oleh guyuran air dingin sewaktu subuh. Mulutnya bergoyang, lidahnya meliuk memunculkan kata. Teong mendengar dan merasakan. Kehilangan barang berharga itu menjengkelkan. Namun, ini bukan perkara hilang, akan tetapi kebutuhan.


Malam beringsut, suara lamat-lamat lantunan Qur’an menyeruak di sela-sela gang dan ranting pohon yang diam tak setitik pun bergoyang. Di atas amben yang berbahan busa keras, Teong membujur, tatapannya tertuju ke langit-langit yang di beberapa sisi muncul sarang laba-laba.


Esok pagi ia harus kembali ke rumah, menyaksikan keluarga kecil yang bakal ditelan oleh waktu. Segalanya nampak berlangsung begitu cepat. Setahun, dua tahun, lima tahun waktu yang cepat bagi seorang kuli bangunan menghadapi nasib di kota besar nan asing.


Meski demikian, ia tak pernah setitik pun menghabiskan waktu untuk berleha-leha. Teong ingin tenggelam bersama waktu agar tak dicap merugi. Saat terlentang menjemput tidur, terbesit seketika rasa, bahwa rasa kurang beruntung memang berada dalam dirinya. Di situlah Teong menyadari tentang rugi.


***


Stasiun kota sangat ramai pemudik. Mereka berjejal-jejal seperti sedang antre sembako. Dua kardus karton penuh dengan makanan lebaran. Karton satunya diisi oleh baju baru yang dibeli di pasar pinggir kota. Harganya tak begitu mahal. Meski demikian, pakaian itu dipandang mahal bagi keluarganya yang hidup jauh dari hingar-bingar.


Teong tergopoh-gopoh bersama barang bawaannya. Seorang porter menyuguhkan bantuan untuk membawa barangnya. Ia memasang wajah sopan penuh percaya. Terbesit perasaan ragu. Teong memutuskan agar barang itu tak luput dari genggamannya sedetik pun.


Suara peluit melengking, menandakan kereta melaju. Roda sedikit demi sedikit menderu merangsek menembus siang nan begitu terik. Teong duduk persis di samping pintu kereta. Ia duduk berhadapan dengan dua orang pria yang sibuk dengan kebisuannya.


Sepanjang perjalanan Teong menyaksikan rumah-rumah kumuh, bangunan megah dan lahan hijau riuh dengan kelir hijaunya. Saat ia menyaksikan tanaman yang menjulang dan hijau, ia kembali mengingat kampung halamannya.


Mendiang ayah Teong seorang tunawisma. Ia mengelola tanah milik camat ataupun pengusaha kaya yang berada di desa. Jerih payahnya itu untuk menghidupi keluarga. Terbesit perasaan sesal, tatkala desa tak lagi menggiurkan. Teong lebih tergiur dengan ucapan dari mulut ke mulut bahwa kota lebih menjanjikan.


Ia telah merasakan bagaimana menjadi kuli bangunan yang jauh dari keluarga yang ia cintai. Teong merasakan kantuk, matanya mengatup setengah sadar oleh gemuruh mesin kereta yang menderu. Beberapa kali ia terbangun oleh liukan dan deru mesin dan suara bocah yang menangis dengan nyaring.


Kurang lebih enam jam, Teong terlelap menyandarkan punggungnya. Terasa pegal di bagian tulang ekornya. Apabila ia berlama-lama tak mengaduk semen atau memecah batu, punggung, dan lengannya akan terasa pegal. Maka ia tak ingin libur terlalu lama. Baginya hidup adalah bekerja.


Setibanya di stasiun kota, Teong berjalan menghampiri bus yang menuju ke kampung halaman. Ia harus menghabiskan waktu perjalanan kurang lebih satu jam lamanya.


Di bus itu, Teong merasakan hal yang telah lama ia lupakan. Mengendarai angkutan umum menyaksikan para penumpangnya membawa kisa beserta ayamnya. Bahkan sempat terbesit dalam ingatannya, seekor anak kambing ikut pula menjadi penumpang berjejal dengan manusia.


Setibanya di rumah, Teong ingin meneteskan air mata. Namun ia alihkan pikirannya dengan hal-hal bahagia. Ibunya membuka pintu menampakan wajah berbinar meskipun rambutnya tampak tipis dan dipenuhi uban.


Perbincangan tak sehangat ketika Teong masih muda. Gelagat dan sikap terasa begitu canggung. Kelima adiknya, Robi, Elang, Dodi, Krisna, dan Siti mulai nampak dewasa. Mereka berselang-seling menanyakan kabar dan bertukar sapa.


Kursi reot yang dibikin dari rotan masih teronggok di ruang tamu. Suatu ketika, tempat itu jadi tempat mengobrol selepas magrib. Kedua orang tua Teong selalu menanyakan tentang cita dan harapan. Kini ia harus menyampaikan sejujurnya.


“Mak, maaf anakmu ini belum bisa kawin dan sugih.”


“Mamak, hanya mau kamu jadi manusia yang taat,” tukas Ibu Robi dengan muka kering dan keriput.


Teong menarik dua kardus yang ia letakan persis di samping kursi di mana ia duduk. Robi membantunya untuk membuka barang bawaannya itu. Kelima adiknya begitu bahagia. Barang dari kota dari seorang kuli bangunan itu membikin mereka berbahagia.


Lantunan takbir berkumandang. Deru bedug bergemuruh memekik di sela-sela kampung yang telah lama ditinggal penghuninya. Selepas Lebaran waktu yang murung. Teong berdiri di teras rumah. Waktu berjumpa dengan keluarga telah usai. Ia harus kembali menghadapi tanah rantau.


Teong harus bertemu kembali dengan aktivitasnya sebagai seorang kuli bangunan. Di tanah rantau tak ada waktu berleha-leha. Setiap detik, menit dan jam adalah kesempatan. Ia harus bekerja untuk menghidupi ibu dan kelima anaknya. Tak ada cara lain selain menghadapinya dengan keberanian berlapis-lapis.


_______

Penulis

M. Ghaniey Al Rasyid, Penulis Lepas, Pengkliping dan Penikmat Karya Sastra yang Berasal dari Batang, Jawa Tengah.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com




Thursday, May 8, 2025

Esai Mela Sri Ayuni | Kecintaan Liem Oei Ping kepada Seni dan Puisi

Esai Mela Sri Ayuni 



“Demi asr (masa/waktu)! Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman…” (Al-Qur’an Surah Al-Asr).

“Dunia itu buihnya, sedangkan akhirat itu lautnya.” (Jalaluddin Rumi, Matsnawi)


Liem Oei Ping, kelahiran 29 April 1941 di Sulawesi Tengah, berparas putih, sipit, dan berambut cepak. Di usianya yang terhitung berkepala delapan, masih tetap enerjik. Semasa di kampung halamannya, ia akrab disapa ‘Iping’, namun sekarang ia lebih dikenal dengan sebutan Pak Wiping. Laki-laki keturunan Tionghoa ini hijrah ke Kota Serang, Banten, pada era 1960-an. Tentu, ini tidak bisa lagi disebut perantau pemula. Pak Wiping memilih Kota Serang sebagai tempat pelabuhan terlamanya bukan atas dasar pilihan, melainkan karena jodoh. Di mana tempat yang bisa memberi rezeki, di situ ia akan berlabuh. Setiap yang bukan pilihan berarti itu jodoh.


Sore itu, Kota Serang cukup hangat, sekitar 32 derajat Celsius. Saya memenuhi undangan khusus dari Sastrawan Banten, yaitu Sulaiman Djaya atau lebih akrab disapa Kang Sudja, yang tak pelak lagi merupakan pertemuan awal saya dengan beliau, sekaligus perjumpaan awal saya dengan Pak Wiping dan persentuhan pertama saya pula menginjakkan kaki ke Toko Krakatau Royal. Dalam undangannya, saya diajak untuk menulis dan berdiskusi bersama Liem Oei Ping. Tempatnya di Lantai 4 Toko Krakatau Royal Serang. Saya datang sesuai jam undangan, yaitu pukul 4 sore. Namun begitu, saya tidak bisa menemui Pak Wiping secepat itu. Saya menunggu sekitar 40 menit untuk bisa berjumpa. Sebelumnya, saya bertanya kepada karyawan toko, ia mengarahkan saya untuk ke kantin toko. Saya paham niatnya, yaitu agar saya tidak bosan menunggu. Di sana, saya disuguhi camilan dan minuman. “Beliau sudah menerima tamu. Tunggu sebentar, ya. Bapak sedang istirahat,” ujarnya. Selama saya duduk di kantin, mata saya culamitan, melirik ke kanan dan ke kiri area toko itu. Sedikitnya ada satu puisi yang saya baca dalam hati dan kotak koran “Koran ini bisa dibaca dan dibawa pulang.”


Tak lama setelahnya, kami (saya dan Kang Sudja) dipanggil untuk bertemu Pak Wiping. Diskusi pun dimulai yang dipandu langsung Kang Sudja. Dalam hati kecil saya bicara, “Ini bukan diskusi. Lebih tepatnya, saya belajar langsung bersama guru besar.” Sebagai pengantar, Kang Sudja membacakan sebuah puisi yang berjudul “Sang Waktu” yang ditulis pada tahun 2003 (kemungkinan besar di tahun segitu saya belum bisa bicara, haha).


Sang Waktu


Tidak ada istilah waktu sekarang
Ada juga waktu masa lalu
Ada juga waktu yang akan datang.
Waktu saat ini terus menghilang
Menghilang dari detakan detik
Menit, jam, hari dan seterusnya.
Sang waktu tidak ada tempat
Persinggahan. Tidak pernah capek
Dan tidak pernah tidur.
Sang waktu terus mengawal kita
Sejak lahir ke bumi
Sampai ke liang lahat!

Liem Oei Ping – Serang, Banten, Mei 2003


Puisi di atas dengan jelas secara frontal mengarahkan kepada waktu, yaitu waktu masa lalu dan waktu yang akan datang. Di sini, tidak membicarakan waktu saat ini, dikarenakan waktu saat ini sedang berjalan dan tentu untuk mengantarkan ke waktu yang akan datang. Secara tersirat, Pak Wiping menuntun si pembaca untuk menghargai waktu yang diberikan oleh Sang Pemilik Waktu. Mengisi kekosongan waktu untuk memenuhi berbagai kegiatan positif agar manusia layak disebut sebagai manusia ideal. Jelas, ini menjadi PR bagi orang-orang berpikir: bagaimana cara kita memperlakukan waktu dengan sebaik mungkin, atau malah sebaliknya (ingkar pada waktu).


Sebetulnya, waktu bisa menyelamatkan dan membinasakan manusia tergantung respons dari manusia itu sendiri. Jika kita melirik lagi pada bagian terakhir bait puisi di atas, penulis secara spiritual mengajak kita untuk memenuhi waktu dengan kegiatan positif, supaya ketika kita sampai ke liang lahat, kita sudah siap menjumpai Dia Sang Pemilik Waktu tanpa ragu sehingga kita mendapatkan balasan yang pantas atas apa yang sudah kita kerjakan sewaktu di dunia. Bersyukur apabila kita mendapatkan keselamatan akhirat.


Setelah membaca kembali bait terakhir ini, seketika saya ingat kalam dari Jalaluddin Rumi (pujangga besar sufi keturunan Persia), yakni “Dunia itu buihnya, sedangkan akhirat itu lautnya.” Kalau kita kaitkan dengan puisi itu, terkadang, justru kita lebih fokus kepada buihnya daripada lautnya. Melupakan akhirat sampai lupa tidak mempersiapkan bekal untuk kepulangan. Hingga menurut beberapa kisah, banyak yang sudah dipanggil ke pangkuan-Nya, tetapi banyak di antara mereka yang lebih memilih untuk kembali lagi ke dunia, hanya untuk sekadar bersujud lagi pada-Nya. Ini menunjukkan kalau bekal yang mereka bawa, kurang!


Sependek yang saya kenal, selain Pak Wiping pandai menulis karya seni sastra berjenis puisi, ia juga orang yang berkeyakinan teguh. Hal tersebut saya temui ketika melihat bagaimana cara ia menghargai dan memuliakan tamu. Perilaku seperti ini sejalan dengan amar Islam.


Tidak hanya berhenti pada seni, Pak Wiping pun bergerak di bidang ekonomi dan bisnis sejak tahun 1967. Mendirikan toko kelontong bernama Toko Krakatau, berdiri kokoh di Jalan Raya Sultan Ageng Tirtayasa, Royal Serang, Banten. Konon, nama toko ini terinspirasi dari Gunung Krakatau yang dahulu pernah meletus hebat. Ia berharap, tokonya pun seperti Gunung Krakatau, hebat dan banyak pembeli yang berdatangan. Toko itu dicampur oleh beberapa pakaian ternama dari brand yang sudah masyhur di pasaran, seperti Levi’s, Amco, dan Lea. Uniknya, toko ini tidak pernah libur walau ada hari-hari besar apa pun. Di saat toko lain tutup, pasti pelanggan akan menyerbu Toko Krakatau. Ini merupakan bagian dari strategi marketing Pak Wiping untuk meraup keuntungan lebih banyak. Namun tetap, pegawainya mendapatkan cuti libur, izin sakit, dan izin keperluan keluarga. Walau Pak Wiping perantau dari Indonesia Timur yang berbeda etnis dengan warga pribumi, namun ia tetap memberikan kesempatan kerja bagi kaum pribumi. Ia tidak memandang etnis. Terbukti ketika saya mengunjungi tokonya sore itu, karyawan toko didominasi oleh orang lokal, asli Serang. Sungguh, ia memiliki jiwa toleransi.


Saya hampir lima tahun bergelut dengan Kota Serang, mulai dari kuliah hingga mendapat mata pencaharian di kota ini. Sesekali saya menyusuri kawasan Royal untuk memenuhi kebutuhan ataupun sekadar window shopping. Dari pagi hingga sore, di sana masih dipadati pengunjung. Bahkan sesekali kemacetan menghampiri, kawasan ini bagian dari paru-paru ibu kota. Tak heran kalau macet. Justru, dengan padat penduduk ini akan memberikan nilai jual kepada pedagang.


Seiring berjalannya waktu, toko-toko di sekitar Toko Krakatau milik Pak Wiping mulai bermunculan. Mulai dari butik, marketplace, hingga mal besar. Otomatis menjadi kompetitor baru dan PR untuk Pak Wiping menyusun rencana supaya terus bisa menjaga eksistensi tokonya di tengah toko-toko baru. Minatnya terhadap dunia ekonomi dan bisnis sangat besar. Tidak hanya mendirikan toko, tetapi ia juga mendirikan Rumah Hutan Cidampit, Kecamatan Taktakan, Serang.


Rumah Hutan Cidampit yang sudah memiliki rating bintang 4,5 di Google ini menjadi salah satu tempat favorit. Gagasannya yang kreatif membuat tempat rekreasi yang ramah lingkungan di tengah kota. Untuk bisa sampai ke tempat ini, pengunjung harus berjalan kaki sejauh dua kilometer. Walau begitu, ini tidak membuat para pengunjung kapok untuk datang lagi. Tempat ini menawarkan beberapa fasilitas menarik seperti rumah kayu, ketahanan pangan, sungai, tempat penginapan, hingga perpustakaan kecil. Ajaibnya, tempat ini ramah di kantong, hanya cukup membayar parkir saja. Tak perlu bayar masuk lagi. Mantap! Kapan lagi ada tempat rekreasi alam yang peduli literasi? Ini memang ide dari pemilik, karena memang kecintaannya terhadap dunia literasi dan seni cukup tinggi. Selain itu, tidak hanya ada perpustakaan, tetapi di tugu-tugu tertentu disediakan puisi dari Pak Wiping. Selama dua puluh tiga tahun saya hidup, baru kali ini saya menemukan pecinta seni berkedok pelaku ekonomi.


______

Penulis

Mela Sri Ayuni, warga kelahiran Cikeusal. Pegiat Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com

Friday, May 2, 2025

Puisi-Puisi Abdul Mukhlis

Puisi Abdul Mukhlis 




Kemarau Musim Lalu


Kemarau musim lalu, burung dara menepi.

Membaca baris demi baris sajak di pelupuk matamu sore itu.

Kau menulis tentang kerinduan pada kasih, pada bumi, pada malam, dan pada gerimis yang makin meronta

Lewat terowongan nada kaul-kaul meluncur deras menuju ruang sunyi

Kisah kasih, cerita bumi, tarian jari, dan sapuan gerimis:

menyatu menjadi ricik symphoni pelipur liris

Tapi aku tak tahu, sebab apa kau tak bicara tentang kemarau?

Mungkinkah kau marah pada kisah-kisah musim kemarau?

Pada panas, pada angin, dan pada bunga yang berguguran di musim itu?

Rupanya aku tak perlu tahu alasan-alasanmu

Kuharap jangan kau dewakan gerimis dan hujan terlalu berlebihan

sebab kemarau juga bagian dari hidupmu 


Batang, Permulaan 2024



Hujan di Musim Kemarau


Ricik air hujan seolah menjadi penolongmu waktu kemarau panjang.

hujaman rintik yang gemuruh menjadikan tubuhmu hilang:

bersama angin dan angan,

segenggam harap menjemput yang tercabut dari tanah.

____Sudahlah, kemarau ini milikmu, wahai Batu.

Anganmu tak usah jauh-jauh melayang. 

Apa kau ingat kala bulan musim hujan tiba?

Air-air tanah kau kuras dengan retas. 

Air-air keruh kau jadikan dia musuh.

Dan kini, ketika hujan pada kemarau panjang;

apakah kau menjadi berubah?


Batang, Permulaan 2024



Malam yang Pucat


Ada pesan tersirat pada semburat purnama.

Langit pucat tiba-tiba menjamah bumi yang tak diterangi; gelap jadinya.

Ada pesan yang ingin disampaikan malam kepada angin.

Ia tak mau lari dari kejaran rindu yang menggebu-gebu;

membuat bulu tengkukku seketika merinding.

Ada kata yang tak jadi diucap Rama kepada Sinta sewaktu berdua di taman Ayodya,

mereka saling diam;

menatap bulatnya purnama malam ini.


Batang, Permulaan 2024



Merakit Makna 


Kata tak ingin dijamah dengan kepalsuan

Tak ingin pula dicinta dengan keraguan

Seperti halnya kasih Rama kepada Sinta:

tak ada celah untuk dipisahkan

Lewat kata, rindu yang tersimpan rapat mampu terungkap

Dengan kata, cinta yang ringan menjadi berat

Pada kata, kutitipkan hangat kasih sebagai harap

Moga-moga kauterima cumbu rayuku dalam maknamu.


Batang, Permulaan 2024



Luruhnya Kenangan oleh Waktu


Pelan-pelan pedang waktu akan memamahmu

Dengan hunusan runcing yang memagut

Membelah bayang-bayang benak,

Pun mengoyak kerak kenangan. 

Lantas dicabutnya perlahan-lahan pedang itu dari cengkeraman tanganmu.

Butir-butir cerita mengalir deras lewat ujung bibirmu yang bergetar,

memancar lalu memudar ke tepian sepi.

Pelan-pelan pedang waktu akan menjemputmu

Dengan iring-iringan angka pada almanak,

Dengan tulisan yang terpajang pada dinding,

Dan dengan apa saja yang pernah kau pasrahkan pada waktu.

Lalu kau menerima semua tanpa menyalahkan bahwa ini akhirmu?


Batang, Medio 2024


______


Penulis


Abdul Mukhlis lahir di Batang. Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Tadris Bahasa Indonesia UIN Gus Dur Pekalongan. Sedang berusaha menghidupkan aksara lewat Klub Baca Pijar Pekalongan. Puisi, cerpen, dan esainya dimuat di majalah Papirus Solo, Radar Pekalongan, rahmatan.id, rahma.id, nuonline, omong-omong.com, kotomono.co, kumcer Kisah Putih Abu-Abu (IDM Publishing), antologi puisi Gelabah (Bukutujju Solo), dan media lain sejenisnya. 


Kirim naskah ke
redaksingewiiyak@gmail.com

Cerpen Aryasuta | Selamat Malam dari Kafe Astungkara

Cerpen Aryasuta




Aku masuk ke Kafe Astungkara dengan langkah pelan, seolah-olah setiap pijakan di trotoar berbatu kota Kediri membawaku ke sini. Kafe ini adalah sebuah ruang modern yang kecil, terletak di pojok jalan dengan jendela kaca besar yang memamerkan pemandangan kota. Dinding putih bersih dan interior minimalis menciptakan kontras yang menenangkan antara hiruk-pikuk dunia luar dan keheningan di dalam. Di balik kesederhanaan itu, ada keanggunan yang seolah mengundang setiap jiwa yang lelah untuk berhenti sejenak.


Aku memilih duduk di pojok ruangan, di mana cahaya alami yang menetes dari jendela besar menyinari mejaku. Laptopku terbuka, namun layarnya masih sunyi, seakan menunggu kata-kata yang tepat untuk mengisi kekosongan itu. Di dalam diriku, kegelisahan bercampur dengan keinginan mendalam untuk menemukan makna dalam setiap helaan napas—dan entah mengapa, semua itu selalu berputar pada sosok Rosa.


Aku pernah mencoba menulis banyak kalimat, tapi kata-kata selalu terhambat oleh keraguan dan keheningan batin. Suasana di sini bukanlah sepi, melainkan keheningan yang berbicara melalui gemerisik angin yang menyusup melalui celah pintu dan jendela. Di luar, suara kendaraan dan langkah kaki orang-orang yang terburu-buru tercampur dengan denting hujan yang mulai menyapa malam Kota Kediri.


Tiba-tiba, suara yang familier menyambutku. Dari balik meja, Om Bayu—pemilik kafe yang selalu tampak tenang dengan senyum sarkastisnya—berkata, “Kamu nulis cerpen eksistensialis atau sedang krisis eksistensi?”


Aku tersenyum tipis, merasakan ironi yang khas dari kata-katanya. “Nggak tahu. Mungkin keduanya, Om,” jawabku sambil menatap cangkir kopi yang baru disajikan ke meja.


Om Bayu, dengan gerakan lambatnya, menuangkan kopi ke cangkir porselen biru yang hampir selalu jadi saksi bisu kegelisahan dan keheninganku. “Kalau gitu, pastikan ceritamu punya tokoh yang sadar di mana dia berada—atau setidaknya mencoba,” ujarnya sambil mengangkat alis, seperti sedang memberi teka-teki halus.


Aku mengangguk, mencoba mencerna kata-katanya yang sederhana namun penuh makna. Di antara aroma kopi yang mulai tercium tajam, pikiranku melayang pada sosok Rosa. Di pojok ruangan yang agak redup, Rosa duduk dengan tenang. Ia tidak banyak bergerak; hanya sesekali mengalihkan pandangannya ke luar jendela besar, seakan menikmati permainan bayang-bayang yang tercipta oleh cahaya malam.


Aku selalu terpesona dengan kehadirannya. Rambutnya yang hitam pekat tertata rapi, dan pakaian yang dikenakannya—sesuatu yang klasik namun tak lekang oleh waktu—membuatnya tampak seperti potret yang diambil dari majalah Vogue. Namun, ada sesuatu yang membuatnya berbeda: kesunyian yang melingkupinya, seakan-akan dia menyimpan rahasia yang hanya bisa dipahami oleh hati yang terluka.


Entah mengapa, setiap kali mataku bertemu dengan matanya, hatiku bergetar dengan pertanyaan tanpa jawaban. Aku mulai membayangkan: apakah Rosa seorang penulis feminis progresif di Magdalene, atau mungkin seorang aktivis liberal yang sedang menyembunyikan identitasnya? Atau, mungkinkah dia hanyalah pantulan dari ilusi yang kerap menghantui pikiranku?


Saat aku tenggelam dalam renungan itu, tiba-tiba Rosa menutup laptopnya dengan perlahan dan menoleh ke arahku. Tatapannya singkat, tapi intens—seperti seberkas cahaya yang masuk ke kamar di tengah malam. Tanpa banyak basa-basi, ia mengirimkan senyum tipis, lalu kembali tenggelam dalam pikirannya. Aku merasakan sesuatu yang aneh—sebuah getar lembut yang merambat dari ujung jari hingga ke tempurung kepala.


Aku terdiam beberapa saat. Di dalam benakku, suara Om Bayu kembali terdengar, “Kalau kamu mau tahu, tanya saja langsung.” Kata-kata itu menggema di antara dentingan sendok dan halusnya alunan musik latar yang mengisi ruang kafe. Aku merasa seperti berada di ambang keputusan penting—antara mengungkapkan kegelisahan yang selama ini tersembunyi atau membiarkan semuanya tetap sebagai misteri.


Dengan langkah perlahan, aku bangkit dari kursi. Langkahku terasa berat dan canggung, seakan-akan aku adalah model amatir yang sedang berjalan di atas runaway "Paris Fashion Week". Setiap gerakan tubuhku terasa seperti tarian tanpa irama, namun aku tahu, ini adalah langkah untuk menemukan jawaban.


Aku mendekati meja Rosa dengan perasaan campur aduk antara gugup dan penasaran. Di saat itu, waktu seolah melambat. Setiap detik terasa seperti kisah yang sedang ditulis ulang—kisah tentang pertemuan, keraguan, dan keinginan untuk memahami sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.


“Kamu sering datang ke sini, ya,” ujar Rosa dengan nada yang datar namun mengandung tanya. Suaranya tidak berlebihan; ia hanya berkata begitu, namun setiap kecapan mulutnya membawa nuansa kesendirian dan keinginan untuk dimengerti.


Aku menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kamu juga. Aku selalu merasa kamu seperti intel yang sedang menyamar,” kataku pelan, seolah-olah setiap kata adalah pengakuan dari rahasia batinku.


Rosa tersenyum samar, seolah-olah ia mengerti maksudku tanpa perlu penjelasan lebih lanjut. “Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?” Matanya menatap tajam namun penuh kelembutan.


Aku menatap ke arah cangkir kopi yang perlahan mendingin, merasakan betapa waktu berjalan tanpa ampun. “Aku penasaran soal kamu. Kamu bukan ilusi, kan? Kamu tahu, aku sebenarnya ada spektrum skizofrenia,” jawabku dengan suara hampir tenggelam oleh rintik hujan yang mulai mengetuk jendela besar di belakang kami.


Rosa diam sejenak, kemudian berkata, “Kamu tahu, kadang seseorang hanya eksis dalam imajinasi orang lain. Mungkin kamu melihat sesuatu yang sebenarnya hanya ada dalam pikiranmu.”


Kata-kata itu membuatku terdiam. Aku mencoba mencari-cari arti di baliknya, tetapi seolah-olah dunia di sekitar kami berubah menjadi kanvas yang penuh dengan lukisan abstrak.


Suasana kafe yang minimalis tiba-tiba terasa lebih hidup. Aku merasakan getaran halus dari lantai ubin yang dingin, aroma kopi yang melayang, dan detak jantung yang mulai berdetak lebih cepat. Di antara keheningan itu, aku mendapati diriku tersedu-sedu, bukan karena kesedihan yang mendalam, tapi karena kekaguman pada keindahan momen yang begitu rapuh.


Di tengah percakapan, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk. Aku memalingkan pandanganku dan melihat seorang barista dengan tatapan tenang menyajikan minuman ke meja lain. Semua detail kecil—suara mesin kopi yang berdengung, refleksi lampu neon pada jendela kaca besar, bahkan cara gerak tangan Om Bayu yang lambat—menjadi saksi bisu dari pertemuan yang tak terduga ini.


Rosa kemudian berkata, “Kamu percaya takdir?”


Aku mengangguk pelan. “Aku percaya, atau mungkin aku terlalu religius untuk tidak percaya,” jawabku, mencoba menyesuaikan nada suara yang mulai bergetar karena emosi.


“Maka, menurutmu, apakah aku hanya hasil dari skizofreniamu?” tanyanya sambil menatap keluar jendela, seolah mencari jawaban di antara gemerlap lampu Kota Kediri yang mulai menyala satu per satu.


Aku tersenyum getir. “Aku ingin percaya kalau kamu mungkin hanya ilusi, setidaknya aku jadi tidak terlalu malu sekarang.”


Rosa mengangguk perlahan. “Kadang, aku merasa dunia ini membuat kita bertemu dengan orang yang terlalu sempurna, sampai kita sendiri merasa itu hanyalah ilusi aja.”


Aku terdiam. Aku tidak tahu apakah aku mendengar kebenaran atau hanya seuntai kebetulan yang menyatu dengan imajinasi.


Setelah beberapa saat, Rosa berdiri. Langkahnya ringan, hampir seperti akan menghilang di antara bayang-bayang interior kafe yang minimalis. “Sampai jumpa,” ucapnya dengan suara lirih, namun penuh kepastian.


Aku terdiam, mencoba menyimpan setiap detil dari pertemuan singkat itu. Apakah aku akan benar-benar melihatnya lagi, atau hanya dalam fragmen ingatan yang perlahan pudar?


Aku kembali ke mejaku, mendapati layar laptop yang dulu terasa kosong kini terisi dengan satu kalimat yang kutuliskan dengan jari gemetar:


"Seseorang datang, duduk di hadapanku, lalu menghilang—meninggalkan jejak yang hanya bisa kuduga dalam keheningan pikiranku. Aku ingin percaya dia adalah takdir yang dunai kirimkan, bukan sekadar ilusi yang tercipta dari rasa kesepianku."


Om Bayu muncul di dekatku, membawa secangkir kopi baru. “Tamu aneh, ya?” katanya sambil mengamati dengan tatapan tajam yang sudah menjadi ciri khasnya.


Aku menatapnya, mencoba membaca maksud di balik kata-katanya. “Mungkin aku, atau mungkin dia… bisa jadi dua-duanya, Om,” jawabku dengan nada setengah bercanda, setengah serius.


Di luar, hujan semakin deras, menambah irama alami pada malam yang kian larut. Aku merasa seolah-olah setiap tetes air yang jatuh di kaca besar itu menciptakan simfoni sunyi, menyuarakan kerinduan dan harapan yang tak terungkap. Kota Kediri tampak seperti sebuah dunia lain, penuh dengan ilusi yang menunggu untuk terungkap takdirnya.


Aku menutup laptop, merasakan perasaan campur aduk antara kelegaan dan kerinduan yang mendalam. Setiap pertemuan, sekecil apa pun, telah menggoreskan sesuatu di dalam diriku. Aku berjalan keluar dari Kafe Astungkara dengan langkah yang pelan namun pasti, membawa kisah yang baru saja terukir di antara kerinduan dan kenyataan.


Saat aku melangkah di trotoar, di bawah pancaran lampu jalan yang temaram, bayanganku bergabung dengan bayangan kota. Aku tak lagi merasa sendiri. Meskipun Rosa telah menghilang, percakapannya, senyum tipisnya, dan perkataan anehnya tetap menggema di dalam hatiku—mengajakku untuk terus mencari makna dalam setiap detik kehidupan.


Aku tahu, di balik keheningan dan kesendirian, selalu ada potensi untuk menemukan diri sendiri. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan menulis kembali tentang pertemuan ini, bukan hanya sebagai cerita tentang seorang wanita misterius, tapi sebagai refleksi dari setiap jiwa yang berusaha bertahan di antara bayangan dan cahaya.


______

Penulis


Aryasuta, karyawan swasta di Kota Kediri, kembali menyelami dunia kepenulisan setelah sekian lama tersesat dalam rapat tanpa akhir dan spreadsheet yang misterius. Pernah menerbitkan buku saat kuliah dan menulis untuk beberapa media, ia sempat berhenti menulis demi mengejar hal-hal yang katanya "lebih realistis"—hingga sadar bahwa realitas butuh sedikit bumbu fiksi. Kini, dengan semangat baru, ia berkomitmen menulis satu plot setiap hari, meski beberapa di antaranya hanya tercatat di notes ponsel sebelum tidur. Instagram: @tulisajaduluya


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com

Tuesday, April 29, 2025

Sosok Inspiratif | Asep Saya Hidayatullah | Penggerak TBM Al-Latif Mandalawangi Pandeglang



Asep Saya Hidayatullah, akrab disapa Kang Asep, lahir di Pandeglang pada 17 April 1994. Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, tumbuh di lingkungan petani sederhana yang menanamkan pentingnya pendidikan kepada seluruh anak-anaknya. Sejak kecil, Kang Asep telah diarahkan untuk belajar tanpa henti hingga ke jenjang perguruan tinggi.


Perjalanan pendidikannya dimulai di SDN Curuglemo 2. Setelah lulus, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Al-Munawwarah Cilegon, menyelesaikan pendidikan di MTs, SMA, hingga akhirnya kuliah di STKIP Banten, Serang. Sejak masa sekolah, Kang Asep aktif di berbagai organisasi: Pramuka, OSIS, PMR, Paskibra, hingga menjadi atlet Pencak Silat yang mengharumkan nama pondok pesantren hingga tingkat nasional.


Saat kuliah, jiwa sosialnya terus berkembang. Ia menjadi relawan Korps Sukarela PMI Kota Serang, mendirikan dan memimpin KSR STKIP Banten, ketua pertama Forum Remaja Banten, Founder Gerakan Literasi Masyarakat Pandeglang (GELIMANG) yang dididirikan pada tahun 2022 dan saat sebagai Ketua Forum Kabupaten Pandeglang, dan Pengurus PC GP Ansor Kab. Pandeglang. Setelah lulus, ia mewujudkan cita-citanya sebagai guru di MIN 2 Pandeglang.


Namun, perjuangannya untuk dunia pendidikan tak berhenti di situ. Melihat minimnya fasilitas literasi di kampung halamannya, Kang Asep pun berinisiatif mendirikan sebuah taman bacaan, yang kemudian dinamai TBM Al-Latif Mandalawangi.


Mari berkenalan jauh dengan TBM beliau!



1. Kapan TBM Al-Latif ini didirikan, Kang? Apa latar belakang dan makna filosofis dari nama TBM tersebut?


Taman Bacaan Masyarakat Al-Latif Mandalawangi berdiri pada 27 Oktober 2019. Latar belakang pendirian TBM ini adalah kegelisahan terhadap kondisi literasi di Kampung Cigobang, RT 003 RW 002, Desa Curuglemo, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Kesadaran literasi dan fasilitas pendidikan sangat minim, belum ada wadah untuk pengembangan minat, bakat, dan pembinaan karakter masyarakat. Saya berinisiatif mendirikan TBM ini untuk membantu masyarakat dan pemerintah dalam meningkatkan literasi, pendidikan, serta membentuk generasi yang berkualitas.


Makna Filosofis Nama Al-Latif:

  • Al-Latif berarti Maha Lembut. Harapannya, TBM ini dapat membina dan mendampingi anggota/masyarakat dengan kelembutan, tanpa tekanan, sehingga mereka belajar dengan nyaman sesuai karakter dan cita-citanya.

  • Warna dasar putih: Melambangkan kesucian.

  • Lingkaran hitam: Melambangkan ilmu yang luas dan kekal.

  • Pena: Melambangkan bahwa ilmu harus terus dipelajari.

  • Buku: Melambangkan jendela dunia, sumber ilmu pengetahuan.

  • Orang berwarna merah: Melambangkan semangat dalam berliterasi.

  • Orang berwarna ungu: Melambangkan keceriaan dalam berliterasi.

  • Orang berwarna hijau: Melambangkan kedamaian dan keseimbangan dalam pengembangan kemampuan.




2. Apa sih Kang kegiatan unggulan di TBM Al-Latif dan apa dampaknya bagi masyarakat?


Kegiatan Unggulan:

  1. Bimbingan karakter dan budi pekerti.

  2. Diskusi dan sosialisasi minat baca.

  3. Bimbingan belajar keagamaan dan umum.

  4. Pelestarian budaya dan kearifan lokal.

  5. Minggu CERIA (Cerdas, Ceria, Religius): Membaca buku, tahfiz Qur'an, pidato, latihan seni, pencak silat, olahraga, dan hasta karya.

  6. Santunan anak yatim, duafa, dan lansia.

  7. SILATIF (Silaturahmi TBM Al-Latif): Sosialisasi literasi melalui kunjungan ke masyarakat dan lembaga pendidikan.

  8. Gebyar Milad TBM: Peringatan tahunan dengan pentas seni, santunan, diskusi literasi, dan penghargaan untuk anggota berprestasi.

  9. Pengabdian kepada masyarakat melalui pendampingan belajar, sosialisasi, dan kolaborasi dengan sekolah, kampus, dan lembaga lain.

  10. Pembangunan fasilitas masyarakat, seperti sarana air bersih dan tempat wudu.

  11. Peringatan hari besar Islam melalui ngaji bersama dan lomba keagamaan.

  12. Peringatan hari besar nasional seperti upacara kemerdekaan dan lomba nasionalisme.

  13. Saba Petani: Praktik bertani dan sosialisasi literasi di kebun dan sawah.

  14. KOBUKA (Kolaborasi Terbuka): Kolaborasi dengan mahasiswa, peneliti, dan berbagai komunitas.

  15. SEMESTA (Seminar Edukasi Bersama TBM Al-Latif): Edukasi untuk relawan dan masyarakat.


Dampak Sebelum dan Sesudah TBM Berdiri:

  • Sebelum: Minim kegiatan literasi, kurang percaya diri berbicara di depan umum, ketergantungan pada gawai, dan pola belajar yang tidak teratur.

  • Sesudah: Meningkatnya minat baca, keberanian berbicara di depan umum, keterampilan sesuai karakter, banyak prestasi di sekolah, berkurangnya ketergantungan pada gawai, dan tersedianya sumber ilmu.




3. Dalam setiap komunitas, pasti ada problem khusus. Apa kendala TBM ini dan bagaimana cara mengatasinya, Kang?


Kendala:

  • Rendahnya kesadaran literasi masyarakat dan pemerintah.

  • Fasilitas yang belum memadai; kegiatan masih dilaksanakan di teras rumah.


Cara Mengatasi:

  • Membangun silaturahmi dan sosialisasi dengan tokoh agama, masyarakat, dan pemerintah.

  • Merekrut pengurus dan relawan (RELATIF).

  • Melakukan pembinaan literasi secara berkelanjutan.


Intervensi:

  • Awalnya, masyarakat kurang memahami manfaat TBM dan khawatir dengan kegiatan baru.

  • Namun, setelah berjalan, mereka merasakan dampak positifnya, sehingga perlahan penerimaan masyarakat meningkat.




4. Apa harapan jangka pendek dan jangka panjang TBM ini, Kang?


Harapan Jangka Pendek:

  • Meningkatnya literasi masyarakat.

  • Membuat antologi puisi untuk relawan dan anggota TBM.

  • Dukungan regulasi dan anggaran dari pemerintah untuk kegiatan literasi.


Harapan Jangka Panjang:

  • Membangun saung atau gedung untuk TBM Al-Latif.

  • Memfasilitasi beasiswa bagi anggota TBM.

  • Menyediakan laboratorium komputer untuk literasi teknologi.

  • Meningkatkan program santunan sosial berbasis literasi.




5. Terakhir, mungkin Kang Asep bisa kasih tips dan pengalaman bagi para calon pendiri TBM di mana pun berada!


Banyak orang yang ingin mendirikan TBM merasa terhambat karena tidak ada buku, tempat, atau dukungan. Ingatlah, kegiatan literasi tidak harus bergantung pada fasilitas lengkap. Mulailah dari apa yang ada, misalnya sosialisasi lingkungan. Niatkan dengan sungguh-sungguh, lakukan aksi nyata. Buku dan fasilitas lainnya akan mengikuti seiring perjalanan.


Pesan untuk pegiat literasi:

  • Niatkan hati dengan ikhlas.

  • Bergerak dan jangan berhenti walau menghadapi rintangan.

  • Sabar dan ikuti alur kehidupan seperti menyusun puzzle.

  • Bangun ekosistem positif untuk kesuksesan jangka panjang.

  • Jangan ragu untuk bergerak; lawan keraguan itu!



TBM Al-Latif sangat terbuka untuk semua kalangan, dengan konsep pembelajaran inovatif, kreatif, cinta budaya, kolaboratif, cerdas, ceria, dan religius.


Salam silaturahmi!
Yuk, mampir ke Instagram kami: @tbmallatif


_______

(Penanya: Encep Abdullah)