View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Saturday, October 18, 2025

Resensi Kabut | Gelandangan di Tatapan Orde Baru

Oleh Kabut



Di Jakarta, kita bisa menemukan presiden. Di situ, ada para menteri yang menghuni rumah-rumah bagus. Yang pernah ke Jakarta mengetahui bahwa para jenderal, pengusaha, dan artis ada di sana. Mereka memiliki lakon hidup yang sukses, yang membuat jutaan orang memuji dan iri. Jakarta, tempat bagi orang-orang penting.


Siapa lagi yang ada di Jakarta? Percayalah di sana ada para seniman yang membuat Jakarta berlimpahan keindahan. Mereka yang merayakan imajinasi. Ada pula kaum intelektual yang otaknya selalu bekerja seolah dunia harus bisa dijelaskan lengkap. Jakarta menjadi ruang hidup bagi arus imajinasi dan ilmu.


Apakah kota besar itu masih memiliki ruang untuk sosok-sosok yang jarang dimuliakan? Benar! Jakarta itu tempat berkeringat bagi buruh. Jakarta pun memuat tokoh-tokoh yang menjadi momok pemerintah. Mereka adalah gelandangan, pengemis, pencuri, pencopet, dan lain-lain.


Jakarta dihuni jutaan orang yang berbeda predikat. Mereka merasa memiliki Jakarta dengan beragam kepentingan dan kutukan. Yang berlimpah uang dan berkuasa menganggap Jakarta adalah sumber kemenangan yang tidak usai. Bagi yang melarat dan sekarat, Jakarta adalah kota yang tidak memberi berkat meski hanya secuil. Jakarta menjadi kota yang keseringan menyediakan derita, tangisan, ketakutan, murung, dan putus asa.


Kita akan menuju Jakarta, bukan bertemu presiden, menteri, pengusaha, atau artis. Yang kita temui adalah para gelandangan. Kita ke Jakarta tidak naik kereta api, bus, atau truk. Kita ke sana dengan “naik” buku. Yang menjadi “sopir cerita” adalah M. Sobary. Ia menggubah cerita berjudul Dalam Pengejaran: Kisah Dua Anak Gelandangan (1985). Buku yang mungkin membuat rezim Orde Baru tercoreng.


Cerita yang bertokoh gelandangan berarti tidak mengakui janji Soeharto yang mau menjadikan Indonesia makmur dan sejahtera. Novel untuk anak dan remaja yang tidak menampilkan teladan kesuksesan politisi, pengusaha, tentara, atau artis. Anggap saja buku itu menyingkap aib-aib pembangunan nasional tapi mengingatkan juga keruwetan pada masa kekuasaan Soekarno masa 1960-an.


Kita wajib mengenalkan dulu M. Sobary. Yang rajin mengikuti koran, majalah, dan jurnal mengetahuinya sebagai intelektual. Ia biasa menulis artikel atau kolom pelbagai tema. Yang menjadi pijakan adalah kebudayaan. M. Sobary tak sekadar intelektual yang sanggup membahas tema-tema besar dan berat. Buku-bukunya membuat kita kagum. Pada masa menua, ia menulis disertasi mengenai petani dan tembakau. Ia terlibat dalam polemik rumit mengenai tembakau. Pada masa makin tua, ia mudah marah-marah. Pemicunya adalah mantan presiden, yang pernah berkuasa di Indonesia selama sepuluh tahun.


Jadi, orang-orang mengenalinya sebagai intelektual tangguh. Yang mengingatnya sebagai penulis cerita anak cuma sedikit orang. Padahal, M. Sobary saat masih muda termasuk yang rajin dan terhormat dalam kesusastraan anak di Indonesia. Kita menemukan novelnya yang berjudul Dalam Pengejaran: Kisah Dua Anak Gelandangan (1985) yang diterbitkan BPK Gunung Mulia. Beruntungnya, buku itu mendapat beberapa ilustrasi buatan Syahwil.


Jakarta yang diceritakan M. Sobary adalah Jakarta yang dicipta oleh para gelandangan, kaum miskin, dan kubu terpinggirkan. Ingat, yang ditulisnya adalah cerita, bukan makalah untuk seminar atau artikel yang dimuat di jurnal Prisma.


Kita berada di Jakarta masa lalu: “Sebuah truk meluncur di jalan beraspal di depan stanplat bus Blok M. Mesinnya berdengung, menderu-deru. Truk itu membelok ke kanan, ke kiri, lalu ke kanan lagi. Mendadak truk itu berhenti di belakang sebuah percetakan. Tiba-tiba beberapa petugas berloncatan turun. Orang-orang gelandangan yang tidur di rumah-rumahan plastik di sepanjang emper gugup melarikan diri. Tapi, para petugas yang gesit menangkapnya.”


Yang disampaikan adalah “geram” pemerintah mengetahui kaum gelandangan yang bikin Jakarta cemar. Jakarta bukan tempat untuk orang-orang kotor dan tidak berpenghasilan. Gelandangan itu menghina Jakarta. Artinya, pemerintah dituduh tidak mampu mencipta sejahtera dan bahagia untuk rakyat.


Kota harus dibersihkan agar indah. Yang mengotori adalah gelandangan. Konon, pemerintah menyelesaikan masalah melalui penangkapan, pembinaan, dan pengiriman ke lahan transmigrasi. Pemerintah yang ingin diakui bijak tapi biasanya gagal dengan kalimat-kalimat yang dibuatnya dalam “membasmi” gelandangan.


Anak-anak yang membaca novel berjudul Dalam Pengejaran pelan-pelan mengasihani para gelandangan. Anak-anak yang mendapat banyak pelajaran di sekolah itu merasa terjadi pembohongan. Di buku-buku pelajaran, pemerintah menunaikan kerja besar yang mau mengubah Indonesia menjadi negara maju. Yang diajarkan adalah keberhasilan pemerintah yang bertajuk pembangunan nasional. Di novel, anak-anak menemukan pemerintah yang “kejam” terhadap para gelandangan. Indonesia mustahil makmur. Jutaan orang terlalu sulit bahagia. Mereka sering gagal memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan.


Dua anak geladangan dalam cerita bernama Udin dan Toto. Mereka seperti menjalani takdir penderitaan. M. Sobary menghadirkan dua tokoh agar para pembaca mengetahui apesnya anak dan remaja di Jakarta. Mereka tidak berada dalam keluarga mapan. Mereka biasanya terkena dampak dari kutukan-kutukan dipengaruhi kekuasaan, yang menempatkannya sebagai kaum gelandangan, yang selalu menjadi sasaran pembasmian pemerintah.


Udin dan Toto adalah pengisahan kegagalan-kegagalan dalam pembangunan nasional. Janji-janji besar Soeharto tidak terbukti. Kita berkenalan dengan “tumbal” pembangunan nasional: “Sekiranya ayah dan ibu Udin masih ada, mungkin sekarang ini dia masih bisa sekolah. Tapi, ayahnya telah lama meninggal. Dan, ibunya, meninggal dua tahun yang lalu. Udin terpaksa berhenti sekolah di kelas tiga. Udin terlantar. Ia mengemis makanan di restoran-restoran, tidur di emper toko, dan akhirnya bertemu Toto di Blok M. Nasib Toto lain lagi. Ibunya juga telah meninggal. Ayahnya masih ada tapi sudah beristri lagi. Toto tak mau tinggal dengan ibu tiri. Sering ia lari dari rumah… Suatu kali ia lari jauh-jauh dan berkumpul dengan kaum gelandangan. Sejak itu ia tak pernah bertemu ayahnya lagi.”


Biografi kaum gelandangan mudah membuat kita prihatin, marah, kecewa, dan malu. Mereka hidup di Indonesia tapi bernasib buruk. Kesalahan dan pengabaian telah terjadi yang mengakibatkan penguasa tidak mampu menyelamatkan mereka dari derita setiap hari. Derita yang kadang makin membesar dan menebal di Jakarta.


Ingatlah, Toto dan Udin bukan manusia bodoh. Mereka punya pengetahuan. Kebaikan-kebaikan pun diwujudkan oleh mereka dalam situasi hidup yang tidak keruan. Mereka berani bekerja serabutan asal mendapat nafkah atau makanan. Penampilan lusuh dan buruk tidak bisa menutupi keluguan, kebaikan, dan kecerdikan. Mereka tidak seperti anggapan pemerintah yang melulu mengecapnya sebagai momok dan kotor.


M. Sobary menampilkan dua gelandangan yang mengetahui nilai-nilai kebaikan. Mereka mengenal sosok-sosok yang sering membantu dan memberi makanan. Kebaikan-kebaikan ditiru dan dipelajari dalam wujud-wujud yang berbeda. Di Jakarta, mereka berpindah-pindah tempat agar tidak tertangkap dan belajar kepada orang-orang baik yang bekerja sebagai pedagang dan buruh. Sosok di birokrasi atau kemonceran pengusaha belum dijadikan panutan.


Pada suatu hari, Udin dan Toto mengetahui tokoh panutan yang bernama Bang Usup ditangkap polisi dengan tuduhan pencurian. Mereka tahu polisi salah tangkap. Bang Usup tetap masuk penjara. Dua gelandangan yang berani menjenguk ke penjara agar Bang Usup tabah. Mereka pun menjadi pihak yang ikut menyingkap kebenaran atas kasus pencurian. Kesaksian mereka menentukan kebebasan Bang Usup.


Nasib dua anak gelandang itu tidak pernah dipastikan menghasilkan bahagia. Akhirnya, mereka ada dalam genggaman pemerintah. Pihak dinas sosial mengirim mereka ke panti asuhan.


Cerita berakhir indah. M. Sobary tidak mau membuat pembaca marah dan menyesal. Maka, akhir yang membahagiakan sengaja dibuat agar novel itu tidak dilarang oleh rezim Soeharto. Yang diceritakan seperti meralat kebijakan pemerintah, yang ujung-ujungnya dianggap benar: “Segala kesulitan hidup yang dulu harus diatasinya sendiri, tiba-tiba saja sekarang serba tersedia. Tempat tinggal yang besar, bersih, dan rapi. Makanan dan pakaian yang selalu tersedia. Mereka akan dapat bersekolah kembali.” M. Sobary adalah pengarang yang baik, mampu memberi kritik tapi sadar untuk ikut membentuk opini keberhasilan Orde Baru.


“Hidup mereka ternyata tidak hanya berisi tangis dan sedih, melainkan juga tawa,” renungan yang disampaikan M. Sobary. Kita yang membaca diharapkan lega, batal untuk keseringan menggugat atau melawan pemerintah. Dua gelandang terbukti berubah nasibnya. Namun, berubah itu dalam cerita.


_________


Penulis


Kabut, penulis lepas.



redaksingewiyak@gmail.com 


Thursday, October 16, 2025

Esai Mela Sri Ayuni | Surat Terbuka untuk KUA

Oleh Mela Sri Ayuni



“Kapan nyusul?”


Itulah pertanyaan keramat yang sering orang-orang tanyakan kepada saya. Mereka melontarkannya dengan wajah penuh absurditas. Seperti meledek, tapi untungnya saya tidak mudah baper. Saking akrabnya dengan pertanyaan semodel itu, anggap saja angin lewat.


Di usia kepala dua saat ini memang sedang rawan-rawannya menjalani hidup. Rawan ditanya “kapan lulus”, “kapan nikah”, “kapan jadi PNS”, dan “kapan lainnya”. Baik buruknya hidup dinilai sekaligus, seolah-olah tidak boleh gagal dalam pencapaian. Kalau berhasil jadi buah bibir, kalau gagal—sama saja. Tidak ada bedanya. Saya merespons dengan wajah datar, walau sebetulnya selalu berhasil bikin mikir: mikir mau jawab jujur atau bohong. Di sisi lain belum siap, dan bisa jadi juga belum mempersiapkan.


Berbicara mengenai pencapaian—baik itu dalam prestasi, karier, maupun pernikahan—anak muda ingin menjalani roda kehidupan dengan selow. Orang-orang masa kini menyebutnya aliran stoikisme. Paham ini mengajarkan pengendalian diri, kebahagiaan, dan cara mengelola stres dalam menjalani hidup.


Di lingkungan masyarakat, seseorang bisa dikatakan ideal apabila ia sudah percaya diri dalam menjawab berbagai pertanyaan. Salah satunya mengenai pertanyaan “kapan nikah”. Seperti yang dilansir dari kumparan.com, pernikahan di Indonesia mencapai tingkat terendah dalam satu dekade terakhir.


Saya sebagai salah satu anak muda yang berkontribusi dalam prestasi negeri ini hanya bisa tersenyum tipis. Tidak bisa berkata banyak. Cemas dan canggung dalam mengekspresikannya. Ditambah beberapa waktu lalu, saya menemukan celotehan dari seorang bapak penghulu KUA di Instagram:


“Anak kelahiran 1995 sampai 2004, kapan kalian menikah? Jangan asyik sendiri! Dari kemarin yang daftar anak kelahiran 2005 terus.”


Bapak, Ibu, Om, Tante, bukannya kami tidak ingin menyegerakan niat baik, tetapi realitanya banyak pasangan yang justru menginspirasi kami untuk sendiri sedikit lagi. Pertumbuhan angka kawin-cerai yang semakin marak, serta kehidupan pascamenikah yang jauh dari ekspektasi. Maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, krisis ekonomi keluarga, dan perbedaan pola pikir yang bikin selisih, membuat kami malas memikirkan pasangan, apalagi menikah.


Apesnya, pada tahun 2022 lalu, saya menginjakkan kaki pertama kali ke Pengadilan Agama Kelas 1A Kota Serang. Niat hati sekadar observasi untuk merampungkan tugas kuliah, tetapi malah bikin saya syok. Saat itu, ada sepasang suami-istri muda menjalani sidang, ditemani kuasa hukum masing-masing. Sebelum dimulai, hakim memberikan pilihan kepada pemohon agar sidang dilaksanakan secara tertutup atau terbuka. Tak lama, pemohon memilih untuk sidang terbuka.


Setelahnya, apa yang terjadi? Seorang suami menjatuhkan ikrar talak di bawah kitab suci Al-Qur’an kepada istrinya. Lalu dikabulkan oleh hakim.


“Hore!” ungkap si suami dengan gembira, ditemani beberapa anggota keluarganya. Mereka terlihat bahagia.


Selang sepersekian detik, istri sah itu kini berubah status menjadi mantan istri. Ia hanya mengelap pipinya. Uniknya, dalam kasus ini si suami mengizinkan sidang dilaksanakan secara terbuka dan dibuka untuk umum. Padahal ini perkara intim. Bisa saja sidang dilaksanakan secara tertutup. Tentu hal ini membuat hati saya semakin mantap menjomlo sedikit lagi. Saya yakin kasus perceraian ini tidak dilatarbelakangi faktor ekonomi. Mereka berasal dari keluarga kelas menengah atas. Hal itu terlihat dari termohon yang menuntut haknya senilai 40 juta rupiah.


Pernikahan bukan hanya tentang komitmen dengan seseorang, tetapi juga komitmen atau perjanjian agung antara seseorang dengan Tuhannya. Ijab kabul yang diucapkan disaksikan dan dicatat langsung oleh malaikat. Tidak sembarangan. Dengan menikah berarti kita sudah siap menambah prioritas baru—dan masalah baru. Kalau belum siap, jangan ke KUA. Sabar dulu. Kalau ujung-ujungnya akan memenuhi Pengadilan Agama, lebih baik pikirkan matang-matang.


Perlu banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum menikah. Kalau perlu, buat perjanjian pranikah dengan calon pasangan untuk meminimalisasi distraksi dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Konsekuensinya bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat.


Karena itu, pernikahan merupakan salah satu ibadah terpanjang yang dijalani kaum Muslim. Maka, supaya ibadahnya khusyuk, jangan terburu-buru. Lagian, memang mencari pasangan semudah itu, verguso? “Cinta tak selamanya indah, Dek.”


Perlu disiapkan beberapa kriteria agar pernikahan sampai ke surga-Nya. Seperti yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad saw., sebelum menikah umatnya harus mempertimbangkan empat hal:


Hartanya,


Keturunannya,


Parasnya, dan


Agamanya.


Namun dari keempat kriteria itu, Nabi menganjurkan untuk memilih yang terakhir, yaitu agamanya. Maka kita sebagai pengikut beliau akan beruntung.


“Hak nikah ada di tangan perempuan,” itulah sepenggal ucapan dari Habib Husein Ja’far yang saya setujui. Apabila hak nikah ada di tangan istri, maka hak cerai ada di tangan suami.


“Gak kebayang kalau hak cerai ada di tangan istri. Bisa-bisa dunia ini isinya duda semua,” ujar Nopi, teman saya sewaktu kami ngobrol random.


Perempuan saat ini banyak yang memilih untuk menunda pernikahan. Seperti kata adik perempuan saya,


“Gak mau nikah dulu. Pengen kerja dulu, beli barang kesukaan, dan main yang jauh.”


Stereotip “perempuan di rumah saja” eksistensinya mulai pudar. Perempuan kini lebih bebas menghirup udara segar, semakin ramai memaksimalkan potensi diri—terutama di dunia kerja. Faktanya, memang generasi muda saat ini lebih bergairah mencari uang daripada disuruh menikah. Haha. Berbondong-bondong menciptakan kebahagiaan di atas uang sendiri. Ini seru.


Tetapi masyarakat tak perlu cemas. Walau angka pernikahan di Indonesia menurun, fenomena ini terjadi karena adanya perubahan pola pikir manusia, yang merupakan hasil alami dari pembelajaran seseorang. Pemerintah—siap tidak siap—harus siap menerima keputusan ini. Kalau dibandingkan dengan negara Barat, fenomena ini bukan hal luar biasa. Sudah biasa.


Ditambah lagi dengan adanya Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945:


“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”


Jadi, sekali lagi, menikah itu hak, bukan kewajiban. Sebagai warga negara, memiliki hak berarti boleh digunakan atau tidak digunakan, dan itu tidak akan jadi masalah. Tidak akan ada sanksi khusus dari lembaga apa pun. Karena ini bukan kewajiban.


Undang-Undang mendahului pola pikir generasi muda—jadi semakin santuy. Bisa dilihat dari gaya hidup anak muda sekarang yang lebih asyik sendiri sambil menikmati setiap proses kehidupan, mengeksplor dunia tanpa batas, dan menciptakan berbagai inovasi.


Tenang saja, Pak Penghulu. Kami akan menikah apabila sudah siap secara spiritual, emosional, finansial, dan... atau bahkan tidak mendaftar sama sekali. Jadi, daripada banyak tanya “kapan nikah?”, mending pastikan saja dulu kehadiranmu di pernikahan saya.


________


Penulis


Mela Sri Ayuni, penulis lepas.



redaksingewiyak@gmail.com 

Wednesday, October 15, 2025

Puisi Jawa Banten | Makrifat Bayhaki

Puisi Jawa Banten Makrifat Bayhaki




Beras Kencur


Mang Dul lagi macul

Ditubruk macan tutul 

Getihe muncar-mancur

Ditambani beras kencur


2025



Bocah Polod Ngerewangi Sawah


Ngembang lan mendote wijil pari 

Ngebebungah jero ati

Sedurunge manuk-manuk mareki

Lan ngareni bocah cilik sewiji

Sing kekelangan kakang 

Beberekan sing nyerupe tembang


Kakang-kakang gagi mulihe

Pari si kakang entekkan manuk

Manuk deruk sing ngeruki

Manuk bondol sing ngeggondoli

Manuk peking sing nyangkingi


Serang, 2025



Cocot Loro Kependak Endas Loro


Wong wadon wakeh omonge

Aje diembil ati 

Sebab loro cocote


Wong lanang

Rungseb kelawan beberekan rabi

Kudu dipotel endase sing loro


Serang, 2025


________


Penulis


Makrifat Bayhaki, asli wong Begog, gelati picis ning Jakarta, rabine wong Tersaba. 



redaksingewiyak@gmail.com

Tuesday, October 14, 2025

Proses Kreatif | Kita Memang Membaca dan Menulis, Tapi Sering Lupa untuk Apa

Oleh Encep Abdullah



Saya dan santri saya—santri ekstrakurikuler menulis—suatu hari melakukan kunjungan literasi ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Serang. Kunjungan ini merupakan bagian dari agenda kami, yakni datang ke acara bazar-bazar buku terdekat. Selain ke perpustakaan kota, saya juga mengajak mereka ke Gramedia Kota Serang (Jalan Raya Cilegon, Desa Drangong Blok RA Ruko No.A1-A2, Kecamatan Taktakan). Tujuan kegiatan ini sederhana, agar mereka merasakan langsung atmosfer dunia literasi—ruang di mana buku bukan sekadar benda di rak, tetapi jendela gagasan dan kebijaksanaan. Saya selalu menegaskan kepada anak-anak, penulis yang baik adalah pembaca yang baik.

Kunjungan ke bazar buku, perpustakaan daerah, dan toko buku merupakan stimulus agar para santri memiliki pengalaman tubuh langsung; agar mereka mencium aroma buku, meraba teksturnya, dan menumbuhkan kebiasaan pergi ke perpustakaan tanpa paksaan, serta tidak pelit membeli buku. Anak-anak yang saya bawa kurang lebih berjumlah tiga belas orang dari jenjang SMP hingga SMA. Sebagian tampak antusias memilih buku, sebagian lagi sibuk berfoto, dan ada juga yang sibuk menghitung isi dompetnya.

“Pak Encep nggak bilang sih kalau mau ke Gramedia juga. Saya tidak menyiapkan uang banyak,” keluh As-Syifa Safitri sambil cemberut kayak anak kecil. Tapi, setidaknya dari sini ia dan teman-temannya tahu, suatu hari bila mau datang lagi wajib bawa uang yang cukup (untuk tidak mengatakan banyak). Saya hanya tersenyum mendengar keluhan polos itu. Di satu sisi, mereka mulai belajar menghargai nilai buku; di sisi lain, saya tahu bahwa membeli buku bagi sebagian santri bukan perkara sepele. Namun, justru di situlah letak pelajaran hidup mereka, memahami bahwa pengetahuan memang mahal untuk dibeli.


Kedatangan kami di Gramedia disambut ramah oleh para karyawan. Salah satunya, Uki, yang menjadi PIC Gramedia Kota Serang, menawarkan kerja sama kegiatan literasi bila nanti kami datang kembali. “Kami punya banyak program, Pak,” katanya antusias. “Ada Ngaji Literasi dan kegiatan Nusa Membaca—kelas membaca di mana kita ngumpul bareng, baca buku, diskusi, lalu bikin game seru buat peserta. Kalau nanti ada kegiatan bareng santri, boleh banget kolaborasi.”

Ajakan itu tentu saya sambut dengan gembira. Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga membangun ekosistem pertemanan yang menghidupkan semangat belajar. Dunia literasi akan mati tanpa ruang perjumpaan.

***


Di ruang lain, bulan berikutnya, saya mengajak anak-anak saya ke Gramedia BSD Tangerang. Seperti halnya saya mengajak anak-anak santri saya, yakni membiasakan kaki menginjak lantai toko buku langsung. Saya kaget, anak saya malah minta beli komik One Piece. Sejak kapan ia suka baca komik. Tapi, ini sesuatu yang membahagiakan karena anak saya yang minta—walaupun sejak balita juga sering saya ajak untuk beli buku cerita. Di Gramedia BSD, saya tahu buku mahal-mahal dan tentu saja saya PD karena bawa banyak uang walaupun pada akhirnya hanya beli satu buku berjudul Filosofi Teras karya Henry Manampiring (Om Piring). Bukunya terus menembus pasar dan cetak ulang berkali-kali. Saat saya baca pengantarnya, saya menelan ludah. Bayangkan, sejak terbit pertama pada 2018 hingga kini (yang saya beli cetakan Juni 2025), cetakannya sudah mencapai edisi ke-82. Pada 2023 saja, buku itu sudah terjual 275.000 eksemplar. Pada 2024 terjual 500.000 eksemplar. Bisa jadi kini sudah menembus angka 1 juta eksemplar. Katakan saja harga buku Rp108.000 dan anggap saja royalti penulis 10%, maka dari buku yang terjual 1 juta eksemplar itu, ia sudah mengantongi hasil buah pikirnya sebesar Rp10.800.000.000 (baca: sepuluh miliar delapan ratus juta rupiah).

Buku yang ditulis dengan gaya ringan dan relevan dengan keresahan manusia modern itu benar-benar “hoki”, terutama karena lahir di masa yang tepat: bertepatan dengan Pilpres dan pandemi COVID-19. Saat orang-orang stres di rumah, butuh ketenangan batin, filsafat Stoik justru menjelma menjadi obat hati. Di YouTube, tokoh-tokoh seperti Fahruddin Faiz, Martin Suryajaya, dan Habib Ja’far membicarakan filsafat dengan gaya populer. Dunia maya pun mendadak menjadi kelas besar filsafat terbuka.

Gokil sih! Buku satu bisa menembus puluhan kali cetak ulang dan mengalirkan royalti terus-menerus. Sementara kita—yang mungkin para penulis kecil di pinggiran—kadang menulis banyak buku pun, belum tentu laku. Dunia buku itu memang dunia keberuntungan. Buku bagus belum tentu laku; buku menang sayembara pun belum tentu dicetak ulang. Kadang yang laku justru buku sederhana yang hadir di waktu yang tepat. Maka saya percaya, menulis itu bukan hanya soal kualitas, tapi juga nasib. Barangkali kita belum bernasib “beruntung” saja. Tapi siapa tahu, suatu hari nanti, ada satu buku kita yang tiba-tiba meledak tanpa bisa dijelaskan alasan rasionalnya.

Di sisi lain, nasib sebuah buku memang lucu. Misal Anda beli satu buku di bazar dengan harga 3 ribu. Teman Anda membelinya, lalu menjualnya lagi 10 ribu kepada orang lain. Orang itu menjualnya lagi 50 ribu. Hingga akhirnya buku itu menjadi barang langka dan dijual 1 juta. Penulisnya? Tak dapat sepeser pun. Royalti si penulisnya dari buku itu sudah jadi tai dan kenangan (kontraknya dengan penerbit sudah kelar), tapi bukunya masih berkeliaran. Penerbit, penulis, tak ada urusan dengan harga jual tersebut karena itu buku asli yang sudah sah dibeli orang lain.

***


Di tahun ini, tepatnya akhir tahun 2025, agenda penulis begitu riuh. Kegiatan menulis, lomba sastra, dan pelatihan tumbuh menjamur di mana-mana, baik dari komunitas maupun pemerintah. Sebagian penulis berbahagia. Mereka berswafoto, berpamer ria berkegiatan ini dan itu. Menulis ini dan itu. Dunia literasi kita seperti sedang berpesta: ramai, tapi kadang kehilangan arah.

Di ruang kelas atau di ruang komunitas, saya sering bertanya: dalam karyamu itu, kamu mau menawarkan apa? Apakah hanya ingin mendapat honor media atau hadiah lomba? Atau sekadar ingin terlihat produktif dan diakui? Banyak yang menulis puisi dengan kata-kata yang dipaksakan indah agar tampak memesona; ada yang menulis cerpen dengan alur ruwet biar terkesan sastrawi; ada pula yang menulis esai dengan tumpukan kutipan biar tampak intelektual. Padahal, semua itu hanya kulit. Menulis bukan hanya tentang bagaimana membuat orang lain terkesan, melainkan juga bagaimana kita jujur menyampaikan apa yang sungguh kita rasakan dan pikirkan--zaman sekarang pikiran kita mungkin dijajah AI, ia yang disuruh bekerja sepenuhnya, bukan menjadi "teman" diskusi. Semua orang memang sedang mencari bentuk dan makna. Ada yang ikut-ikutan tren, ada yang bertahan dalam keaslian meski tetap jelek. Ada pula yang terus berlatih sampai menemukan kekhasannya sendiri. Dan ketika seseorang sudah sampai di puncak kematangan menulis—di mana bentuk dan gaya telah matang, dan bahasa sudah menyatu dengan dirinya—kadang justru muncul kebingungan baru: setelah ini, mau apa lagi? Mungkin di situlah paradoks dunia kepenulisan: ketika sudah pandai menulis, kita kembali ke titik hening, tak tahu harus menulis apa, bahkan harus membaca apa.

Kiara, 14 Oktober 2025


__________


Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


redaksingewiyak@gmail.com 

Monday, October 13, 2025

Karya Siswa | Rintik di Ujung Masa Remaja | Nadia Farhana

Cerpen Nadia Farhana



Rintik hujan membungkus halaman sekolah. Langit mendung. Gumpalan awan hitam terlihat nyaman di atas sana sampai tak mau pergi. Udara terasa dingin. Kaca pada jendela pun sampai mengeluarkan embun.


“Selamat pagi, anak-anak. Mohon maaf ya, Ibu sedikit terlambat hari ini,” suara Bu Fera memecah kebisingan kelas.


“Pagi, Bu,” jawab para murid sambil menyiapkan buku yang akan digunakan.


“Nya, kukira hari ini Bu Fera tak akan datang karena hujan turun semakin deras. Ternyata guru Matematika memang selalu saja datang apa pun halangannya. Namun, aku belum menyelesaikan tugas yang diberinya minggu lalu. Ckckk,” cetus Bulan dengan sedikit kesal.


“Sudah sering aku ingatkan bahwa kalau kau memiliki tugas, tentu harus secepatnya diselesaikan supaya tugas tersebut tak tertimbun, menumpuk, dan kau pun tak cepat stres!” jawab Peony dengan nada kesal sambil berbisik.


Mereka teramat tidak menyukai pelajaran ini. Huh, hari keramat!


Selanjutnya pelajaran kedua, Fisika. Pak Gamma, tampangnya seperti Dmitri Mendeleev, seorang ahli kimia yang telah menciptakan tabel periodik modern yang dapat kita pergunakan pada pembelajaran kimia, tentunya. Tak jarang, para murid yang belum mengenalnya akan bergegas lari terbirit-birit untuk menghindar darinya. Saat ini mereka sedang mempelajari materi mengenai tekanan.


“Baiklah, siswa yang sedang tertidur di bangku belakang, Krisan, silakan jelaskan kembali mengenai materi yang telah saya sampaikan tadi,” sindir Pak Gamma.


Dengan tubuh yang lelah dan mata merahnya, ia berusaha menjelaskan apa yang diminta Pak Gamma dengan suara lantang, biarpun diselimuti rasa kantuk yang begitu berat.


“Ya, kalian dapat melihat ini. Tekanan hidrostatis. Tekanan adalah besarnya gaya yang bekerja pada suatu permukaan per satuan luas permukaan. Dan saya izin menambahkan bahwa semakin besar gaya yang diberikan pada suatu permukaan, maka semakin besar pula tekanannya.”


Seluruh murid kelasnya sangat takjub mendengar penjelasan darinya. Ia tak mengelak, namun bertanggung jawab atas perilakunya.


Bulan menyikutku. “Peony! Lihatlah dia, seorang yang pintar, tampan pula.”


“Huft, kau ini... Itu memang keahliannya.”


“Hah? Keahliannya? Mengapa kau bisa mengetahui hal tersebut? Jangan-jangan... kau intel atau hacker,” ucap Bulan dengan raut wajah yang sungguh penasaran.


“Dia... aku sudah mengenalnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kami pernah mengikuti lomba bersama, dan Fisika adalah sobat karibnya. Mungkin baginya, peristiwa tadi hanyalah hal sepele karena dia telah menguasai cukup banyak hal mengenai Fisika,” jelas Peony.


“Wah, berarti aku tidak salah untuk mengaguminya, kan?” ucap Bulan dengan senyum lebar yang khas.


“Ah, Bulan! Kau ini ya, menjengkelkan sekali,” kata Peony sambil mencubit lengan Bulan, diselipkan dengan candaan.


Suatu ketika, Peony, si gadis berparas cantik itu, sedang mengunjungi perpustakaan sekolahnya. Dirinya sangat pendiam jika tidak bersama Bulan. Ia sedang mengambil buku yang diperlukan untuk memaksimalkan pembelajarannya di kelas. Tempat itu sangat ramai, namun ia merasa hanya seorang diri saja. Buku-buku tersebut terlihat berat sekali sehingga ia berjalan sangat lambat, sampai-sampai...


“Hey! Kembalikan bukuku! Ah, tidak sopan!”


Tak disangka, dengan mudahnya beberapa buku Peony direbut begitu saja. Sesampainya di kelas, ia langsung menuju mejanya. Betapa terkejutnya Peony melihat buku-bukunya telah tersusun rapi. Lalu ia membaca sebuah pesan yang tertulis,


“Ny, gue yang menaruh buku lo di kolong meja, dan juga yang ambil buku lo tadi. Ya habisnya, lo tuh menghalangi jalan gue, lelet banget pula seperti siput saja. Bahkan sepertinya lebih lambat daripada siput. ~ Apip”


“Apip? Ada-ada saja. Percuma dia menulis namanya, aku pun tidak mengetahui dia siapa. Mengapa hal seperti ini terjadi ketika Bulan sedang tidak bersekolah? Huh!” ucap suara hatinya dengan wajah cemberut.


Saat jam istirahat tiba, aku berjalan seorang diri menghampiri kantin sekolah. Tak banyak yang mengetahui keberadaanku. Aku benar-benar sangat menunggu waktu pulang.


Rabu, itulah jadwal piket mereka. Pada pertemuan ini, Pak Gamma memberi instruksi untuk membentuk kelompok sesuai jadwal piket, lalu ia menyampaikan tugas yang harus para murid lakukan.


“Murid-murid, silakan kalian jelaskan sekaligus mempraktikkan mengenai Hukum Newton I tentang inersia dan kelembaman. Kelompok dua, silakan.”


Tanpa diskusi panjang, tiba-tiba saja Krisan mengangkat tangannya yang menandakan bahwa kelompoknya telah siap untuk maju. Alhasil, kelompok dua yang beranggotakan empat orang itu harus maju dan mencoba melakukan praktiknya saat itu juga.


Mereka pun menjelaskan prinsip Hukum Newton I dan memberikan sebuah contoh, seperti sebuah kentang yang ditancapkan dengan sumpit. Lalu mereka mengangkat sumpit tersebut. Bagian atas pada sumpit itu terus-menerus diketuk hingga menghasilkan kentang yang semakin naik... naik... naik ke atas, bukannya malah jatuh.


Usai praktik, mereka pun sempat berbincang.


Bulan membuka percakapan itu. “Wah, tadi rasanya aku sangat dihantui oleh rasa takutku.”


“Jika kamu percaya pada dirimu, orang-orang yang melihatmu pun akan menganggap biasa saja, Bulan. Mereka memiliki kesibukannya masing-masing,” tegas Peony.


“Baiklah! Aku yakin akan menjadi lebih baik lagi! Hmm... Krisan, Fajar, apakah kalian mengetahui seseorang yang merebut dan menaruh buku milik Peony setelah ia mengunjungi perpustakaan? Apip namanya. Di kertas ini sepertinya tidak ada yang bernama Apip.”


Krisan dan Fajar saling menatap satu sama lain, seperti mengetahui suatu hal yang mereka sembunyikan. Fajar akhirnya angkat bicara dan menyampaikan kebenaran.


“Eumm... jadi begini. Apip berada di kelas ini. Kalian mungkin belum mengetahuinya saja siapa dia.”


“Kalau kau mengetahuinya, katakan saja, Fajar!” ucap Bulan dengan amarah.


“Apip itu adalah Fajar,” celetuk Krisan.


Kedua gadis itu pun tercengang mendengar apa yang Krisan katakan.


“Kau? Ah, baru teringat. Namamu Noem Arvip Franjaya. Namun, dari manakah panggilan Fajarmu berasal?” tanya Bulan kembali.


“Mengenai hal itu, aku pun tak tahu. Sejak kanak-kanak aku sudah dipanggil dengan sebutan Fajar oleh keluargaku. Dan Peony, mohon maaf karena pada hari itu aku sudah tidak sopan kepadamu.”


“Baiklah, kau ini kumaafkan. Lain kali tolong jangan seperti itu lagi, ya. Terlebih aku belum sepenuhnya mengenal seluruh murid di kelas ini. Terima kasih sudah membawakan bukuku. Lain kali tolong bawakan lagi, ya,” ucap Peony sambil tertawa kecil.


Sejak saat itu, mereka tak jarang belajar bersama dan bertukar pikiran. Sayangnya, kisah mereka tak lama akan kandas.


Perpaduan yang sempurna. Cahaya langit yang mulai redup, hembusan angin seolah mengajak penghuni taman untuk menari riang. Taman yang seketika menjadi surga dunia yang tiada taranya. Begitu indah, nikmat mana yang kau dustakan?


Satu per satu kata kutulis dengan tulus. Tidak terasa, beberapa tetes air mata telah membanjiri wajahku.


“Masa remaja nyatanya tidak hanya sebagai masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Inilah era untuk mencari jati diri, memperbanyak relasi, berani mencoba hal baru, juga falling in love—itu hal yang wajar. Butterfly era, katanya. Jatuh cinta memang sering kali membuat seseorang sedikit gila, menurutku. Tak pernah kurasakan sebelumnya. Mereka selalu saja fomo dengan kreasi serta tren masa kini. Seperti senja yang sangat dinantikan, biarpun hanya sesaat. Senang mengenal kalian di akhir masa JHS ini.”


_______


Penulis


Nadia Farhana, siswi SMPN 10 Kota Serang kelas IX J.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com



Karya Guru | Puisi-Puisi Irwan Sofwan

Puisi Irwan Sofwan




Kau dan Aku


kesedihanku

tak dapat menemukan henti

sebelum menemukanmu 

oh, sekali kini

aku tertahan di jalan sebagai ketakutan

dan hanya merenungkan wajahmu

tanpa ruang

tanpa waktu

wajahmu menjerat kakiku

melalui masa depan jadi masa lalu

sebelum hilang

kau dan aku


Serang, 2023



Aku Ingin Membacanya


ada yang melebihi malam

dan sebuah kalimat terhuyung keluar dari dalamnya

aku ingin membacanya


lepas dari puisi dan segala kemungkinan yang ada

lepas dari dunia dan segala peristiwa yang menutupinya

lepas dari ada dan segala yang menyertainya


ada yang melebihi malam

dan sebuah kalimat terhuyung keluar dari dalamnya

aku  ingin membacanya 


lepas bersamanya


Serang, 2024



Ya, Tuhan


aku berjalan tidak sempurna

hari menebal seperti kehilangan musim

yang mengenal 

suaraku


suara tanpa suara

bergerak di setiap sudut

siapa yang akan kupanggil?


seketika angin mendorong masuk

ke dalam aliran darahku yang lambat


Serang, 2025



Yang Akan Tiba


titik-titik hujan di kaca

pintu setengah terbuka. Aku bertanya

apakah hidup benar-benar dimulai dari sana?


hujan masih ada

aku melihat ke dalam kaca

menunggu titik baru yang mungkin akan tiba


Serang, 2025


_______

Penulis


Irwan Sofwan, lahir dan tinggal di Serang – Banten. Sehari-hari aktif berkegiatan di Komunitas untuk Perubahan Budaya (Kubah Budaya) dan bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 10 Kota Serang – Banten.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Sunday, October 12, 2025

Puisi Nihalun Nada





Layang-Layang Tua


Ra,

Layang –layang tua

Bercerita tentang kita

Yang masih tereja dalam album lama dan kelenjar pustaka

Kenangan itu pelik kulupa


Ra,

Kelereng andalan kala

Kini beralih surban-surban masa

Sedang di balik jendela

Kerudung berharap adalah ruhnya

Ada banyak praduga

Menostalgia pertemuan yang tak seharusnya istimewa


_______


Penulis


Nihalun Nada berasal dari Sumenep Madura. Sekarang menjadi Mahasiswa Uin Sunan Ampel Surabaya. Beberapa puisinya seringkali menjadi langganan media cetak dan beberapa puisinya sudah banyak yang bukukan. Saat ini, ia bergelut diberbagai organisasi internal kampus salah satunya adalah LPM Arrisalah dan anggota Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (Puskolegis). 


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Cerpen Latatu Nandemar | Dua Kotak Nasi Terakhir

Cerpen Latatu Nandemar



Sebagai lelaki yang terlahir dari rahim seorang ibu yang miskin dan dibuahi oleh ayah yang pemabuk, setiap detiknya dalam hidupku seolah tak ada yang aku telan selain kebencian demi kebencian. 

Sejak kecil, kedua orang tuaku sangat senang menyiksaku dengan pertengkaran-pertengkaran yang melahirkan bentakan-bentakan yang membuat jantungku berdegup sangat cepat melebihi kemampuannya untuk memompa darah, dan itu membuat kepalaku sering merasa sakit dan juga pusing.


Hingga akhirnya aku selalu berdoa setiap sore menjelang asar di mana pada waktu tersebut biasanya mereka pulang dari pekerjaan mereka, (ibuku sebagai pembantu dan ayahku sebagai pengangguran paruh waktu) semoga salah satu dari mereka mati di jalan dengan cara apa saja sehingga tidak pernah pulang. Itu akan membuat mereka tidak akan bertengkar lagi selama-lamanya.


Tetapi ternyata Tuhan tidak mau mengabulkan permintaan bocah sepertiku. Mereka berdua tetap pulang ke rumah dan melanjutkan pertengkaran-pertengkaran sialan itu. Dan akhirnya aku mengganti doaku, aku tak lagi meminta agar orang tuaku mati, tapi aku meminta agar aku sendiri yang segera mati. 


Maka, rutinitasku setiap akan tidur selalu berharap aku tak bangun lagi. Permintaan yang satu ini pun sama, tak kunjung terkabul hingga akhirnya aku memilih menjemput sendiri kematianku.


Sebanyak dua kali aku mencoba mengakhiri hidupku. Pertama aku mencoba terjun pada sebuah sumur pembuangan air yang belum ditutup dan cukup dalam di sebuah masjid di daerahku yang sedang direnovasi. Itu terjadi ketika aku masih SMP kelas dua.


Aku pikir, jika aku mati bunuh diri di lingkungan masjid, aku tidak akan mati membawa dosa dan langsung masuk surga. Tapi nyaliku ciut seperti seekor tikus yang bertemu kucing lapar ketika aku melihat ke bawah. Dari sejak itu, aku sadar ternyata aku takut terhadap ketinggian.


Percobaan bunuh diriku yang kedua adalah ketika aku baru memasuki kelas satu SMA. Kedua orang tuaku semakin menjadi, begitu juga dengan rasa takutku dalam menghadapi kehidupan. Aku mencoba mengakhiri hidupku dengan seutas tali yang kudapatkan dari sisa pengerjaan bangunan. 


Untuk membeli tali dengan sengaja aku tak pernah memiliki uangnya. Tapi, entah nahas entah beruntung? Rupanya tali yang panjangnya hanya dua meter itu sudah terlalu lapuk dan putus ketika menampung beban tubuh cekingku yang kurang makan.


Ketika akan kucoba lagi, tali itu sudah memendek sehingga tak ideal lagi untuk digunakan mengakhiri hidup. Sejak percobaan bunuh diri yang kedua yang gagal itu hingga kini, aku tak pernah lagi mencoba melakukannya.


Kini aku lulus sekolah, aku mulai merasakan sedikit nikmat hidup dengan cara pergi dari neraka kecil yang biasa kusebut rumah itu. Aku mencari pekerjaan.


“Kamu bisa komputer?” seorang HRD Tua berambut putih tipis itu bertanya padaku. Aku menjawab disertai anggukan. “Saya juga bisa mengetik dengan cepat,” tambahku ketika aku melamar pekerjaan di sebuah pabrik yang memproduksi pakan ternak.


HRD Tua itu sedikit berdehem, kemudian mencondongkan sedikit badannya ke depan, aku bisa mencium bau tembakau dari mulutnya begitu kuat menyengat lubang hidungku. Setengah pelan setengah keras dia berbicara, suaranya lebih mirip suara kucing yang sedang kumur-kumur, sangat tak jelas. Tetapi aku masih bisa menangkap maksud kalimatnya. “Hanya saja posisi staf sekarang sudah penuh, dan yang sekarang kami cari adalah posisi office boy, bagaimana?”


Aku menganggap pertanyaan itu adalah sebuah tawaran. Maka aku jawab, “Saya siap, Pak! pekerjaan apa saja saya siap!” suaraku terdengar terlalu keras dari seharusnya, dan itu membuat sosok tua di hadapanku sedikit terkaget sambil memegang dada bagian kiri. Aku sempat khawatir, jangan-jangan HRD tua itu terkena serangan jantung dan aku khawatir batal untuk bisa kerja di tempat ini.


Aku bekerja dengan penuh semangat. Bulan pertama, bulan kedua, dan bulan seterusnya aku masih terpakai sebagai pekerja di sini. Untuk menghemat pengeluaran, aku diizinkan menempati sebuah bangunan kecil bekas pos satpam yang sudah tidak terpakai. Hingga akhirnya pada saat mendekati hampir satu tahun...


“... Kita tidak akan pernah kaya dengan menjadi pekerja, percayalah!” Seorang pria yang baru satu jam kukenal di sebuah warteg ketika aku sedang menunggu belasan nasi bungkus pesanan para staf kantor berbicara dengan nada penuh gelora setelah sebelumnya kami melakukan basa-basi perkenalan awal. Penampilannya seperti memaksakan rapi dengan kemeja putih, celana bahan, dan dasi lecek melingkar di lehernya. 


“Anda mau selamanya membelikan nasi bungkus untuk mereka yang jadi bos Anda?” Aku terdiam. Sedikit tersinggung, tetapi hatiku membenarkan kata-katanya. “Ada sebuah cara supaya kita bisa kaya, tetapi kita tetap bisa bekerja, setelah finansial kita matang, kita bisa tinggalkan pekerjaan kita dan hidup santai dengan tanpa kerja.” Aku tak paham apa itu finansial, tetapi aku sangat tertarik dengan kata-kata hidup santai tanpa kerja.


“Bagaimana caranya?” Aku bertanya dengan kombinasi wajah bodoh dan antusias. “Dengan investasi.” Orang tersebut berkata. Selanjutnya menjelaskan dengan panjang lebar dengan mengokang kembali mulutnya untuk memengaruhiku dengan kata-kata motivasi dan diselingi penyudutan terhadap kaum pekerja. 


“Sudah bukan saatnya kerja keras, tetapi waktunya kita kerja cerdas.” Di ujung percakapan itu dia mengatakan kalimat tersebut. Aku akhirnya mendaftarkan diri untuk menjadi mangsanya. Aku percaya karena dia memperlihatkan video dan foto-foto kesuksesan investor sebelumnya yang begitu meyakinkan. 


Esoknya, setelah kami melakukan perjanjian terlebih dahulu, aku serahkan seluruh uang tabunganku kepadanya. Hasil kerja keras bodohku itu akan menjadi investasi kerja cerdas. Begitu yang aku tangkap dari kata-katanya. Uang sepuluh juta rupiah hasil aku berhemat selama satu tahun itu aku serahkan. Dan dengan bangga kini aku menyandang predikat investor dari orang tersebut. Investor usaha budidaya lobster.


Tidak selesai di tabunganku saja, lelaki sialan itu membuai anganku hingga melambung ke langit dengan membeberkan keuntungan berlipat jika aku menginvestasikan lebih dari ini. Dan dia menyarankan mengambil pinjaman yang cepat cair, alias meminjam ke rentenir. Dan aku mengangguk. 


Aku melihat dia tersenyum puas, dan senyum puasku menyusul kemudian karena aku mengira senyum miliknya tadi adalah sebuah gerbang kesuksesan untukku. Ternyata itu adalah senyum puas karena berhasil menjadikan aku mangsa.


Dan setelah itu dia menghilang. Nomornya tak dapat dihubungi lagi. Alamatnya aku tak tahu. Dalam detik-detik berikutnya aku sadar, aku telah kehilangan uang yang sudah susah payah aku tabung. Tapi kesadaranku sangat terlambat. Ditambah pinjaman dengan bunga tinggi yang harus kulunasi. Terasa pahit. Benar-benar pahit dan sakit.


Habis-habisan aku mengutuki nasib. Menyalahkan takdir. Dan derita nelangsa itu menjalari darahku seperti racun. Menebarkan kebencian pada diriku sendiri. Hingga akhirnya keinginan untuk mati seperti tahun-tahun yang telah berlalu itu kembali menghampiri lagi. 


Malam ini, akan kembali aku lakukan dan tak boleh kembali gagal.


Aku teringat pada dompetku yang masih menyisakan dua lembar uang lima puluh ribu, dan aku putuskan untuk melakukan kebaikan dengan uang itu terlebih dahulu sebelum pergi selamanya.


Aku berkeliling jalan kaki setelah membeli dua kotak nasi dengan dua botol air mineral. Mencari seorang yang terlihat membutuhkan makan, di wilayah dengan tekanan persaingan berat ini, sangat tidak sulit untuk mendapatkannya.


Seorang lelaki di sebuah ruang terbuka hijau, yang sama sekali tidak hijau, dengan wajah penuh sengkarut penuh beban pikiran kudekati. Kuberikan apa yang kubawa, aku mengajaknya berbicara seakan dia adalah teman lama. Lelaki itu tak menolak, hanya saja tak banyak bicara. Namun, wajah yang semula kusut itu berubah cerah secara perlahan. 


“Terima kasih, pemberian Anda ini sangat berarti buat saya,” lelaki itu berkata. 


“Terima kasih juga dari saya, penerimaan Anda juga sangat berarti buat saya,” jawabku.


Entah karena menu makanan yang aku konsumsi atau entah karena apa, tiba-tiba aku ingin ke toilet. Aku ijin sesaat, orang itu mengiyakan. Tapi, ketika aku kembali untuk menemui lelaki tadi, dia sudah pergi. Hanya ada secarik kertas ditindih dengan seonggok batu. Aku membacanya.


“Dua puluh lima menit sebelum Anda menghampiri, berbicara dengan saya sambil menikmati apa yang Anda beri, saya sudah bertekad untuk mengakhiri hidup saya tadi. Saya merasa dunia sama sekali tidak memberi tempat untuk saya. Tetapi, kehadiran Anda telah mengubah pandangan saya. Saya pergi dulu untuk melanjutkan hidup. 


Terima kasih, orang baik.


Aku termenung. Ternyata lelaki tadi memiliki niatan yang sama denganku. Perbuatan baik yang telah aku lakukan tadi telah mengubah pendirian orang yang akan mengakhiri hidupnya. 


Hanya saja, ingatan akan beban hutang yang harus kulunasi, serta kesulitan-kesulitan yang akan aku hadapi, kembali terpahat tegas.


Membuat rasa pesimis untuk menghadapi kehidupan ini kembali melurubi isi kepalaku. Seolah catatan yang ditinggalkan orang tadi tidak mengubah apa pun. 


_______


Penulis


Latatu Nandemar, pengajar di sebuah sekolah yang lebih suka mengolah kata daripada mengolah data.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com







Saturday, October 11, 2025

Resensi Kabut | Gambar: 5 Tahun, Kuda

Resensi Kabut



Yang terlihat awal adalah gambar di sampul buku. Pada masa lalu, terbitan buku-buku di Indonesia belum terlalu mementingkan dan sanggup menampilkan gambar-gambar apik dan berwarna di sampul depan. Konon, Indonesia masih kekurangan ahli dan mesin cetak yang tersedia belum memadai.


Pada masa 1970-an, beberapa penerbit mulai serius dalam garapan sampul. Gambar-gambar disajikan meski belum memiliki banyak warna. Penerbit yang terbukti serius menampilkan ilustrasi di sampul depan adalah Pustaka Jaya. Ajip Rosidi yang mendirikan penerbit memiliki jalinan erat dengan para pelukis. Maka, tampilan sampul buku-buku terbitan Pustaka Jaya masa lalu memikat.


Gramedia pun melakukan peningkatan mutu sampul buku anak dan remaja. Namun, dominasi buku terjemahan belum memberi kekhasan dalam garapan ilustrasi Indonesia. Di beberapa buku yang ditulis oleh para pengarang Indonesia, ilustrasi atau gambar yang disuguhkan mulai mendapat pujian.


BPK Gunung Mulia ikut mematangkan industri bukunya melalui garapan-garapan sampul. Peran ilustrator atau pelukis ikut menentukan mutu buku. Yang terpenting adalah buku yang sampulnya menarik memicu keterjualan. Apakah ada catatan nama-nama penting yang membuat ilustrasi dalam perbukuan anak dan remaja masa 1970-an dan 1980-an? Kita sebenarnya mengetahui beberapa garapan yang khas tapi memerlukan mengetahui banyak nama dan selera yang dikehendaki para penerbit.


Kita melihat gambar perempuan berambut panjang. Ia mengenakan baju bewarna merah. Kakinya cekeran, tidak menggunakan sandal atau sepatu. Perempuan yang berwajah dewasa tapi perawakannya seperti masih anak atau remaja. Di belakangnya, tampak dua kuda yang sedang berlari. Latar kehadiran gadis dan kuda seperti padang.


Gambar terlihat dalam buku berjudul Pengembaraan Si Mimi (1985) gubahan Surtiningsih WT. Perhatikan judul buku dan gambar. Apakah si gadis merah itu pengembara? Gadis mengembara dengan menunggangi kuda? Gambar itu mengesankan padang yang luas. Bagaimana si pengembara melintasi padang? Bagaimana kuda-kuda itu berlari?


Imajinasi kita sudah bergerak jauh. Imajinasi yang bisa benar atau salah. Yang berimajinasi terpengaruh oleh judul dan gambar yang mengarah ke cerita pengembaraan. Cerita yang mungkin merujuk pada cerita-cerita klasik atau dongeng di Nusantara, yang biasa menyajikan pengembaraan. Namun, kita sedikit memiliki pegangan waktu bahwa gadis itu mengenakan model baju modern. Artinya, cerita yang dibuat Surtiningsih bukan berlatar kerajaan. Gambar yang sepintas tampak apik tapi membingungkan sekaligus meragukan. Gambar itu dibuat oleh Bambang Prasodjo.


Yang sudah membaca beberapa halaman, mulai mengenali tokoh. Perempuan berbaju merah itu namanya Mimi. Ia berusia lima tahun. Apakah yang kita lihat benar-benar memunculkan anggapan bahwa gambar di sampul baru berusia 5 tahun? Di hitungan detik, kita menilai gambar itu salah atau ilustrator gagal paham dengan isi cerita. Dua kuda di belakang Mimi itu memiliki nama: Nino dan Lanang.


Kita berpikiran mendingan ilustrasi buku yang terpenting ditaruh di sampul belakang saja. Pembaca menikmati halaman-halaman cerita selanjutnya mencocokkan dengan gambar yang berada di sampul belakang. Jadi, sampul depan boleh berisi judul saja atau gambar yang bukan primer. Usulan yang tidak menarik!


Buktinya, ilustrasi di sampul buku berjudul Pengembaraan Si Mimi dapat menyesatkan pembaca. Yang tidak terlalu peduli ilustrasi dan cerita boleh membiarkan saja. Yang penting cerita yang ditulis Surtiningsih cukup menarik tapi ada beberapa yang sulit masuk akal. Ingat, tokohnya adalah anak perempuan berusia 5 tahun.  


Di desa, Mimi tinggal bersama kakek dan nenek. Mimi tidak lagi memiliki bapak. Ibunya bekerja di kota. Pembaca tidak perlu menanti lama untuk bersedih. Mimi, tokoh yang membuat terenyuh. Rasa itu makin menguat dengan situasi desa.


Pengarang bercerita: “Nenek sudah selesai menutup kembali pintu. Mimi naik ke atas balai-balainya dan rumah pun berada dalam kegelapan karena lampu minyak dipadamkan. Di luar, terdengar hujan turun satu-satu menitik, mula-mula perlahan, kemudian makin berat memukul-mukul genteng rumah. Ketika hujan mulai menderas, Mimi sudah nyenyak terbuai mimpi yang indah.”


Pembaca ikut berada di rumah yang sepi dan gelap. Rumah di desa yang jauh dari makmur. Pilihan bercerita anak tak lagi berbapak, desa, dan rumah tanpa listrik itu kesengajaan agar sedih terus membesar, sejak halaman-halaman awal.


Kakek dan nenek yang mengasihi Mimi. Mereka berusaha mufakat agar Mimi bahagia dengan cara bermain bersama teman-teman. Kakek dan nenek tak usah membuat banyak pembatasan dan larangan. Mereka berpikir nasib anak yang usianya 5 tahun.


Kakek yang bijak: “Itulah sebabnya, kau tak usah melarang-larang Mimi bermain. Biarkan ia main sepuas-puasnya supaya tak ada waktu baginya untuk mengenang bapaknya.” Pembaca ikut memikirkan Mimi. Apakah ia memang sedih tanpa asuhan ibu dan bapak? Bagaimana bermain menjadi jawaban bahagia dan cara tidak terjebak kenangan? Pembaca harap bersabar dengan cerita yang cukup rumit dibuat oleh Surtiningsih.


Kejutan-kejutan pelbagai keadilan diberikan sejak awal. Mimi memang suka bermain bareng teman-teman. Mereka bermain di pelbagai tempat asal senang. Pembaca ikut mengerti bermainnya anak-anak di desa. Akhirnya, mereka pergi sampai pasar untuk menonton lengger. Yang bermain bersama adalah anak-anak SD dan Mimi yang masih 5 tahun. Bagaimana mereka berusaha kompak dan saling mengerti dalam bermain? Pokoknya pembaca tidak perlu banyak tanya.


Yang diminta masuk akal. Pada saat menonton lengger, Mimi kagum pada para pemerannya. Pentas selesai, rombongan itu bergerak ke stasiun. Mimi mengikutinya. Sendirian. Mimi tanpa sadar ikut naik gerbong. Maka, ia meninggalkan desanya. Ia baru sadar saat kereta api melaju. Ia tidak bersama teman-temannya. Kejadian yang mengejutkan yang mengubah nasib Mimi.


Kejadian itu mengawali “pengembaraan” Mimi. Tersesat di tempat yang asing. Yang diceritakan adalah nasib yang masih untung. Di kota, Mimi “ditemukan” oleh sais delman. Anak itu diberi makan dan diajak pulang. Mimi tinggal bersama suami-istri yang tidak mempunyai anak. Kehadiran Mimi seperti berkat. Maka, mereka merawat seperti anaknya sendiri. Mimi sempat bersedih tapi lekas memiliki kebetahan tinggal di keluarga baru. Nasibnya juga ditentukan oleh usaha menanyakan alamat kakek dan nenek Mimi kepada banyak orang.


Pembaca yang ingin kasihan kepada Mimi sebaiknya membatalkan atau menunda. Di keluarga barunya, Mimi yang 5 tahun itu bahagia. Anak yang tangguh. Anak yang masih bisa bahagia meski tersesat jauh dari desa.


Yang membuatnya bahagia adalah kuda. Sais delman memiliki beberapa kuda. Mimi menjadi mereka sebagai “teman”. Pengembaraan Mimi memberi hikmah-hikmah yang membuat pembaca pilih menganggukkan kepala. Jalinan erat Mimi dan kuda-kuda menjadi bukti. Sekarang, pembaca agak mengerti gambar di sampul buku: Mimi dan dua kuda. Jadi, Mimi bukan pengembara di padang rumput atau perbukitan. Kuda-kuda itu bekerja menarik delman.


Mimi ikut merawat kuda. Yang diceritakan: “Mimi mengambil setumpuk rumput baru dari tempat rumput di luar kandang. Tetapi, Nino tetap tak mau bangkit. Matanya melirik tak bersemangat pada orang-orang di sekelilingnya. Mimi iba melihatnya.”


Cerita yang ingin indah dan mengharukan. Selema beberapa hari di rumah barunya, Mimi cepat akrab dengan kuda-kuda. Perhatian dan kasih diberikan pada kuda-kuda. Mimi pun bahagia.


Selanjutnya, cerita dibuat makin rumit oleh Surtiningsih. Pembaca tidak lagi terlalu memasalahkan Mimi dan kuda-kuda. Artinya, cerita bergerak ke pelbagai arah. Pembaca boleh lelah tanpa harus mengabaikan bab-bab cerita yang dibuat pengarang.


Kini, masalah sudah agak terjawab mengenai gambar di sampul, judul, dan cerita. Kita tidak berlanjut membahas rumit-rumit cerita yang dibuat di separuh isi buku.


________

Penulis


Kabut, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Friday, October 10, 2025

Dakwah | Tathoyyur: Ketika Kesialan Disandarkan pada Makhluk

Oleh Ust. Drs. Abu Bakar




Dalam kehidupan manusia, selalu ada momen di mana hati diliputi keraguan. Kadang, ketika hendak melakukan sesuatu, kita melihat tanda-tanda kecil yang dianggap membawa pertanda buruk: seekor burung melintas ke arah kiri, seseorang melontarkan kata tidak menyenangkan, atau sekadar angka yang tampak “tidak baik”. Dalam hati muncul rasa waswas: apakah ini pertanda sial? Di sinilah lahir keyakinan yang disebut tathoyyur (التَّطَيُّر) — suatu bentuk kepercayaan terhadap kesialan yang bersumber dari sesuatu selain Allah.

Akar Kata dan Makna Tathoyyur

Secara bahasa, tathoyyur berasal dari akar kata طَارَ - يَطِيرُ - طَيْرًا, yang berarti terbang. Kata ini lalu dibentuk dalam wazan تَفَعَّلَ, menjadi تَطَيَّرَ – يَتَطَيَّرُ – تَطَيُّرًا, yang berarti menganggap sial atau merasa celaka.

Makna ini lahir dari kebiasaan bangsa Arab kuno, yang gemar menafsirkan arah terbang burung sebagai tanda nasib. Bila burung itu terbang ke kanan, mereka menganggapnya keberuntungan. Jika ke kiri, mereka mengurungkan niat karena dianggap sial. Maka, “tathoyyur” berarti menyandarkan nasib kepada tanda-tanda selain Allah.

Para ulama tauhid, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Tahdzīb, menyebut tathoyyur sebagai anggapan sial terhadap sesuatu yang dilihat, didengar, atau dialami, yang disandarkan kepada makhluk, bukan kepada Sang Pencipta. Dalam pandangan ini, manusia telah menanggalkan keimanannya pada takdir. Ia mengganti ketundukan kepada Allah dengan keyakinan semu terhadap simbol-simbol dunia.

Tathoyyur dalam Kehidupan Manusia

Praktik tathoyyur ternyata tidak berhenti di zaman jahiliyah. Dalam bentuk yang berbeda, ia masih hidup di antara manusia modern.
Kita mengenal orang yang menolak bepergian di hari tertentu karena dianggap sial. Ada yang takut pada angka 13, hingga hotel-hotel besar di berbagai negara menghapus nomor itu dari daftar kamar mereka. Ada pula yang merasa perjalanan akan gagal hanya karena bertemu burung gagak, atau mendengar ucapan yang terdengar “tidak baik”.

Padahal, setiap bentuk keyakinan seperti itu bertentangan dengan tauhid. Rasulullah ﷺ menegaskan dalam sabdanya:

الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
At-thiyarah (tathoyyur), yakni anggapan sial yang disandarkan kepada makhluk, adalah syirik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

Syirik di sini tergolong syirik ashghar (syirik kecil) — namun tetap merupakan dosa besar, karena merusak kemurnian tauhid. Orang yang meyakini adanya “sial” pada makhluk sesungguhnya telah memberi peran ketuhanan pada sesuatu selain Allah.

Dalil-dalil yang Menolak Anggapan Kesialan

Al-Qur’an telah menjelaskan dengan tegas bahwa segala kebaikan dan keburukan datang hanya dari Allah. Dalam Surah Al-A‘rāf ayat 131 disebutkan:

أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”

Ayat ini menjelaskan bahwa tak ada yang disebut “sial” kecuali apa yang telah Allah tetapkan. Bahkan, dalam Surah Yāsīn ayat 19, Allah menegur kaum yang menolak dakwah para rasul karena menganggapnya membawa kesialan:

قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ...
“Kemalangan kalian itu karena kalian sendiri.”

Kesialan tidak datang dari luar diri, tetapi dari kedurhakaan dan sikap berpaling dari kebenaran.

Antara Kesialan dan Pertanda Baik

Menariknya, Rasulullah ﷺ melarang tathoyyur, tetapi beliau justru menganjurkan al-fa’l (الفأل), yaitu mencari pertanda baik. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الْحَسَنُ
Para sahabat bertanya: “Apakah al-fa’l itu, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab:
الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ
“Kata-kata baik yang didengar oleh salah seorang di antara kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Perbedaan antara tathoyyur dan al-fa’l sangat halus, namun mendasar. Tathoyyur lahir dari pesimisme yang menghapus harapan kepada Allah, sementara al-fa’l tumbuh dari optimisme yang memperkuat keyakinan pada kasih sayang-Nya. Maka seorang mukmin tidak seharusnya takut pada simbol-simbol sial, tetapi justru mencari semangat dari kalimat dan peristiwa yang mengingatkannya kepada kebaikan.

Doa Penolak Kesialan dan Pelebur Syirik

Islam tidak hanya melarang tathoyyur, tetapi juga mengajarkan doa untuk menjaga hati agar tidak terjerumus padanya. Ketika melihat atau mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan, Rasulullah ﷺ mengajarkan doa berikut:

اَللّٰهُمَّ لَا يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ

“Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu.” (HR. Abu Dawud)

Dan untuk melebur dosa syirik tathoyyur, Rasulullah ﷺ mengajarkan doa yang ringkas namun penuh makna:

اَللّٰهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا إِلٰهَ غَيْرُكَ

“Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan dari-Mu, tidak ada kesialan selain (sesuai dengan takdir)-Mu, dan tidak ada Tuhan selain Engkau.” (HR. Ahmad)

Tathoyyur bukan sekadar kesalahan kecil dalam keyakinan, tetapi bentuk halus dari kemusyrikan yang menodai tauhid. Ia muncul ketika manusia lupa bahwa seluruh takdir—baik maupun buruk—bersumber dari Allah.
Kita diajarkan bukan untuk menolak tanda-tanda di sekitar kita, melainkan menempatkannya sebagai pengingat, bukan penentu.

Maka, ketika langkah kita diiringi oleh ketakutan terhadap angka, hari, atau burung yang melintas, ingatlah bahwa semua itu hanyalah makhluk. Kesialan dan keberuntungan hanyalah milik Allah. Dan hati yang bertawakal kepada-Nya tidak akan pernah gentar pada apa pun selain Dia.

Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.

Semoga Allah menjaga tauhid kita dari noda-noda kecil kesyirikan, dan menuntun hati untuk selalu husnuzan kepada takdir-Nya.


Sumber Bacaan:

1. Kitab Tahdzīb – ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Azīz al-Jabārīn, hlm. 158–160.

2. Syarah Kitab Tauhid: Fatḥul Majīd, hlm. 311–323.

3. ‘Aqīdah al-Mu’min – Abu Bakar al-Jazairī, dan lain-lain.


________

Penulis


Ust. Drs. Abu Bakar, Ketua MUI Kec. Pontang.



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com 

Thursday, October 9, 2025

Esai Sulaiman Djaya | Kearifan Lokal, Interaksi Intelektual, dan Ironi Modernitas

Esai Sulaiman Djaya



Buku Ali Akbar Navis yang berjudul ‘Alam Terkembang Jadi Guru’ yang dipengantari oleh Taufik Abdullah dan diterbitkan di era 1980-an itu, masih menarik untuk dibaca dan dikaji. Setidak-tidaknya, tulisan-tulisan di dalam buku itu memantik kita untuk bertanya: Apakah kearifan orang-orang di masa lalu bertentangan dengan kondisi dan perkembangan jaman saat ini? Bisa jadi, sebagai contoh salah-satu bahasan dalam buku itu, tulisan Ali Akbar Navis yang menerangkan dan menggambarkan aturan dan anjuran perkawinan yang ideal dalam masyarakat Minangkabau malah akan terdengar asing ketika dibaca orang-orang Minang di perantauan saat ini: “Menurut alam pikiran orang Minangkabau, perkawinan yang ideal ialah perkawinan antara keluarga dekat, seperti perkawinan anak dan kemenakan. Perkawinan demikian lazim disebut sebagai pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ke mamak berarti mengawini anak mamak,sedangkan pulang ke bako ialah mengawini kemenakan ayah. Tingkat perkawinan berikutnya ialah perkawinan ambil mengambil. Artinya kakak-beradik lelaki dan perempuan B. Urutan selanjutnya ialah perkawinan orang sekorong, sekampung, senagari, seluhak, dan akhirnya sesama Minangkabau. Perkawinan dengan orang luar kurang disukai, meskipun tidak dilarang.” (A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau), PT. Pustaka Grafitipers, Jakarta 1984, h. 194)    


Perkawinan seperti itu terbaca sebagai aturan etnik dan praktik kebudayaan yang bermaksud menjaga kemurnian darah dan ras, selain demi mengekalkan solidaritas ras dan etnis di kalangan mereka, seperti yang dipraktikkan kaum Ba’lawi di Indonesia yang ketersambungan nasabnya kepada Nabi Muhammad saw kini dipertanyakan dan diragukan banyak orang sejak terbitnya tesis dan bukunya Kyai Imaduddin Utsman Al-Bantani yang dari hari ke hari bukannya surut, tapi malah mendapatkan banyak dukungan. Hanya saja, untuk saat ini, sudah banyak orang Minangkabau yang menikah dengan yang bukan dari Minangkabau. Terlebih sudah sedemikian banyak orang Minangkabau yang merantau dan pada akhirnya berinteraksi secara langsung dan melebur dengan dan bersama etnis-etnis lain di seluruh wilayah Indonesia. Begitu pula, banyak mereka yang berasal dari etnik Minang sudah tidak ‘mengenal’ dan ‘mempraktikkan’ aturan atau pun anjuran adat mereka. 


Selain dikemukakan melalui esai-esainya, isu aturan adat (tradisi) dalam konteks dan keberhadapannya dengan kekinian (modernitas), juga hadir dalam sejumlah prosa Ali Akbar Navis. Acapkali Navis mengkritik aturan adat (dan kebiasaan yang dianggap lazim) masyarakat Minangkabau yang dirasanya ‘usang’ dan bertentangan dengan kemajuan serta kemaslahatan secara rasional. Secara historis dan politis, ‘serangan’ terhadap pandangan dan aturan adat, sebagaimana dikemukakan Taufik Abdullah dalam pengantar buku-nya Ali Akbar Navis itu, sudah lama terjadi, sebutlah sejak kritikan yang dilancarkan Syekh Achmad Khatib hingga para penggerak perang padri (yang juga disinggung secara tersirat oleh Ali Akbar Navis dalam salah satu sub bab bukunya itu yang memaparkan kronik dan ringkasan kesejarahan Minangkabau), yang menganggap sejumlah adat dan tradisi yang telah terkristalisasi menjadi kebiasaan sehari-hari di masyarakat Minangkabau, bertentangan dengan semangat dan nilai kemurnian Islam. Memang tidak sedikit yang membaca dan menilai gerakan padri di Sumatara Barat sangat mirip dengan gerakan puritan yang dilancarkan Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia di era melemah dan runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani di kawasan Asia Barat (Timur Tengah), meski apakah ideologi keagamaan para tokoh gerakan padri di sana adalah Wahabi atau bukan, masih diperdebatkan. 


Konflik dengan Eropa dan Politik Etis

Yang tidak boleh dilupakan, selain konflik dengan Eropa (Barat), masyarakat Minangkabau, setidak-tidaknya sejak awal abad 20 (sekira sejak tahun 1900-an), mengadopsi nilai-nilai ‘Barat’ yang dirasa relevan bagi kemajuan, terutama dimulai oleh kalangan elite dan kelas menengah yang kemudian juga dikenal sebagai para bapak bangsa Indonesia, semisal Mohammad Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Sutan Syahrir dan yang lainnya hingga tidak ketinggalan kaum perempuannya seperti Ruhanah Kudus. Adopsi dan adaptasi tidak diragukan lagi terjadi sejak diberlakukan politik etis di Hindia-Belanda yang melahirkan kaum cendekia di Indonesia termasuk di Minangkabau. Kaum cendekia dan elite Minangkabau itu selain berpakaian ala Eropa, juga kemudian merombak dan memperbaharui bentuk dan metode pendidikan di Sumatera Barat. Konflik sekaligus adaptasi Minangkabau dan Barat (Eropa), dalam khazanah sastra sebagai contohnya digambarkan oleh Marah Rusli lewat novel Siti Nurbaya yang mempertentangkan dua tokoh: Syamsul Bahri (yang ter-Eropa-kan atau kaum pembaharu) dan Datuk Maringgih (sebagai wakil adat-lokal Sumatera Barat yang menentang Eropa atau Barat). Hanya saja, novel itu menyisakan akhir ironis dan ambigu di mana baik Syamsul Bahri atau pun Datuk Maringgih sama-sama berakhir tragis, seakan-akan mereka berdua (Syamsul Bahri yang ter-Eropa-kan dan Datuk Maringgih yang kukuh dengan adatnya) sama-sama kalah atau tidak menang.   


Setidak-tidaknya, dari peristiwa Perang Padri di Sumatera Barat di abad ke-19 yang berlangsung cukup lama itu, konflik dan ketegangan antara adat dan kepercayaan keagamaan tertentu juga diaktori oleh ‘orang dalam’ suatu masyarakat atau bangsa yang telah menerima pandangan dan ideologi tertentu yang lahir dan muncul di luar wilayah tempat tinggal mereka. Dalam hal ini, orang-orang Minangkabau bukannya ‘menyebarkan’ atau pun ‘mempertahankan’ pandangan kearifan lokal mereka, melainkan justru membawa pandangan asing untuk diberlakukan di tempat dan wilayah Minangkabau. Para aktor Perang Padri itu mendapatkan pemahaman dan ideologi ‘baru’ yang diserapnya selama beberapa tahun dan kemudian diterima oleh mereka secara mantap justru terjadi di perantauan, di Saudi Arabia di masa-masa gerakan yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab sedang gencar-gencarnya. 

Seperti dinarasikan oleh Ali Akbar Navis dalam bukunya berjudul Alam Terkembang Jadi Guru itu, sebagian para penggerak dan pemimpin Perang Padri itu bahkan tak segan-segan menghabisi nyawa sesama orang Minangkabau hingga kerabat mereka sendiri. Konflik waawasan dan pandangan ideologis yang kemudian menjadi konflik fisik itu kemudian, seperti dinyatakan Taufik Abdullah dalam pengantar buku tersebut, telah mengubah order dan pandangan masyarakat Minangkabau terkait adat dan agama, yang kemudian terkristalkan dalam rekonsiliasi: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Peristiwa dan fenomena itu membuktikan bahwa order dan pandangan yang baru dan berbeda dari order dan pandangan sebelumnya acapkali terjadi dari interaksi dengan yang diluar dan dari konflik atau ketegangan. Dan ternyata pula, aturan etnik masyarakat terbukti pula, dalam contoh kasus masyarakat Minangkabau, itu mendapatkan pengaruh dari pandangan dan wawasan ideologis yang lahir dan berkembang di tempat lain yang jauh, yang kemudian diterapkan di Minangkabau.  


Ketegangan hingga pertarungan (konflik) ideologis dan praktis antara wawasan dan praktik yang satu dengan yang lainya, justru lebih cair dan lebih massif di era perkembangan teknologi informasi saat ini, di era industri kebudayaan dan perkembangan teknologi informasi, ketika keunikan pandangan dan praktik banyak masyarakat dan bangsa menghadapi gempuran homogenisasi kapitalisme teknologi informasi dan industri budaya. Dalam kasus Ali Akbar Navis, kritiknya atas adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan kritiknya Achdiat Karta Miharja dan Sutan Takdir Alisyahbana dalam peristiwa Polemik Kebudayaan. Diantara contoh kritik yang dilancarkan Sutan Takdir Alisyahbana dan Achdiat Karta Miharjda adalah ‘budaya’ dan ‘praktik’ feodalisme yang membunuh banyak masyarakat di Indonesia, sehingga bahkan seakan-akan ‘membenarkan’ ketidak-adilan yang justru menimpa rakyat banyak. Selain itu, Sutan Takdir Alisyahbana dan Achdiat Karta Mihardja juga mengkritik takhayul atau hal-hal yang bertentangan dengan nalar dan hukum alam, yang juga sama-sama mematikan rasionalitas masyarakat, hingga masyarakat kita terbelakang secara sains dan ilmu pengetahuan modern, dan akibatnya sangat lambat untuk menjadi masyarakat yang berdaya dan sanggup menolong diri mereka sendiri, serta mampu mengejar ketertinggalan politik dan ekonomi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. 


Kearifan Lokal dan Ironi Modernitas 

Sebenarnya, diantara yang ‘mempercepat’ punah dan usangnya aturan dan praktik adat atau tradisi adalah ketika telah tak sanggup memenuhi kebutuhan praktis hidup sehari-hari kekinian, yang salah-satu faktornya karena berubahnya secara dramatis bentuk-bentuk dan pembagian kerja, serta meluasnya perkotaan, industri dan perkembangan cepat teknologi informasi. Yang terjadi kemudian adalah generasi penerus dalam masyarakat adat malah menerima gaya dan praktik hidup modern-mutakhir, seperti yang dilakukan sejumlah lelaki dan perempuan remaja Baduy Banten, yang bahkan gadget atau gawainya lebih mewah dari yang dipakai kebanyakan orang. Di sisi lain, homogenisasi gaya dan praktik hidup akibat globalisasi teknologi informasi dan industri budaya, melahirkan banyak residu yang mengancam kemanusiawian manusia: politisasi media untuk kepentingan yang sifatnya manipulatif, bisnis hoax, disinformasi, merebaknya kemalasan untuk melakukan analisis, melemahnya kapasitas atensi, menguatnya narsisme dan egoisme, menurunnya daya-tahan dan minat membaca narasi dan tulisan panjang, hingga terbunuhnya kapasitas kritisisme karena serbuan informasi yang justru membludak. 


Hanya saja, bukan tidak mungkin, ketika dunia dan gaya hidup serta budaya kerja yang melelahkan terus-menerus mendera, manusia-manusia modern yang terasing dan tercerabut, mengalami kekeringan ruhani itu malah mencari siraman-siraman demi menyejukkan kerontang batin mereka sebagai dampak dari dunia rutinitas kerja saat ini, hingga mencari dermaga dan pelabuhan pelarian untuk memenuhi keletihan jiwa dan kebosanan hati-nya pada apa yang jsutru diramalkan akan musnah, seperti agama. 


Tidak heran jika kemudian merebak pula pandangan-pandangan religius dan ritual-ritual keagamaan posmo, yang tak jarang berisi sinkretisme dan bercorak hibrid, yang kadangkala disebut spiritualitas tanpa agama. Tidak sedikit pula yang kemudian menggali kearifan-kearifan lokal komunitas-komunitas tradisional dan masyarakat-masyarakat adat, hingga merebaknya penerbitan buku-buku tentang kearifan tradisional, ekosofi hingga spiritualitas mutakhir, yang tak jarang pula bercampur aduk dengan pandangan-pandangan yang mirip doktrin-doktrin religius bercampur pseudo-science sebagaimana doktrin-doktrin keagamaan resmi. Di fase dan tren inilah, seringkali pula ‘alam’ kembali menjadi inspirasi dan ‘guru’ mereka yang mengalami kejenuhan dan keletihan hidup di dunia briokratis yang membuat mereka telah menjadi mesin demi berjalannya roda-roda kecil dan mesin-mesin raksasa korporasi dan kapitalisme. 


Alam Terkembang Jadi Guru dalam konteks dunia saat ini juga dapat dimaknai sebagai upaya menghidupkan ekosofi atau wawasan yang tak lagi memandang manusia sebagai pusat semesta, tapi hanya bagiannya saja: “Falsafah alam Minangkabau meletakkan manusia sebagai salah-satu unsur yang statusnya sama dengan unsur lainnya, seperti tanah, rumah, suku dan nagari…..” (Ibid, h. 60) “Alam dan segenap unsurnya mereka lihat senantiasa terdiri dari empat atau dapat dibagi dalam empat, yang mereka sebut nan ampek (yang empat). Seperti halnya: ada matahari, ada bulan, ada bumi, ada bintang, ada siang, ada malam, ada pagi, ada petang, ada timur, ada barat, ada utara, ada selatan; ada api, ada air, ada tanah, ada angin. Semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya itu saling berhubungan tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tapi tidak saling melenyapkan, dan saling mengelompok tapi tidak saling meleburkan…” (Ibid, h. 59) “Bila alam dengan segala unsurnya itu dikiaskan kepada kehidupan manusia, sebagaimana mereka mengiaskan alam sebagai tanah air Minangkabau-nya, maka pemahaman unsur alam bermakna sebagai lembaga atau individu dalam masyarakat mereka.” (Ibid, h. 60) 


Sebagai elaborasi dan pelebaran dari dan untuk mengkomparasi wawasan dan pandangan kearifan lokal masyarakat-masyarakat di Indonesia, yang memang mayoritas dari mereka ‘menghormati’ alam dan menempatkan diri mereka secara rendah hati hanya sebagai bagian dari alam, dan bukan berparadigma Barat-Cartesian yang memandang manusia sebagai subjek dan pusat semesta sementara alam sebagai objek, hingga kemudian dieksploitasi demi memenuhi keserakahan, adalah relevan menyimak Ensiklik Paus Fransiskus yang disosialisasikan melalui sejumlah bahasa pada 18 Juni 2015 silam (yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Martin Harun OFM), yang konsen dan fokus serta konten-nya adalah keharusan dan keniscayaan untuk merawat dan menjaga bumi (alam) sebagai rumah bersama ummat manusia: 


“Akselerasi terus-menerus dalam perubahan-perubahan yang menyangkut ummat manusia dan planet ini, sekarang ini ditambah dengan intensifikasi irama hidup dan kerja yang dalam bahasa Spanyol disebut ‘rapidacion’ (percepatan). Meskipun perubahan adalah bagian dari dinamika sistem-sistem yang kompleks, kecepatan yang sekarang dipaksakan kepadanya oleh aktivitas manusia, berkontras dengan kelambanan alamiah evolusi biologis. Selain itu, tujuan perubahan yang cepat dan konstan ini tidak selalu diarahkan kepada kesejahteraan umum atau kepada pembangunan manusiawi yang integral dan berkelanjutan. Perubahan sesuatu yang diinginkan, namun menjadi sumber kecemasan ketika itu menyebabkan kerugian untuk dunia dan untuk kualitas hidup sebagian besar ummat manusia.” (Ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus, penerjemah: Martin Harun OFM, Penerbit OBOR h. 14)


Alibi ‘percepatan’ untuk pencapaian material dunia kerapkali tak lebih topeng demi membenarkan kerakusan dan keserakahan, hingga mengancam kesehatan dan kelangsungan hidup banyak orang ketika alam dan lingkungan rusak, termasuk biasanya yang paling ‘menderita’ sebagai imbas dan dampaknya pada akhirnya tetap saja kaum miskin yang tidak sanggup ‘membeli’ ragam kebutuhan hidup bahkan untuk kebutuhan yang paling primer sekalipun, di saat orang-orang kaya yang menjadi kaya dari eksploitasi alam dan lingkungan sanggup menikmati kemewahan berkat monopoli dan kepemilikan kapital sebagai hasil dan ‘keuntungan’ dari keserakahan mereka mengeruk dan mengekspolitasi alam dan lingkungan. Alam bagi mereka ‘dipandang’ sebagai objek untuk dikuras dan dieksploitasi demi kepuasan dan keserakahan, demi kekayaan material mereka, di saat kearifan lokal komunitas tradisional dan masyarakat adat memandang dan memperlakukan alam dengan sakral dan menghormatinya, agar tetap terwariskan secara sehat dan lestari bagi generasi selanjutnya, bukan membisniskannya, melainkan mewariskannya, mewariskan kehidupan –bukan membisniskan kehidupan seperti yang dipraktikkan masyarakat modern yang berparadigma rasionalitas instrumental dan senantiasa dipacu motif bisnis ketika melihat dan memandang alam. 


Komunitas adat dan masyarakat tradisional di bangsa kita, Indonesia, sebagai contoh, tidak mengenal istilah ‘agrobisnis’ atau bisnis pertanian sebagaimana masyarakat dan dunia modern. Pertanian dan produksi pangan masyarakat tradisional dan komunitas-komunitas adat di bangsa kita, banyak yang tidak memiliki motif untuk menjual hasil ‘ngahuma’ atau pertanian mereka, seperti dipraktikkan kasepuhan-kasepuhan Sunda di Banten Kidul (Kabupaten Lebak, Banten dan Sukabumi, Jawa Barat). Praktik pertanian mereka juga mengandung dan sarat praktik dan wawasan konservasi atau pelestarian alam dan lingkungan –tidak ada motif dan hasrat eksploitatif, dan karenanya mereka mengenal dan mempraktikkan waktu-waktu tertentu untuk mulai menanam, hingga melakukan ritual-tradisi mereka sebelum menanam (selamatan) dan syukuran setelah panen (seren taun), semisal yang dilakukan Kasepuhan Cisungsang, Ciptagelar dan yang lainnya. 


Paradigma Cartesianisme-Barat dan rasionalitas instrumental kapitalismenya, ternyata memang menggiring manusia melakukan kekeliruan dalam memandang alam dan lingkungan. Peradaban industri dunia modern, telah terbukti, membesarkan sisi gelap kerakusan dan keserakahan yang menyumbang besar kerusakan alam dan lingkungan –berkebalikan total dengan kearifan lokal dan praktik hidup komunitas adat dan masyarakat agraris tradisional yang selaras dengan alam dan lingkungan. Subjek Cartesianisme terbukti mengandung dan memuat hasrat untuk menaklukkan ‘alam’ dan paradigma rasionalitas instrumental kapitalisme modern menjadi rahim bagi lahirnya kolonialisme dan imperialisme. Berkebalikan total dengan ‘kerendahhatian’ banyak kearifan lokal masyarakat kita yang melihat alam dan dunia bukan untuk ditaklukkan dan dibisniskan, melainkan dilihat dan dimaknai sebagai rumah bersama ummat manusia yang harus dijaga dan dirawat layaknya sebagai tempat tinggal agar kita merasa aman dan betah untuk menghuni-nya. 


Modernitas Barat melupakan alam sebagai bukan yang mereka ciptakan, dan karenanya manusia tidak akan sanggup menggantinya bila alam rusak dan hancur, yang pada akhirnya menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri. Rasionalisme Barat itu ternyata hanya topeng will to power, hasrat untuk berkuasa atau hasrat untuk menaklukkan, yang terbukti secara politik dan ekonomi mewujudkan diri mereka dalam bentuk dan praktik kolonialisme dan imperialisme. 


Marshall Berman, sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang, sebagai contoh, menganalogikan modernitas sebagai salah-satu pengalaman Faust-nya Johann Wolfgang Von Goethe, modernitas sebagai tragedi –menghancurkan segala yang lama, tradisi hingga penemuannya sendiri. Mengandung paradoks: kemajuan dan pengorbanan: “Menjadi modern artinya adalah hidup dalam paradoks dan kontradiksi. Hidup yang dikuasai secara berlebihan oleh organisasi birokrasi raksasa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol dan seringkali menghancurkan semua masyarakat, nilai, dan kehidupan…..Menjadi modern adalah menemukan diri kita sendiri di dalam suatu lingkungan yang menjanjikan kita pengembaraan, kekuasaan, kesenangan, pertumbuhan, transformasi diri kita sendiri dan dunia kita –dan dalam waktu bersamaan, merupakan ancaman untuk menghancurkan semua yang kita miliki, semua yang kita tahu, semua kita.” (Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra 2003, h. 93-94) 


Senada dengan Marshall Berman, Sonny Keraf menyatakan bahwa filsafat dan pandangan saintifik modern Barat, yang merupakan kelanjutan dari gerakan pencerahan, dalam memandang alam berparadigma mekanistis yang dipelopori Rene Descartes dan Isaac Newton: “Dalam perspektif paradigma mekanistis ini, alam semesta –demikian pula organisme- dipandang sebagai mesin yang terdiri dari bagian-bagiannya yang terpisah. Alam semesta, termasuk organisme, hanya terdiri dari materi, yang pada dasarnya adalah sebuah mesin yang hanya bisa dipahami sepenuhnya dengan menganalisisnya dalam bagian-bagiannya yang terpisah. Dan karena itu, organisme berkembang dan hanya bisa dipahami dengan mereduksinya kepada bagian-bagiannya seakan bagian itulah yang menentukan keseluruhan organisme tadi.” (A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, Penerbit Kanisius 2014, h. 12-13)


Semangat antroposentrisme dan Cartesianisme Barat yang menempatkan manusia sebagai pusat semesta menumbuhkan hasrat penaklukan dan kerakusan, berbeda dengan kearifan lokal yang menekankan keseimbangan manusia dan alam. Modernitas dengan budaya konsumtif kapitalisme massa melahirkan residu, pencemaran, dan pemanasan global. Karena itu, kearifan lokal yang diwariskan leluhur perlu digali, dijaga, dan diaktualkan kembali demi keberlanjutan hidup manusia dan alam.


_________


Penulis


Sulaiman Djaya, esais dan penyair.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com

Wednesday, October 8, 2025

Puisi Jawa Banten | Oki Khaeri Rojab

Puisi Jawa Banten Oki Khaeri Rojab



Wulan ing Srengenge


Adar ider -- Adar ider -- Adar ider

Lanang linglung 

Ngilar demen – nilar kedemen 

Ngilari sebab lan musabab perkare acak 

Wong wadon dados srengenge 

-- dados wulan ing dinten peteng 

Malihe 

mulih

Ing hikayat wong tuane sedanten


Telas Chandra pun Devvita

Sedanten lare lan pepeke boten rempug den jabar-jeri 

Botan antuk jengkat pun malih tetande

Sekalihe kantos 

Ngantosaken demen maring kang haqq

Kang ngeratoni sedanten luhuq


Wadon ngan pepaes 

Wadon ngan pepeke

Kedah dirupie

Kedah ditelikani 


Amben, Gili kaliasin – 1444H



Deluang Kuning


Blak ngeblak

Samar-samar perkare rumped 

Diblakaken 

Bakekok!


Kelawan dhomah

Sing ngegantungaken mim ing dalem gumantunge kawitan

Tur kho' kang maparing kabar saking Khaibar 

Welad gede

Sinten setuhune raje lan pengeran


Pok Menare, Singarajan -- 24 Feb 2022

 


Nariyyah


Nun saking Nariyyah

Ing taun sewu wolungatus wolungpuluh wolu

Nun ing nariyah

Umpetne tetande noktah

Macehe sedanten wong Banten


Nun saking Nariyyah

Ing patangewu patangatus patangpuluh papat

Rep -Pepasten mace kedah sirep

Eling lambe mingkem

Ati kang kedah usik


'Ala hadihinniyah

Walikullinniyatin sholihah


Maqbaroh Baituttaqwa, Singarajan - 10 Robi’ul Akhir 1447H


_________


Penulis


Oki Khaeri Rojab, tukang ngelamun.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Tuesday, October 7, 2025

Proses Kreatif | Sebelum Menulis Esai

Oleh Encep Abdullah 



Pertama, kita awali dengan basmalah! 


Kebanyakan penulis lupa berdoa sebelum menulis. Seolah dianggap tak penting. Padahal, berdoa berarti ada nilai luhur di sana, yakni spiritual. Apa yang Anda tulis akan dibaca banyak orang. Tulisan Anda sedikit-banyaknya akan berpengaruh terhadap diri Anda dan orang lain. Setidaknya, dengan berdoa, apa yang Anda tulis punya energi dan ruh yang berbeda karena Tuhan berperan di sana. Kalau Anda nonmuslim, berdoa sesuai keyakinan Anda. Kalau Anda ateis, berdoa dengan ketidakateisan Anda. 


Kedua, apa yang dilihat di sekitar Anda? 


Sering kali kita abai terhadap sesuatu yang terlihat di sekitar kita. Padahal, setiap apa yang kita lihat bisa jadi tak akan terulang lagi, seperti halnya momentum seorang fotografer yang melihat keunikan seekor burung “nangkring” di pohon. Bisa jadi besok tidak ada lagi peristiwa itu. Oleh sebab itu, dengan cepat dan tanggap, seorang fotografer harus langsung menjempretnya. Begitu juga saat Anda hendak menulis. Dulu, saya sering mencatat langsung di HP dan buku catatan terkait hal-hal kecil yang terjadi di sekitar saya. Seperti halnya fotografer tadi, mencatat momentum. Tidak harus utuh, bisa berupa potongan-potongan pikiran yang mungkin sepintas lewat dalam pikiran. Karena, tidak semua peristiwa bisa langsung dieksekusi menjadi tulisan utuh. Untuk beberapa hal, kadang saya tulis di SW atau Facebook. Kelak, nanti jadi bahan untuk ditulis.


Ketiga, apakah Anda merenungi setiap peristiwa yang dialami? 


Setiap orang punya pengalaman yang berbeda sekalipun peristiwanya sama, misalnya pengalaman “ditolak cewek” atau hal-hal metafisik seperti salat, puasa, haji, dst. Perbedaannya, yang membuat pengalaman itu menjadi berharga terletak pada kontemplasinya. Coba Anda perhatikan para filsuf, para sufi, para sastrawan, misalnya. Mereka itu para perenung sejati. Mereka merefleksikan setiap peristiwa, bahkan hal-hal kecil yang luput dari pengamatan orang pada umumnya. Seperti halnya pernyataan Sokrates yang terkenal itu: “Hidup yang tak diperiksa adalah hidup yang tak layak untuk dijalani”. Beberapa buku yang saya tulis juga berangkat dari apa yang saya alami dan renungi. Bagaimana lika-liku pertarungan saya selama belasan tahun menekuni dunia kepenulisan dan komunitas. Bahkan, saya juga menulis buku catatan pernikahan dan tingkah laku anak-anak saya yang menurut saya itu sangat berharga untuk diabadikan, bahkan banyak orang yang suka—padahal menurut saya, itu cerita receh dan sempat ditegur oleh Arip Senjaya karena harusnya saya tidak menulis buku macam begitu. Tapi, semua itu proses, juga momentum yang memang refleksi saya sedang seputar itu. Saya tidak menyesali setiap karya yang saya lahirkan. Jadi, mulai saat ini rajin-rajinlah Anda memeriksa, merenungi, merefleksikan setiap peristiwa yang Anda alami. Jangan disimpan sendiri, tapi sebarkan kepada publik.


Keempat, bertanyalah kepada diri sendiri, buku apa yang sudah Anda baca? 


Bila Anda terlahir dari orang tua yang berpendidikan dan literat, selamat, berarti langkah Anda bisa lebih mudah sebelum menuliskan sesuatu. Anda yang terlahir dari keluarga atau lingkungan yang membaca, saya yakin akan berbeda cara berpikirnya. Saya selalu percaya itu karena saya juga mengajar di dua sekolah yang berbeda, yang tingkat literasinya juga berbeda. Yang satu, penduduknya doyan baca. Yang kedua, tidak terlalu suka—biasa saja (untuk tidak mengatakan cuek). Perbedaannya sangat kontras, baik mental, cara berpikir, berbicara, maupun menulisnya. Ada satu murid saya, dia badung, jarang masuk kelas, jarang mengerjakan tugas, tapi dia rajin baca. Saat saya kasih tugas menulis, kebetulan dia menulis esai, tulisannya sangat bagus dan filosofis. Karena badung, saya tidak terlalu banyak tahu tentang anak ini. Lalu, saya tanya “Kok bisa kamu menulis dan berpikir semacam ini?” Ia menjawab “Mungkin karena banyak baca buku kali ya, Pak.” Walaupun dia sendiri tidak yakin, saya sangat yakin memang itu salah satu faktor utamanya. Orang-orang yang tidak membaca buku, biasanya pikirannya semrawut dan berantakan saat menyusun kalimat. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Lalu, bagaimana dengan Anda yang memang tidak terlahir dari keluarga atau lingkungan yang membaca? Stop sekarang! Mulai saat ini, mulailah dari diri Anda! Jadilah pembaca buku sebagai upaya pengembangan diri bahkan perintah Tuhan “Iqra”—walaupun artinya sangat luas, tidak hanya membaca buku. 


Kelima, karya apa yang pernah Anda tulis?


Masa SMA saya senang menulis puisi dan diary—salah satu efek jatuh cinta melanda saya saat itu. Saya menulis secara acak dengan bahasa apa adanya. Kalau saya baca ulang, saya menemukan diri saya yang “alay”, “masa puber”, bahkan “menjijikan”. Tapi, itu proses. Bagi saya, tidak ada karya yang buruk selama sedang berproses. Beda cerita bila Anda sudah bertahun-tahun menulis, tapi tidak ada perubahan sedikit pun pada karya Anda, berarti Anda tidak belajar dengan sungguh-sungguh, atau tidak konsisten/istikamah dengan benar, atau tidak totalitas, atau memang tidak punya bakat (?)—mungkin kita bisa mendiskusikannya di luar tulisan ini: tentang bakat dan keterampilan, Anda percaya mana? 


Keenam, ingat-ingatlah pesan Buya Hamka—saya kutip dari film Buya Hamka 2


”... mengaranglah dengan ilham, tulislah apa yang kau lihat, yang kau alami, yang kau rasakan. Nah, setelah itu, baru lengkapi dengan bacaan.” 


***


Tentang esai, kalau Anda belum tahu siapa bapak esai pertama, saya kasih tahu. Ia bernama Michel de Montaigne yang hidup di abad ke-16 (1533-1592). Pria berkebangsaan Prancis ini menerbitkan buku berjudul Essais pada tahun 1580 yang kemudian dilanjutkan oleh penulis Inggris Francis Bacon tahun 1597 dengan kemasan lebih ringkas dibandingkan dengan tulisan Montaigne. Bedanya, Montaigne menulis lebih personal, sedangkan Bacon lebih umum/universal. Kemudian, bermunculan esais setelahnya, di antaranya John Locke (abad ke-17), Immanuel Kant (abad ke-18), Charles Baudelaire (abad ke-19), George Orwell (abad ke-20), dan Albert Camus (abad ke-20). Di Indonesia ada Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jasssin, Goenawan Muhamad, Soekarno, Budi Darma, Gusdur, Mahbub Djunaidi, Emha Ainun Nadjib, Eka Kurniawan, hingga yang kekinian Iqbal Aji Daryono. 


Kata essayer dalam bahasa Prancis (atau essay dalam bahasa Inggris) berarti ‘percobaan’ atau ‘usaha’. Hampir keseluruhan isi buku Montaigne adalah berbicara tentang diri sendiri, bahkan ia mengatakan "Saya sendiri adalah persoalan dari buku saya". Mungkin pernyataan ini bisa kita renungkan bersama. Sebagaimana yang disampaikan Agus R. Sarjono dalam sebuah pengantar buku Horison Esai Indonesia Kitab 1. Singkatnya begini: (1) Anda menulis sastra, fokus Anda pada subjek dan kaidahnya [objek dikesampingkan]; (2) Anda menulis karya ilmiah, fokus Anda pada objek dan kaidahnya [subjek dikesampingkan]; (3) Anda menulis esai, fokus Anda pada subjek dan objeknya [kaidah dikesampingkan]. Artinya, yang disampaikan Montaigne “Saya sendiri adalah persoalan ...” karena memang diri Anda yang menjadi subjek dan objek untuk dituliskan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ignas Kleden dalam penutup buku Horison Esai Indonesia Kitab 2 bahwa esai mempunyai posisi yang unik karena ia membuka dirinya terhadap objektivitas maupun subjektivitas. 


Apa kira-kira yang ada dalam diri Anda tentang subjek dan objek ini, tidak lain adalah diri Anda dan pengalaman Anda (yang direfleksikan). Boleh jadi Anda memadukan antara sesuatu hal yang sudah terjadi, sedang terjadi, atau kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Barangkali inilah yang disebut “percobaan” atau “upaya” itu. Biar tidak panjang lebar, mari kita baca contoh potongan esai para penulis berikut. 


_________


“Imajinasi yang kuat menciptakan peristiwa itu sendiri,” kata para sarjana. Saya termasuk orang yang merasakan kuatnya kekuatan imajinasi. Semua orang terkena dampaknya, tetapi ada yang sampai tumbang olehnya.


Imajinasi meninggalkan bekas yang dalam pada diri saya; saya tidak memiliki kekuatan untuk menolaknya. Maka, keahlian saya hanyalah menghindarinya—dengan cara hidup di antara orang-orang yang sehat dan ceria. Melihat penderitaan orang lain dapat menimbulkan penderitaan fisik dalam diri saya; perasaan saya kerap dikuasai oleh perasaan orang lain. Orang yang batuk terus-menerus bisa membuat paru-paru dan tenggorokan saya ikut teriritasi. Saya lebih enggan mengunjungi orang sakit yang wajib kukunjungi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu kukenali atau kusayangi. Ketika saya memperhatikan penyakit, saya justru ikut terkena dan seakan menanamkannya ke dalam tubuh saya sendiri. Saya tidak heran jika imajinasi membawa demam dan kematian bagi mereka yang memberi jalan dan ruang sepenuhnya padanya. (Michel de Montaigne dalam esai “Kekuatan Imajinasi” [Essais Volume I]) 


_________


Pada masa kecil memang saya menghafal, tetapi bukan dalam bahasa Ibu, melainkan dalam bahasa Arab dan Belanda. Tetapi ketika sudah sedikit berakal, saya sesali dan saya bantah kebiasaan saya itu. Ketika itu saya sadar, bahwa kebiasaan menghafal tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan saya bodoh, mekanis, seperti mesin. Yang saya ingat bukan lagi arti sebuah suatu kalimat, melainkan bunyinya atau halaman buku di mana kalimat tadi tertulis. Pula kalau pelajaran itu terlalu banyak, sudahlah tentu tak bisa dihafalkan lagi. Tetapi saya juga mengerti gunanya pengetahuan yang selalu ada dalam otak. Begitulah saya ambil jalan tengah: padu yang baik dari kedua pihak. (Tan Malaka dalam ”Pendahuluan MADILOG”)


_________


Antara biru langit dan biru laut, kapal kami melaju. Di hadapan terbentang horison, kakilangit yang melambai dan selalu luput dari gapaian. Kabut sudah lama berangkat. Matahari berleha-leha di angkasa sambil melambaikan panas pagi dan cahayanya. Lalu, bermunculan di jauhan sana pulau-pulau batuan dalam warna oker, seperti pinggul perawan, bagai puisi tak tertuliskan. Pak Hasanuddin sang nakhoda bersandar santai dengan rokoknya, sekilas memandangi kapalnya yang lumayan besar itu hanya berisi sedikit penumpang. Penyair Taufiq Ismail bersandar santai di dinding geladak. Membaca buku panduan tulisan orang asing (tulisan siapa lagi?) tentang tanah airnya, sambil sesekali mencocokannya dengan posisi perahu. Mungkin dia mengenang masa remajanya dulu, bersandar di geladak kapal melintasi lautan besar dan benua menuju Amerika sana. Masa-masa muda yang jingga. Yang kini menjelma kakilangit, jauh di sana. (Agus R. Sarjono dalam esai ”Laut, Komodo, Sastra” [Horison Esai Indonesia Kitab 2])


_________


Sejumlah santri senior menghadap kiai. Perkara yang mereka bawa sudah gawat. Sudah diambang batas toleransi. Maka, jalan keluar harus ada demi nama baik pesantren.


”Kia,” kata salah seorang santri. ”Kita mesti bertindak sekarang juga.”


Kiai yang sudah tua itu manggut-manggut. Wajahnya memancarkan sikap simpati yang dalam pada perjuangan para santri. Upaya mempertahankan tegaknya kewibawaan pesantren memang luhur. Mengapa barang luhur tak harus didukung?


”Bukan apa-apa, Kiai,” sambung yang lain. ”Dia sudah keterlaluan.”


Kiai masih manggut-manggut.


”Apa perlu dia kami panggil menghadap kiai?” tanya santri yang lain lagi.


”Tidak, ” sahut kiai kalem.


”Lho?” para santri kaget. ”Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?”


(Mohamad Sobari dalam esai ”Anak Nakal” [Horison Esai Indonesia Kitab 2])


_________


Rasa tidak tegaan yang terlalu cengeng dan bekal hidup berupa rasa bersalah di dalam jiwanya kepada Tuhan yang terlalu dimendalam-mendalamkan, membuat Markesot mengambil kuda-kuda rohani dan takaran sosial seolah-olah ia seorang Nabi, atau sekurang-kurangnya seorang Wali.


Tetapi sama sekali tidak dengan bekal ilmu, kekuatan mental, kualitas rohani dan kecerdasan sejarah sebagaimana layaknya Tuhan menganugerahkan kepada utusan-utusan-Nya. Markesot bahkan bukan orang istimewa yang memiliki keunggulan atas sesama orang awam pun. Markesot tidak punya keunggulan ilmu, pengetahuan, kepandaian atau kehebatan-kehebatan apapun.


Aslinya terus terang bahkan Markesot tidak cukup berpendidikan. Di Pesantren hanya satu-dua tahun, sekadar diajari alif ba ta ditambah beberapa mahfudlat dan satu dua ayat dan hadits. Jangan sekali-sekali mempersoalkan apakah dia belajar Kitab Kuning, mengetahui khazanah ilmu-ilmu agama dari abad ke abad, atau apakah dia mengerti nahwu sharaf. Sebab jawabannya sangat terang benderang: sama sekali tidak. (Emha Ainun Nadjib dalam esai ”Markesot Patah Hati”, 31 Maret 2016, https://www.caknun.com/2016/markesot-patah-hati/)


_________


Ceritanya, ada dua kawan cewek sedang ngobrol. Saya nguping. Persis ketika obrolan mereka menyerempet topik bau badan, mereka ngikik bersama. Tapi tiba-tiba keduanya lekas menyetop tawanya, waktu sadar saya sedang di dekat mereka!


Saya merasa sedang membaca kode gamblang semacam: “Eh orangnya di sini!”


Cleguk! Bau ketek! Asemmm! Setengik itukah ketek saya??


Dengan panik, segera saya mencari kepastian. Saya bertanya ke orang-orang terdekat. Tentu emak saya yang paling bisa saya tanyai. Dan ternyata, segalanya terkonfirmasi. Ini benar-benar aib tak tertanggungkan.


Mekanisme konfirmasi atas bau ketek itu memang vital dan mendasar. Kita telah kehilangan jarak objektif dengan tubuh kita sendiri. Kita tidak bisa menilai badan kita, terutama perkara bau. Manusia dibekali kemampuan berdaptasi yang terlalu sempurna atas bau. Bau busuk yang terus-menerus Anda hirup lama-lama akan netral saja di hidung Anda. (Iqbal Aji Daryono dalam esai ”Bau Ketek, Akar Konflik Sosial Paling Serius”, 3 November 2019, https://mojok.co/esai/bau-ketek-akar-konflik-sosial-paling-serius/#goog_rewarded)


_________


Menulis esei? Tentu saudara bisa, asal mau. Jangan kuatir yang penting bagi seorang esais atau kritikus hanyalah kelihatan pandai. Untuk kelihatan pandai Saudara dapat menempuh jalan cepat. Bukankah kita mempunyai kebudayaan ingin cepat mendadak, asal jangan sakit mendadak atau melarat mendadak? Saudara tidak perlu heran mengetahui bahwa sulap sudah diangkat menjadi saudara kandung sastra. Untuk kelihatan pandai Saudara bisa main sulap. Buatlah esei dengan kutipan dari sini situ, dari pengarang ini itu. Kalau perlu premis esei Saudara pun dapat Saudara mulai dengan kutipan entah dari mana, yang dapat memberi kesan bahwa Saudara pandai .... Atau Saudara pun dapat mengutip dari sana-sini yang memang benar-benar pernah diucapkan oleh orang ini dan itu, tapi lupakanlah konteksnya. Saudara tidak perlu merasa mengecoh, karena memang Saudara mengecoh. Saudara tidak perlu merasa pandir, karena Saudara kelihatan pandai. Dan membaca banyak tidak mempercepat Saudara mengetahui sesuatu. Membaca sedikit di sini sedikit di sana, melompat ke sini dan melompat ke sana, tentu lebih menyenangkan karena mendadak Saudara tahu banyak. (Budi Darma dalam esai ”Pemberontak dan Pandai Mendadak” [Solilokui, Gramedia, 1983])




Kalau Anda baca contoh-contoh di atas, teknik bagaimana mereka menulis esai begitu beragam. Barangkali esai tidak mengenyangkan sebagaimana Francis Bacon bilang bahwa esai lebih sekadar butir-butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan. Setidaknya, esai bisa jadi teman ngobrol santai Anda. Merefleksikan bersama tentang pengalaman dan segala kemungkinan dalam hidup. Meski sering kali, ia juga cerewet, jahil, nakal, sinis, bahkan humoris. Semua bergantung kepribadian si penulisnya. Bahkan, ada esai yang sengaja dimumet-mumetin biar terlihat keren dan sengaja bikin orang pusing. Nah, kalau Anda lebih suka yang mana dan mau menulis model esai yang bagaimana?


Selamat menulis!



Kiara, September 2025



Catatan:

Tulisan ini adalah materi yang disampaikan dalam acara Diklat Belistra (Bengkel Menulis dan Sastra) FKIP Untirta pada Sabtu, 27 September 2025 di Vila Bukit Cibetik, Taktakan, Serang.


__________


Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.



redaksingewiyak@gmail.com