View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Tuesday, April 29, 2025

Sosok Inspiratif | Asep Saya Hidayatullah | Penggerak TBM Al-Latif Mandalawangi Pandeglang



Asep Saya Hidayatullah, akrab disapa Kang Asep, lahir di Pandeglang pada 17 April 1994. Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, tumbuh di lingkungan petani sederhana yang menanamkan pentingnya pendidikan kepada seluruh anak-anaknya. Sejak kecil, Kang Asep telah diarahkan untuk belajar tanpa henti hingga ke jenjang perguruan tinggi.


Perjalanan pendidikannya dimulai di SDN Curuglemo 2. Setelah lulus, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Al-Munawwarah Cilegon, menyelesaikan pendidikan di MTs, SMA, hingga akhirnya kuliah di STKIP Banten, Serang. Sejak masa sekolah, Kang Asep aktif di berbagai organisasi: Pramuka, OSIS, PMR, Paskibra, hingga menjadi atlet Pencak Silat yang mengharumkan nama pondok pesantren hingga tingkat nasional.


Saat kuliah, jiwa sosialnya terus berkembang. Ia menjadi relawan Korps Sukarela PMI Kota Serang, mendirikan dan memimpin KSR STKIP Banten, ketua pertama Forum Remaja Banten, Founder Gerakan Literasi Masyarakat Pandeglang (GELIMANG) yang dididirikan pada tahun 2022 dan saat sebagai Ketua Forum Kabupaten Pandeglang, dan Pengurus PC GP Ansor Kab. Pandeglang. Setelah lulus, ia mewujudkan cita-citanya sebagai guru di MIN 2 Pandeglang.


Namun, perjuangannya untuk dunia pendidikan tak berhenti di situ. Melihat minimnya fasilitas literasi di kampung halamannya, Kang Asep pun berinisiatif mendirikan sebuah taman bacaan, yang kemudian dinamai TBM Al-Latif Mandalawangi.


Mari berkenalan jauh dengan TBM beliau!



1. Kapan TBM Al-Latif ini didirikan, Kang? Apa latar belakang dan makna filosofis dari nama TBM tersebut?


Taman Bacaan Masyarakat Al-Latif Mandalawangi berdiri pada 27 Oktober 2019. Latar belakang pendirian TBM ini adalah kegelisahan terhadap kondisi literasi di Kampung Cigobang, RT 003 RW 002, Desa Curuglemo, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Kesadaran literasi dan fasilitas pendidikan sangat minim, belum ada wadah untuk pengembangan minat, bakat, dan pembinaan karakter masyarakat. Saya berinisiatif mendirikan TBM ini untuk membantu masyarakat dan pemerintah dalam meningkatkan literasi, pendidikan, serta membentuk generasi yang berkualitas.


Makna Filosofis Nama Al-Latif:

  • Al-Latif berarti Maha Lembut. Harapannya, TBM ini dapat membina dan mendampingi anggota/masyarakat dengan kelembutan, tanpa tekanan, sehingga mereka belajar dengan nyaman sesuai karakter dan cita-citanya.

  • Warna dasar putih: Melambangkan kesucian.

  • Lingkaran hitam: Melambangkan ilmu yang luas dan kekal.

  • Pena: Melambangkan bahwa ilmu harus terus dipelajari.

  • Buku: Melambangkan jendela dunia, sumber ilmu pengetahuan.

  • Orang berwarna merah: Melambangkan semangat dalam berliterasi.

  • Orang berwarna ungu: Melambangkan keceriaan dalam berliterasi.

  • Orang berwarna hijau: Melambangkan kedamaian dan keseimbangan dalam pengembangan kemampuan.




2. Apa sih Kang kegiatan unggulan di TBM Al-Latif dan apa dampaknya bagi masyarakat?


Kegiatan Unggulan:

  1. Bimbingan karakter dan budi pekerti.

  2. Diskusi dan sosialisasi minat baca.

  3. Bimbingan belajar keagamaan dan umum.

  4. Pelestarian budaya dan kearifan lokal.

  5. Minggu CERIA (Cerdas, Ceria, Religius): Membaca buku, tahfiz Qur'an, pidato, latihan seni, pencak silat, olahraga, dan hasta karya.

  6. Santunan anak yatim, duafa, dan lansia.

  7. SILATIF (Silaturahmi TBM Al-Latif): Sosialisasi literasi melalui kunjungan ke masyarakat dan lembaga pendidikan.

  8. Gebyar Milad TBM: Peringatan tahunan dengan pentas seni, santunan, diskusi literasi, dan penghargaan untuk anggota berprestasi.

  9. Pengabdian kepada masyarakat melalui pendampingan belajar, sosialisasi, dan kolaborasi dengan sekolah, kampus, dan lembaga lain.

  10. Pembangunan fasilitas masyarakat, seperti sarana air bersih dan tempat wudu.

  11. Peringatan hari besar Islam melalui ngaji bersama dan lomba keagamaan.

  12. Peringatan hari besar nasional seperti upacara kemerdekaan dan lomba nasionalisme.

  13. Saba Petani: Praktik bertani dan sosialisasi literasi di kebun dan sawah.

  14. KOBUKA (Kolaborasi Terbuka): Kolaborasi dengan mahasiswa, peneliti, dan berbagai komunitas.

  15. SEMESTA (Seminar Edukasi Bersama TBM Al-Latif): Edukasi untuk relawan dan masyarakat.


Dampak Sebelum dan Sesudah TBM Berdiri:

  • Sebelum: Minim kegiatan literasi, kurang percaya diri berbicara di depan umum, ketergantungan pada gawai, dan pola belajar yang tidak teratur.

  • Sesudah: Meningkatnya minat baca, keberanian berbicara di depan umum, keterampilan sesuai karakter, banyak prestasi di sekolah, berkurangnya ketergantungan pada gawai, dan tersedianya sumber ilmu.




3. Dalam setiap komunitas, pasti ada problem khusus. Apa kendala TBM ini dan bagaimana cara mengatasinya, Kang?


Kendala:

  • Rendahnya kesadaran literasi masyarakat dan pemerintah.

  • Fasilitas yang belum memadai; kegiatan masih dilaksanakan di teras rumah.


Cara Mengatasi:

  • Membangun silaturahmi dan sosialisasi dengan tokoh agama, masyarakat, dan pemerintah.

  • Merekrut pengurus dan relawan (RELATIF).

  • Melakukan pembinaan literasi secara berkelanjutan.


Intervensi:

  • Awalnya, masyarakat kurang memahami manfaat TBM dan khawatir dengan kegiatan baru.

  • Namun, setelah berjalan, mereka merasakan dampak positifnya, sehingga perlahan penerimaan masyarakat meningkat.




4. Apa harapan jangka pendek dan jangka panjang TBM ini, Kang?


Harapan Jangka Pendek:

  • Meningkatnya literasi masyarakat.

  • Membuat antologi puisi untuk relawan dan anggota TBM.

  • Dukungan regulasi dan anggaran dari pemerintah untuk kegiatan literasi.


Harapan Jangka Panjang:

  • Membangun saung atau gedung untuk TBM Al-Latif.

  • Memfasilitasi beasiswa bagi anggota TBM.

  • Menyediakan laboratorium komputer untuk literasi teknologi.

  • Meningkatkan program santunan sosial berbasis literasi.




5. Terakhir, mungkin Kang Asep bisa kasih tips dan pengalaman bagi para calon pendiri TBM di mana pun berada!


Banyak orang yang ingin mendirikan TBM merasa terhambat karena tidak ada buku, tempat, atau dukungan. Ingatlah, kegiatan literasi tidak harus bergantung pada fasilitas lengkap. Mulailah dari apa yang ada, misalnya sosialisasi lingkungan. Niatkan dengan sungguh-sungguh, lakukan aksi nyata. Buku dan fasilitas lainnya akan mengikuti seiring perjalanan.


Pesan untuk pegiat literasi:

  • Niatkan hati dengan ikhlas.

  • Bergerak dan jangan berhenti walau menghadapi rintangan.

  • Sabar dan ikuti alur kehidupan seperti menyusun puzzle.

  • Bangun ekosistem positif untuk kesuksesan jangka panjang.

  • Jangan ragu untuk bergerak; lawan keraguan itu!



TBM Al-Latif sangat terbuka untuk semua kalangan, dengan konsep pembelajaran inovatif, kreatif, cinta budaya, kolaboratif, cerdas, ceria, dan religius.


Salam silaturahmi!
Yuk, mampir ke Instagram kami: @tbmallatif


_______

(Penanya: Encep Abdullah)


Friday, April 25, 2025

Cerpen Rusmin Sopian | Buk Geriul

Cerpen Rusmin Sopian 



Buk Geriul adalah julukan khas di Kampung Kami kepada seseorang yang tidak konsisten. Sebuah julukan berkonotasi buruk dari warga Kampung Kami. Julukan bernada hinaan itu diberikan kepada orang atau warga Kampung Kami yang di mulut berkata lain, bertindak lain pula. 


Intinya, antara omongan dengan tindakannya tidak harmoni. Tidak seirama. Ibarat mengendarai kendaraan roda dua, beri kode sign ke kiri, beloknya ke kanan.


Entah kapan persisnya, julukan Buk Geriul itu disematkan kepada warga Kampung Kami yang berperilaku tidak konsisten itu. Purnama tidak menjelaskan. Demikian pula dengan rembulan malam. Apalagi semesta raya yang terlalu sibuk dengan keriuhan kehidupan. 


Menurut cerita dari mulut ke mulut para warga Kampung Kami, julukan Buk Geriul itu disematkan kepada Kewi yang pernah menakhodai Kampung Kami saat lelaki itu menjadi pemimpin Kampung Kami. 


Masih menurut cerita lisan yang beredar dari mulut ke mulut di Kampung Kami, julukan Buk Geriul kepada Kewi berawal, saat Kampung Kami akan mengadakan pesta demokrasi pemilihan Kepala Desa. Warga kebanyakan di Kampung Kami sangat kesal dengan perilaku Pak Kades yang mereka pilih pada pesta demokrasi Kampung Kami yang lalu, yang dianggap mulai meninggalkan harapan para warga. Menjauhkan asa warga yang menitipkan amanah pada dirinya sebagai seorang pemimpin.


Pak Kades sibuk dengan proyek pencitraannya. Menebar pesona ke sana kemari. Sementara kondisi Kampung Kami kocar kacir. Infrastruktur jalan rusak. Bangunan sekolah banyak yang tidak layak untuk rumah pengetahuan bagi pewaris masa depan Kampung Kami. Dan sederet masalah lainnya yang menurut warga Kampung Kami tidak sesuai visi-misi saat Pak Kades berkampanye dulu. Warga Kampung Kami menganggap Pak Kades sekarang tidak layak untuk meneruskan amanah dari para warga Kampung Kami.


Di saat warga Kampung Kami kesusahan mencari figur yang layak untuk memimpin dan menerima mandat sebagai Kepala Desa Kampung Kami dalam Pilkades yang akan digelar beberapa bulan ke depan, nama Kewi yang baru pulang ke Kampung Kami menjadi pilihan. Digadang-gadang sebagai calon pengganti Pak Kades sekarang.


Kewi memang belum lama pulang ke Kampung Kami. Masih dalam hitungan minggu. Kepulangan Kewi ke Kampung Kami melahirkan sejuta asa pada warga Kampung Kami yang merindukan pemimpin yang mengayomi semua warga. Ada harapan baru untuk kebermajuan Kampung Kami dan kehidupan sehari-hari warga penghuni Kampung.


Warga berharap kepulangan Kewi ke Kampung Kami akan memberikan secercah harapan indah untuk kehidupan warga dan kemajuan Kampung Kami. Tidak heran bila kepulangannya disambut dengan hangat dan suara kegembiraan dari warga. Pilkades pun sudah di depan mata. Kewi menurut para warga Kampung Kami, selain sudah lama tinggal di Kota dengan segudang pengalaman, Kewi adalah orang pertama di Kampung Kami yang meraih gelar sarjana.


"Dia orang pertama di Kampung kita ini yang meraih gelar sarjana," ungkap seorang warga yang mengaku kawan kecil Kewi.


"Lagi pula pengalamannya bekerja di Kota akan berguna sebagai bekal dia dalam memimpin Kampung kita ini," sambung warga yang lainnya.


Akhirnya, saat purnama menyirami semesta raya dengan keindahan cahayanya, perwakilan warga Kampung mendatangi Kewi yang belum lama kembali menetap di Kampung Kami. Kewi awalnya menolak. Sejuta alasan dia kemukakan kepada perwakilan warga yang terdiri dari tokoh agama, masyarakat dan pemuda.


"Apakah pantas saya yang bertubuh kurus kerempeng begini jadi pemimpin di Kampung kita ini?" elak Kewi sambil tertawa.


"Pemimpin itu bukan dilihat dari postur tubuhnya. Tapi dari niat hatinya untuk mengabdi kepada warga,'' ujar Pak Penghulu yang diamini para warga Kampung Kami yang hadir.


Akhirnya, usai beberapa kali pertemuan, Kewi setuju untuk dicalonkan sebagai pemimpin Kampung.


"Setelah berkonsultasi dengan istri dan anak serta keluarga besar di sini, saya bersedia menerima tawaran para warga sekalian. Ini tugas yang amat mulia dari saudara sekalian," jawab Kewi di depan perwakilan warga Kampung Kami.


"Alhamdulillah," koor para Kampung Kami mendengar jawaban Kewi.


"Ini momentum saya untuk berbakti kepada Kampung kita ini, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan sebelum ajal menjemput saya," janji Kewi dengan suara tegas.


Para perwakilan warga Kampung Kami pun bertepuk tangan. Semua warga Kampung Kami bergembira mendengar niat Kewi. Dan seperti yang kita ketahui bersama, Kewi akhirnya mampu menaklukkan Pak Kades inkumben dengan mudah.  Dukungan dari segenap elemen Kampung Kami membuat Kewi  melenggang sebagai Pemimpin Kampung Kami yang baru. Tentunya dengan diiringi sejuta harapan yang diimpikan oleh warga Kampung Kami.


"Insya Allah, dengan tampilnya Kewi sebagai Pak Kades baru kita, Insya Allah harapan kita semua untuk menjadikan Kampung ini berkemajuan akan terwujud," ucap Pak Ketua Masjid yang diamini para jemaah Masjid dan warga Kampung.


Dalam satu dua tahun kepemimpinan Kewi yang selalu tertawa itu, mulai mewujudkan impian para warga Kampung Kami. Jalan mulai dibangun. Bangunan sekolah yang rusak direhabilitasi. Prasarana umum dibangun. Puskesmas dibangun. Intinya, selama dua tahun kepemimpinan Kewi,  apa yang diimpikan para warga mulai terwujud secara perlahan. 


"Alhamdulillah, Pak Kades pilihan kita mulai mewujudkan impian kita sebagai warga Kampung," ungkap seorang warga Kampung Kami saat mereka berkumpul di warung kopi.


"Mulai terlihat wajah pembangunan di Kampung kita," puji warga yang lainnya.


Kewi pun rajin berkunjung ke dusun-dusun yang ada di Kampung Kami. Memeriksa sarana dan prasarana pembangunan. Mengecek kondisi masyarakat sembari membagikan sembako untuk masyarakat. Berdialog langsung dengan para warga Kampung Kami. Mendengar keluh kesah warga. 


Tak heran bila Kewi sebagai pemimpin dicintai oleh warga Kampung Kami. Di puji setinggi langit oleh penduduk Kampung Kami. Dielu-elukan bak dewa penyelamat. Bahkan menurut penuturan para warga Kampung Kami, Kewi yang kini di panggil Pak Pemimpin itu rela masuk ke dalam WC umum.


"Baru kali ini, ada pemimpin Kampung Kita yang masuk dalam WC umum," puji seorang warga.


"Kita tidak salah pilih," sambung warga yang lainnya saat mereka sedang berkumpul di Pos ronda. Para warga yang hadir menganggukkan kepala mereka sebagai tanda setuju. 


Di tengah kehidupan Kampung Kami yang damai penuh kebermajuan, malapetaka muncul di saat masa kepemimpinan Kewi akan berakhir. Ada desas-desus yang berkembang di area publik Kampung Kami, bahwa Kewi ingin memperpanjang masa kepemimpinannya sebagai Kades hingga seumur hidup. Hal ini terlihat dari berbagai manuver yang dilakukan orang-orang terdekatnya. Loyalis Kewi melakukan gerakan pencanangan Kades seumur hidup.


"Semenjak dipimpin Pak Kewi, Kampung kita maju pesat," papar loyalis Kewi dalam setiap pertemuan dengan elemen masyarakat.


"Benar sekali, kawan. Di era Pak Kewi, sembako untuk masyarakat lancar. Demikian pula dengan bansos. Sangat lancar," sambung loyalis Kewi.


"Maksudnya?" tanya seorang warga.


"Apa salahnya kita warga Kampung ini memberikan kesempatan kepada Pak Kades Kewi untuk memimpin terus menerus tanpa periode," ungkap Loyalis Kewi.


"Apakah tidak melanggar aturan?" selidik seorang warga yang mulai paham kemana pembicaraan.


"Sama sekali tidak, Bung. Apa yang tidak bisa kita rubah di Kampung kita ini," jawab Loyalis Kewi.


Gerakan senyap yang dilakukan loyalis Kewi mulai tercium warga Kampung Kami. Gerakan sepi bermuatan syahwat kekuasaan dari loyalis Kewi menebarkan aroma busuk dalam kehidupan sehari-hari warga Kampung Kami.


Mendapat informasi bahwa Kewi ingin meneruskan masa jabatannya tanpa henti, membuat gejolak dalam kehidupan sehari-hari warga. Para elemen pembangunan Kampung Kami menolak. Semua warga yang berkehidupan di Kampung Kami dengan tegas menolak masa perpanjangan kepemimpinan di Kampung Kami yang dianggap warga Kampung Kami tidak lazim.


"Sesuai aturan kepemimpinan di Kampung ini, ada masanya. Ada  periodenya. Tidak bisa seumur hidup," ujar Pak Penghulu dengan suara berapi-api.


"Betul sekali. Itu aturan yang harus kita patuhi bersama," sambung warga yang lainnya saat mereka rapat di rumah Pak Ketua Masjid.


Akhirnya, rapat para warga memutuskan untuk menolak masa perpanjangan masa kepemimpinan Kewi. Penolakan warga terhadap gagasan perpanjangan masa kepemimpinannya sampai ke telinganya. Membuat Kewi gusar. Kembali, lewat orang-orang kepercayaannya, dia melakukan aksi lobi ke sana kemari. Menemui tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh di Kampung Kami. Intinya meminta dukungan untuk keberlanjutan kepemimpinannya. Tentunya dengan senjata kompensasi dan iming-iming harta dan tahta sebagai penggoda. 


Ada tokoh masyarakat yang dijanjikan uang. Ada pula yang diberikan angin surga menjadi pejabat di Kantor Desa. Di area publik, mulai dari acara sunatan warga, acara pernikahan hingga acara keramaian lainnya, Kewi  menampik bahwa dirinya ingin memperpanjang masa kepemimpinannya.


"Kalau ada yang bicara saya ingin memperpanjang masa kepemimpinan saya, sama saja dengan mempermalukan saya. Menampar muka saya. Saya tahu aturan. Saya paham aturan. Dan saya pemimpin yang taat aturan," ungkapnya dengan nada suara tegas dan muka serius.


Di belakang punggung warga, Kewi kasak kusuk meminta orang-orang terdekatnya untuk memperpanjang masa kepemimpinannya. Ketidakpuasan warga terhadap syahwat kekuasaan Kewi mulai memerahkan langit. Menghitamkan semesta. Melahirkan amarah bahkan kekecewaan yang teramat dalam bagi masyarakat. Ada rasa sesal dalam nurani warga Kampung Kami.


Apalagi narasi yang disampaikannya kepada publik sungguh berbeda dengan apa yang dilakukannya. Narasi yang disampaikannya kepada publik dianggap tidak konsisten. Bahkan bertentangan dengan realita yang ada dalam kehidupan warga dan yang dirasakan masyarakat. Tak heran bila menjelang masa kepemimpinannya berakhir, panggilan Buk Geriul disematkan warga kepada dirinya.


"Namanya juga Buk Geriul. Masa kalian mau mendengarkan omongan orang ngawur. Masih percaya dengan narasi Buk Geriul?" jelas seorang warga Kampung Kami yang diiringi tawa para warga Kampung Kami yang sedang berkumpul di sebuah warung kopi di ujung Kampung Kami.


"Bagaimana kalau mulai sekarang, kita berikan beliau dengan julukan Buk Geriul?" usul seorang warga yang memakai kaos perusahaan cat.


"Setuju... setuju...," teriak para warga dengan narasi yang amat kencang. Bak suara penyanyi rock yang sedang menyanyikan nada-nada tinggi di atas panggung konser musik. Meramaikan alam.


Usai purna tugas sebagai pemimpin Kampung Kami, julukan Buk Geriul melekat dalam dirinya. Julukan Buk Geriul dialamatkan publik Kampung Kami kepada dirinya. Semua orang di Kampung Kami menyapa Kewi dengan julukan Buk Geriul. Anak-anak kecil di Kampung Kami pun selalu menyapa Kewi  dengan julukan Buk Geriul saat bertemu dengan Kewi yang dulunya pernah memimpin Kampung Kami.


Buk Geriul...!


Buk Geriul...!


Buk Geriul...!


Toboali, April 2025


______

Penulis 


Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Cerpennya termuat di berbagai media massa lokal dan nasional. Buku cerpannya Mereka Bilang Ayahku Koruptor. Ia tinggal di Toboali bersama Istri dan dua putrinya yang cantik.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Puisi-Puisi M.Z. Billal

Puisi M.Z. Billal



Pukul 2 Pagi

 

 

aku benci saat kedua mataku

sulit terpejam

sementara orang-orang

bersukaria pergi mengail

ikan kenangan di kolam waktu

dan berteduh di bawah

rimbunnya pohon harapan

di dalam mimpi

 

sementara pada pukul 2 pagi

aku masih ditemani

segelas teh yang mulai basi

dan menjelma puisi yang pasi

dalam kesunyian serupa mangsi

 

semua ini tersebab rindu

yang hilang kendali

dan sunyi menjadi

api yang membakar

dirinya sendiri

 

 

2024

 

 

Merayakan Kepergian

 

/1/

kita sudah sepakat. tetap saling

mengasihi

tapi tidak perlu lagi

saling mencintai.

 

kita masih akan merawat

jalan setapak menuju pulang

            kalau-kalau nanti

            tanpa janji kita bertemu di sini

 

 

/2/

kita merayakan kepergian

juga merayakan kepulangan

            tetapi kita pastikan

            luka-luka benar sudah pulih

 

kita saling menanyakan kabar.

tanpa harus ada pelukan

            sebab ciuman-ciuman telah

dituntaskan pada masa sebelum ini

 

 

/3/

kita masih akan terus menulis

puisi yang membicarakan tentang rindu.

            tapi cinta jangan sekali-kali

            berani tumbuh lagi di ladang yang sepi

 

dan kita selalu sepakat. tetap saling

mengasihi.

            sebab kita tak pernah tahu

            barangkali akan jatuh hati sekali lagi.

 

2024

 

 

Sesuatu yang Bodoh

 

ialah ketika aku tahu bahwa kau

tidak mencintaiku, tapi aku masih saja

setia mengunjungimu seperti gerimis

di musim kemarau panjang.

 

berkali-kali aku memaksa jatuh

di halaman rumahmu

segalanya mengering, mendebu. namun ketika

musim hujan tiba di berandamu, kau justru

tidak sedang berada di dalam rumah.

kau bepergian bersama anak-anakmu

dan manusia lain yang bukan aku.

 

aku adalah musim demi musim

yang memang tidak ditakdirkan

mengunjungimu.

tapi masih selalu ingin

mengunjungimu.

 

2024

 

 

Pulih

                                               

tapi sebetulnya aku,

                        tidak baik-baik saja

Tuhan.

 

Kau benar, cinta memang tidak menyembuhkan.

                            ia menenangkan, ia jalan pulang.

 

jadi, tolong. pulihkan aku. pugar aku seperti

                                                         rumah ibadah.

ruang sepi tempat kita bicara berdua. ya, berdua saja!

            tentang sungai-sungai, tentang pepohonan

dan tentang badai yang mengamuk

            ribuan hari dalam diriku.

 

2024

 

 

Sebelum Tidur

 

sepuluh detik, sebelum lelaki itu

memadamkan lampu tidur

ia berbisik kepada seseorang

yang kelelahan dalam tubuhnya.

 

“perjalanan esok membutuhkan lebih

banyak pelukan. tungkaimu mesti kuat

menahan harapan dan rindu yang menjelma

jadi panas dan hujan, juga asap dan debu

di sepanjang jalan ingatan.”

 

lalu lelaki itu pun terpejam, membiarkan

seseorang itu ke luar dari tubuhnya

dan pulang menuju tanah kelahiran

bernama izinkan aku bersandar sebentar.

 

2024

 

 

Binatang Paling Mengerikan di Muka Bumi

 

aku

            kau

                        kita

dan manusia-manusia

lainnya.

 

            kita merencanakan jutaan rasa sakit

            kita pula yang memulihkannya.

                        dan selalu kita

                        yang kelak

                        memangsanya.

 

2024

 

_______


Penulis

M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Seorang Guru Sekolah Dasar. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Bukubukunya yang telah terbit berupa novel remaja berjudul Fiasko (2018), kumpulan puisi berjudul Cara Kerja Perasaan (2022), dan kumpulan cerpen berjudul Sebuah Tempat di Tepi Lelap (2022). Karya-karyanya juga dimuat di berbagai media cetak dan digital seperti kompas.id, Jawa Pos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, bacapetra.co, dll, serta sejumlah antologi nasional.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Tuesday, April 22, 2025

Proses Kreatif | Eksperimen "Agak Laen" Menjual Buku

Oleh Encep Abdullah



Pada Oktober 2024, saya menerbitkan buku proses kreatif menulis yang keempat berjudul Ihwal Menulis dan Menjadi Penulis. Sampai detik ini, saya sudah menulis dua puluh judul buku, dan buku proses kreatif ini saya jual agak berbeda dengan buku-buku yang lain: dijual dengan harga terserah pembeli.

Hal semacam ini tentu tidak ujug-ujug, ada proses panjang sampai memutuskan menjual dengan cara yang menurut saya agak konyol. Dulu saya pernah melihat sebuah unggahan buku terbaru karya Pak Edi AH Iyubenu berjudul Islamku, Islamamu, Islam Kita yang dijual seharga sepuluh ribu atau lima belas ribu rupiah per eksemplar. Saya berpikir, apakah tidak rugi dijual segitu. Dalam hati saya, “Lah, kan dia yang punya penerbitan. Suka-suka dia, duit-duit dia.” Iya juga. Walaupun pada umumnya banyak orang yang mencari keuntungan dari situ, nyatanya ada juga beberapa penulis yang memang tidak terlalu memusingkan soal keuntungan atau royalti tersebut. Mungkin salah satunya saya.

Saya termasuk orang yang saat ini tidak terlalu ingin ribet memikirkan keuntungan dari sebuah tulisan atau buku yang terbit. Ada beberapa faktor:

  1. Trauma masa lalu yang terlalu berambisi untung banyak dan akhirnya uang hilang semua.

  2. Sudah terlalu sering bikin buku dan tidak enak terus-menerus menawarkannya kepada publik, khususnya kepada teman-teman dekat, dengan harga yang sudah ditentukan.

  3. Dijual dengan harga berapa pun tidak membuat saya kaya secara materi.

  4. Saya, seperti Pak Edi, punya “kuasa” atas penerbitan buku yang bisa saya tentukan sendiri nasibnya.

  5. Saya niatkan sebagai sedekah.

Untuk poin kelima, sebenarnya saya ingin totalitas, yakni memberi kepada siapa pun yang berminat. Tapi, ada trauma dalam diri saya. Kadang, mereka yang asal mau itu belum tentu membaca. Sudah dikasih gratis, dibaca pun tidak. Akhirnya, saya pakai cara terakhir: dijual dengan harga sesuka pembeli. Tentu saja menimbulkan respons yang beragam. Misalnya, adik saya protes kalau beli barang tanpa harga. Katanya, dalam Islam, jual beli itu harus jelas. Saya jawab bahwa harga sesuka itu ada tempo atau batas waktu (pre-order-nya). Yang sebenarnya itu hanya PO-PO-an saja sih. Walaupun bisa jadi saya tetap akan kasih harga sesuka pembeli walau di luar PO. Saya bilang kepada adik saya, kalau mau beli dengan harga normal Rp50.000, itu berlaku di luar tanggal PO (harga sesuka itu).

Ada teman lain yang tanya kepada ChatGPT berapa harga buku dengan spesifikasi seperti buku saya itu. Ada juga yang transfer Rp200.000 untuk satu buku, ada juga yang transfer Rp30.000 (Rp26.000 ongkir + Rp4.000 harga buku). Ada juga yang transfer Rp10.000 dan minta dua buku. Ada juga satu sekolah, satu kelas borongan beli—kisaran 30 orang—dengan harga yang saya juga tidak tahu berapa. Setelah saya terima, guru tersebut memintai siswanya satu per satu Rp10.000. Tentu saya terima saja berapa pun harganya. Jadi, kalau saya amati, konsep jualan begini kayak jualan barang serba Rp35.000. Ada barang di bawah atau di atas harga segitu, tetap dijual Rp35.000. Jadi, ada yang beli buku saya di atas harga cetak, ada juga yang jauh di bawah harga cetak. Akhirnya jadi subsidi silang. Dan, saya serahkan semuanya kepada pembeli buku saya. Saya PO sekitar seminggu. Alhamdulillah, lebih dari 100 eksemplar buku terpesan. Setelah itu, ya sudah, sepi lagi.

Pengalaman menjual dengan cara semacam ini menjadi sesuatu yang berbeda bagi saya. Dan ini tidak saya anjurkan, ya, buat teman-teman yang memang niatnya mencari untung dari royalti atau hasil penjualan buku. Saya merasa dengan niat berbagi, hasilnya jauh lebih memuaskan ketimbang dengan niat mencari materi atau keuntungan. Saya sampaikan di awal tulisan ini—atau teman-teman bisa cari tulisan saya yang lain—saya sering bercerita bahwa saya pernah rugi besar karena saat bikin buku, saya punya ambisi untung banyak. Uang, uang, uang. Untung, untung, untung. Malah buntung. Seperak pun uang tak kembali. Uang saya hilang semua. Buku juga tak jadi cetak. Kebahagiaan tertinggi saya adalah berbagi, sekecil apa pun manfaat sebuah tulisan, sependek apa pun tulisan itu. Dengan niat berbagi, tulus, tanpa embel-embel duniawi, rasanya jauh lebih melegakan.

Bagi Anda yang mungkin pernah bertemu saya dalam acara literasi, pelatihan kepenulisan, dan sebagainya, Anda pasti tahu apa yang saya bawa: pasti buku gratis (selagi stok buku-buku saya masih ada). Bahkan saat diskusi buku saya dibedah di komunitas tertentu, saya pasti akan membagikan buku gratis kepada beberapa peserta, khususnya yang datang lebih awal, dan sisanya untuk audiens yang bertanya. Dan itu kesenangan bagi saya. Bahkan, sering kali dari buku-buku yang bertebaran itulah yang menjadi jembatan atau pintu bagi saya memasuki dunia pembaca atau diundang di tempat pembaca untuk mengisi acara atau pelatihan menulis. Seperti kemarin, ada rekan yang mengundang saya setelah membaca buku Ihwal Menulis dan Menjadi Penulis. Saya tidak tahu kalau dia mengundang saya ke sekolahnya karena ia terketuk hati membaca buku itu dan ingin mendapatkan inspirasi langsung dari penulisnya, lalu membagikannya kepada para murid.

Bagi saya, menulis itu bukan soal uang, melainkan soal berbagi. Yang paling utama adalah sebagai misi jiwa. Jujur, ini tulisan atau kolom pertama saya di tahun 2025 setelah mungkin tujuh bulan tidak menulis panjang. Saat ini saya lebih sering mendengarkan podcast berjam-jam, juga mulai membaca buku tebal lagi. Saya bersyukur bisa kembali lagi ke dunia “panjang” saya. Sebelumnya saya teracuni oleh video-video pendek dan jadi agak susah mencerna video dan bacaan yang panjang. Sekarang saya merasa mulai normal kembali. Dan entah ada angin apa, saya agak susah tidur, gelisah, entah gelisah apa. Lantas saya wudu saja. Setelah wudu, saya bingung mau ngapain. Saya belum mengantuk. Baca buku sedang kurang mood. Kumaha Gusti Allah wae, ternyata Dia menggiring saya ke laptop dan menulis lagi. Begitulah menulis. Adakalanya tergerak sendiri secara otomatis. Seperti tulisan ini.

Jujur, dalam hati, saya sebenarnya ingin kembali menulis cerpen. Tapi di satu sisi saya menolak, entah kenapa. Susah juga, ya. Alhasil, saya kembali lagi pada tulisan proses kreatif semacam ini, yang menurut saya, saya punya ruang sendiri di kolom ini untuk mencurahkan segala keresahan. Mungkin tulisan ini sebagai pemantik di awal tahun 2025, dan semoga bisa membangun kembali kebiasaan menulis. Sudah jago menulis bukan berarti berhenti menulis. Cristiano Ronaldo, Messi, misalnya, saya lihat mereka tetap latihan sebelum bertanding, padahal sudah suhunya suhu. Seperti orang alim atau orang saleh yang sudah sampai makrifat, tetap latihan, tetap bersyariat—salat dan sebagainya—untuk menjaga kebiasaan. Selebihnya, biarkan Tuhan yang mengalirkan kita hendak menulis apa, kapan, dan di mana.

Kembali kepada menulis dan jualan buku. Kalau melihat kapasitas saya yang segini, kayaknya saya bukan tipe penulis populer sekelas Tere Liye, atau sastrawan hebat seperti Pramoedya Ananta Toer. Persoalan popularitas, kekayaan, dan tetek bengek lainnya adalah persoalan semesta: ke mana ia mengarahkan. Saya berusaha ingin melampaui siapa pun juga. Kalau batas saya sementara ini sampai di sini, ya mau apa. Menulislah dengan kesadaran akan kapasitas diri. Jual buku-buku Anda dengan harga yang pantas menurut Anda. Berikan buku-buku tersebut kepada orang-orang yang layak menurut Anda. Di tangan orang yang layak, buku itu akan lebih banyak menebar manfaat ketimbang sampai kepada mereka yang hanya ingin gratisan, dibaca pun tidak. Mereka itu kelompok orang yang “MAU BUKU” tapi “TIDAK BACA BUKU”.

17--22 April 2025


______

Penulis


Encep Abdullah
, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


Friday, April 18, 2025

Puisi-Puisi Surya Gemilang

Puisi Surya Gemilang




 4.695135, 96.749397.


keimanan sebatas padi

merunduk pasrah

dan berhalusinasi: sebongkah gereja

menjelma burung-burung

dan para petani sedang hibernasi

memeluk boneka sawah di ranjang


(Jakarta, Oktober 2023)



Waktu di Suatu Tempat yang Jauh


di sana, waktu

tidak bersayap tidak berkaki

dan tangan-tangan ajaib

membuatnya, tiba-tiba, tiba

pada kejauhan

tak terangkul mimpi siapa pun


di sana, waktu

tak lain sebatang pohon es

dalam tubuhnya membeku tubuh-utuh mereka

yang bertahun-tahun lalu menjadi abu

dan waktu, tetap pada tempatnya,

menyebar akar-akar es berduri


di sana, di kepalaku

lalu menyebar ke sekujur tubuh

mengisap darahku

dan menyeruak keluar dari kulit

memancang tubuhku ke tanah

yang perlahan ditinggalkan

cahaya


(Jakarta, Oktober 2023)



Seorang Aktivis Setelah Lulus Kuliah


ia kembali ke rahim, kali ini terbuat dari uang

dan terlahir kembali dengan sayap dari uang

dan satu kesadaran berbunga di hati kecilnya:


terbang dengan uang

adalah adegan sureal paling realis

sebab palu dan arit terlalu berat untuk menerbangkanmu

sebab bintang-bintang tinggal bendera

yang tak menerbangkanmu ke mana pun


ia hinggap di awan terendah: tak cukup tinggi

dan ia hinggap di awan yang lebih tinggi: tak cukup tinggi

lalu bunyi segumpal awan bocor

menyentuh kupingnya

membuat satu dugaan berbunga di hati kecilnya

yang memerah di akhir hari yang merah:


membangun ulang awan-awan

dari uang

adalah adegan sureal yang mungkin realis


(Jakarta, Oktober 2023)



Ocehan Sebelum Kau Pergi


langit tidak membutuhkan bintang-bintang

untuk menjadi langit

ia hanya langit yang menyedihkan

bagi beberapa orang

dan hanya langit

bagi yang lain


sekarang, apa kau masih menunggu

bintang-bintang

untuk mengepakkan sayapmu

untuk meninggalkan rumahmu?


toh, bintang-bintang

tak akan menyelamatkanmu


tidak semua orang mesti percaya

pada kata-kata pahlawan nasional itu:

bintang-bintang tak pernah menangkapnya

ketika ia terjatuh

dari ketinggian

karena lemparan bot

seorang tentara


(Jakarta, Oktober 2023)



Pelawak


aku berbakat menjadi pelawak

kata mama

itulah kenapa mereka menertawakanku

bahkan ketika aku tidak melucu

bahkan ketika dahiku berdarah


tidak semua orang sepandai aku

membuat orang lain tertawa

kata mama

itulah kenapa mereka tak pernah meninggalkanku

bahkan ketika aku ingin menyendiri

bahkan ketika aku membenturkan dahi ke dinding


“apa kau pernah lihat papa

membuat orang lain tertawa?

ia hanya pandai membuat mama menangis.

itulah kenapa kau istimewa.”


aku berbakat menjadi pelawak

dan aku boleh berbangga


tawa adalah mata uang

kata mama

dan aku tak perlu bekerja

untuk menghasilkan tawa


kalau kupikir baik-baik

dari perkataan mereka

inilah hal-hal yang membuatku berbakat

menjadi pelawak:


1) mata yang juling

2) bibir yang sumbing

3) nilai pelajaran yang semakin rendah

dan semakin rendah

seolah dari bukit habis terguling


aku hebat karena aku pelawak

tapi

saat menonton para pelawak di tv

aku sadar ada satu lagi mata uang

yang kurang: tepuk tangan


aku harus belajar lebih banyak

untuk membuat mereka

bertepuk tangan padaku

selain tertawa


(Jakarta, Oktober 2023)



Nama Belakang


pisau berlapis emas

menancap di punggung

nama depanku: titik-titik darah

mengarah ke mana pun ia melangkah.


sekali waktu kubawa nama depanku ke rumah

sakit, dan dokter berkata, “terlalu susah

untuk melepasnya. terlalu berisiko.”


belasan tahun nama depanku

terus meringis terus menangis

karena pisau menancap

dan di ulang tahun kami yang ke-17

nama depanku berkata:


“lepaskanlah. apa pun risikonya.”


aku menurut

dan mudah saja

kubuang pisau itu ke tong sampah

di sudut kamar.


tapi, darah mengucur deras

dari lubang di punggung

nama depanku.


“tidurlah,” katanya.

“tubuhku jauh lebih ringan sekarang.”


kami pun tidur berpelukan, aku dan nama depanku.

kasur cepat menyerap darah tapi kami tak peduli.

beberapa jam kemudian: kami terbangun,


kami mengambang di permukaan kolam darah

yang menenggelamkan seisi kamar.


karena jendela dalam jangkauan kaki

aku menendangnya hingga pecah

dan aku

dan nama depanku

dan isi-isian kamarku

terhanyut keluar

terhanyut terpencar.


itulah hari terakhirku

melihat nama depanku, nama asliku

dan pisau belapis emasku.


(Jakarta, Oktober 2023)



Nama Belakang, 2


nama belakang, gelas kaca

berisi nyawaku

yang hantu-hantu leluhur letakkan

di punggungku

sejak aku hendak belajar berjalan


(Jakarta, Oktober 2023)


______

Penulis


Surya Gemilang, lahir di Denpasar, 21 Maret 1998. Ia telah lulus dari Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Buku-bukunya antara lain: Mengejar Bintang Jatuh (kumpulan cerpen, 2015), Cara Mencintai Monster (kumpulan puisi, 2017), Mencicipi Kematian (kumpulan puisi, 2018), Mencari Kepala untuk Ibu (kumpulan cerpen, 2019), Icy Molly & I (novel, 2022), dan Mama Menelepon dari Neraka (kumpulan cerpen, 2023). Cerpennya masuk nominasi Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2022. Karya-karya tulisnya yang lain dapat dijumpai di lebih dari sepuluh antologi bersama dan sejumlah media massa, seperti: Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Media Indonesia, Bacapetra.co, Basabasi.co, dan lain-lain.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com