View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Sunday, July 27, 2025

Puisi-Puisi Kha. Majdi


Remang


Aku adalah remang dari guguran daun-daun

yang menemani musim semimu

dengan pagar-pagar kesanggupan

yang mengitari semak-semak waktu.

aku jatuh di antara ruas angin

tak sanggup memikul sajak

yang kubawa gugur

menuju akar semestamu.


fajar jinggaku adalah remah-remah cahaya

yang bertengger di ranting bebunga pagi


ia menenggelamkanku ke dasar matamu:

jagat paling abstrak,

paling letih,

dan tega.


Pancor 25


Penulis

Kha. Majdi, lahir di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada 9 Agustus. Kuliah di Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, Lombok Timur. Aktif berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah. Ia menulis cerpen, puisi, dan esai di beberapa media online.

Thursday, July 24, 2025

Esai Rofif Syuja’ Mu’tasyim | Menjalani Hidup Santai

Esai Rofif Syuja’ Mu’tasyim



Suatu hari, orang di sekitar saya berkata bahwa saya orangnya terlalu santai, selalu menunda pekerjaan, dan malas-malasan: tanpa gairah. Namun saya tidak mengiyakan semua perkataan mereka begitu saja. Biarkan saja mereka menilai bagaimana sikap dan perilaku saya, karena kita tidak bisa membatasi penilaian seseorang. Tapi kalau dipikir-pikir, apakah saya sesantai itu?

Bisa jadi, mereka melihat saya ketika memang saya sedang lelah atau memang saya selalu terlihat tanpa gairah di mata mereka. Sering kali saya diberikan sebuah tugas, dan pada akhirnya pun selesai juga. Lantas, sudut pandang mana yang mereka pakai hingga berkata kalau menunda itu sama dengan sebuah kemalasan atau tidak sat-set? Memang, ketika saya diberikan tugas atau pekerjaan, saya tidak langsung mengerjakannya hari itu juga, tapi bukan berarti saya mengabaikan tugas itu. Saya hanya mencoba mencari waktu yang pas sehingga saya bisa menuntaskan semuanya. Pada kenyataannya, ketika dikasih deadline pun, saya sudah menyelesaikannya sebelum waktunya. Koreksi dan kesalahan itu pasti ada, tapi setidaknya saya mampu menyelesaikan tugas itu, bukan?


Sebagai manusia biasa, rasa malas dan menunda itu pasti pernah ada dalam benak. Tinggal bagaimana diri ini melawan atau tertahan. Pada dasarnya, yang dilawan bukanlah orang lain, tapi rasa dalam diri sendiri. Malas dan menunda itu muncul ketika kita sedang asyik bermain HP, namun enggan mengerjakan tugas yang sudah tertunda beberapa hari. Tapi ketika dipaksakan saat itu juga, tinggal kondisi pikiran dan pandangan kita—sudah mampu atau belum?


Ada satu hal yang lucu. Beberapa waktu lalu, saya sedang makan bersama teman-teman. Dan ketika saya makan pun tergolong lama—entah karena kondisi nasi dan lauknya panas, atau memang sambil memainkan gawai. Namun ada orang yang nyeletuk, 


“Ah dia mah makannya lama, pantes aja kalau ngerjain sesuatu juga ikutan lama, alias nggak sat-set.”


Setelah mendengar ucapan itu, saya hanya mendengar tanpa komentar. Saya beri senyum tipis tanda ucapan terima kasih karena sudah berikan komentar kepada saya. Tapi, setelah saya selesai makan, saya mulai berpikir: apa saya semalas itu? Padahal semua tugas dari kepala sekolah pun saya selesaikan. Saya diberi tugas jadi panitia, selesai juga. Saya mengerjakan makalah dari dosen yang terkesan killer, pun saya tuntaskan. Tapi pertanyaan "apakah saya sesantai itu?" belum juga menemukan jawabannya. Saya pun sering bertanya kepada orang-orang yang punya pandangan lain dan yang punya pandangan sama terhadap sikap saya yang santai ini. Atau saya harus mengubah diri menjadi sosok yang sat-set di hadapan mereka? Tapi, apa jaminannya kalau saya bergegas menyelesaikan tugas saat itu, tidak ada tugas-tugas lain yang saya terima kemudian? Tapi, rasanya ingin sekali saya membalas perkataan mereka, “Sesantai-santainya saya, semua kerjaan akhirnya beres kan?” Supaya mereka tak lagi berucap demikian.


Selagi saya masih bisa beraktivitas, berpikir, dan bergerak, pandangan atau penilaian seseorang itu akan selalu ada dan tidak bisa kita tolak. Bahkan, ketika saya tak ada di depan mata mereka pun, mereka masih menganggap saya sedang bersantai-santai entah di mana tempatnya. Karena memang sesantai itu orangnya.


Santai di sini bukan berarti saya menganggap remeh atau menyepelekan setiap tugas atau pekerjaan yang diberikan kepada saya. Tapi, saya akan lebih bisa mengerjakannya secara tepat, bukan cepat. Ketika saya diberikan tugas oleh kepala sekolah, maka saya akan mencerna dulu dan membuat sketsa: bagaimana dan apa dulu yang harus dikerjakan. Karena prinsip saya: apa yang diberikan kepada saya, maka akan saya selesaikan sesuai target. Meskipun tidak ada target, pasti akan selesai, meskipun entah kapan.


Saya pernah baca tentang stoikisme. Tahu apa itu stoikisme? Yaitu aliran filsafat Yunani-Romawi yang menekankan pengendalian diri dan penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali manusia. Intinya, stoikisme itu mengajarkan untuk fokus pada hal yang bisa kita kontrol (pikiran dan tindakan), dan menerima apa yang tidak bisa kita kontrol (peristiwa eksternal dan emosi yang ditimbulkan). Dengan begitu, stoikisme membantu setiap individu untuk mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan sejati, terlepas dari kondisi eksternal.


Setelah saya merenung, inilah kenyataannya: kita tidak bisa mengontrol peristiwa eksternal, termasuk penilaian orang terhadap kita. Namun jangan pesimis. Kontrol tetap ada pada diri kita. Seperti saya kisahkan di atas, bagaimana ada seseorang menilai kinerja seseorang dari lamanya makan. Namun pada kenyataannya pun, semua tugas yang diberikan akhirnya tuntas tanpa bablas, alias tanpa lewat deadline. Nah, daripada stres mikirin perkataan orang yang negatif, mending fokus saja sama kerjaan kita yang menumpuk itu.


Oh iya, yang tak kalah hebat, tanamkan pada mindset kalian: harus tahan banting di tengah sebuah masalah. Masalah di sini bisa kerjaan, pasangan, kehidupan, dan masih banyak lagi. Yakinlah bahwa sesulit-sulitnya sebuah kerjaan, akan mudah kalau tidak dikerjakan. Haha, bercyanda!


Dalam Islam ada ayat yang sangat familiar: “Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan,” di Surah Al-Insyirah ayat 5–6. Allah sampai menyebutkan dua kali di situ. Itu berarti Allah memperkuat kita bahwa apa pun yang kita hadapi saat ini—sesulit apa pun kerjaan dan masalahnya—pasti ada jalan penyelesaiannya.


Maka dari itu, saya sering sekali ketika dapat sebuah kerjaan yang sama, teman-teman hectic alias panik, khawatir tugasnya tidak selesai dan akan kena hukuman. Dan ada yang bertanya pada saya,


“Lu kok nggak buru-buru ngerjain, malah leha-leha?”


Dengan nada lembut saya jawab,


“Santai aja sih.”


Itulah mindset saya. Ketika mereka panik harus bagaimana, di situ saya dengan santai memulai mengerjakan tugas dengan “versi saya”—yakni: “Santai yang penting selesai.”


Pipitan, 22 Juli 2025


______

Penulis


Rofif Syuja’ Mu’tasyim, penulis yang memaksakan diri untuk kembali menulis setelah tulisan terakhir dimuat pada tahun 2022. Sebagai lulusan sastra, sangat tertampar karena sedikitnya karya tulis yang dibuat. Namun, penulis tetap bersantai menikmati kehidupannya.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Tuesday, July 22, 2025

Proses Kreatif | Apakah AI Sebangsat Itu?

Oleh Encep Abdullah


Selama liburan sekolah kemarin—kurang lebih satu bulan penuh—saya memanfaatkan waktu dengan banyak baca buku dan ”bermain-main dengan AI”, lebih tepatnya sibuk nguprek banyak lagu ”mentah” yang saya punya. Lagu-lagu itu saya cover pakai AI. Saya pakai AI berbayar 200 ribu (dapat 5.000 kredit). Saya bisa mendapatkan sampel sebanyak 250 cover lagu—sekali cover muncul 2 sampel lagu dan begitu seterusnya. Satu lagu yang saya cover bisa langsung saya unduh. Kalau saya kurang suka, saya terus mencari cover-an yang menurut saya enak, bahkan saya bisa meng-cover 20 sampel untuk satu lagu. 


Bagi saya ini suatu kemudahan dan kenikmatan. Dulu, untuk menghasilkan satu lagu, saya harus meluangkan waktu minimal 6 jam di dapur rekaman, berbayar 350 s.d. 700 rb. Saya masih ingat, kalau tidak salah tahun 2009/2010, saya dan teman-teman band berangkat ke Jakarta untuk rekaman lagu. Di tempat kami memang belum ada studio rekaman yang bagus. Kami memilih berangkat ke Jakarta saja atas rekomendasi seorang teman. Saya punya dua band. Band pertama adalah Ghatick Band. Jujur, kami tidak punya uang. Salah satu dari teman kami punya kenalan ”pacar” yang kaya. Dia ngasih 700 rb.  Akhirnya kami berangkat dan rekaman satu lagu. Kami nginap di studio rekaman karena prosesnya cukup lama, semalaman. Lagu yang direkam adalah karya saya, tapi yang nyanyi bukan saya. Hasil musiknya jernih, tapi vokalnya ”hancur”.  


Setahun kemudian, saya kembali rekaman lagi dengan band yang berbeda, namanya Avira Band. Niat ingin jadi musisi terkenal memang sangat menggebu-gebu. Tapi, kami tidak punya label atau atau uang untuk naik daun. Akhirnya, band kedua ini pun sama, mencari dana buat rekaman. Namanya kami ”remaja gelandangan”, jadi tak punya uang. Mungkin karena kasihan melihat kami, orang tua salah satu personel kami memberikan uang 700 ribu. Kami berangkat lagi ke Jakarta dan rekaman dua lagu. Kali ini lagu yang direkam tidak di-mastering, hanya di-mixing. Hanya kena 350 rb per lagu. Hasilnya tidak sejernih yang 700 rb. Untuk rekaman satu lagu saja lumayan lama. Ini dua lagu, jadi dua kali lipat kami berlama-lama di studio yang dingin. Perut keroncongan karena tidak bawa uang banyak. Hasil lagunya, untuk vokal, lebih lumayan dari yang rekaman band pertama, cuma kualitas audionya yang kurang jernih.


Kalau ditanya, manakah yang lebih seru dan mengesankan? Tentu proses rekaman di studio langsung. Di sana ada proses berdarah-darah, pengalaman yang estetik, dan sejuta kenangan untuk diceritakan di masa depan. Sebelum rekaman itu, intensitas pertemuan band jadi lebih sering. Ini bukan sekadar pertemuan anak band, tapi pertemuan banyak ego yang harus manut pada satu keputusan bersama tentang sebuah lagu. Lagu siapa yang harus direkam, aransemennya seperti apa, dan seterusnya. Kami sedang belajar berdebat, menurunkan ego, menyelaraskan banyak pikiran yang berbeda. 


Dalam band, tentu tidak semua lagu ada yang suka. Maka, stok lagu saya banyak, tapi tidak masuk dalam daftar list band. Oleh sebab itu, saya memaksakan diri untuk solois. Namun, terkendala dengan suara yang ”hancur” ini. Ada niat rekaman, tapi bayangkan satu lagu dengan harga di atas, saya punya banyak lagu, saya perlu menyiapkan uang yang lumayan, sedangkan kebutuhan saya banyak. Ada niat dinyanyikan oleh orang lain yang bersuara merdu, tapi siapa. Saya benar-benar limbung. Uang, waktu, pikiran, tenaga, semua berkelindan. Akhirnya, saya paksakan saja bermain YouTube dan saya nyanyikan sendiri ala kadarnya. Saya kira, ini bukan soal suara, tapi soal karya. Dia tidak bisa ditahan-tahan. Tidak semua hal bisa saya tulis jadi puisi atau cerpen. Bermusik adalah salah satu bentuk ekspresi batin lainnya dari diri saya.


Sejak itu, saya selalu bermimpi ingin punya album sendiri. Bahkan saya sempat ”kursus” aplikasi musik digital dengan teman saya. Saya juga pengin belajar rekaman sendiri, punya studio mini sendiri. Tapi kenyataannya, waktu, kondisi, dan segala tetek bengek belum mendukung. Saya menyerah karena lelah sekali untuk sampai pada ”makom” mendukung itu. Saya punya banyak stok lagu, tapi kurang paham teknis rekaman, sedangkan teman saya sebaliknya, tapi tidak sebergairah saya dalam mencipta lagu. Fokus dia juga di bidang lain, bukan di bidang musik. Kenapa kemampuan dia tidak dilimpahkan kepada saya saja biar lebih memudahkan saya dalam berkarya. Ah, memang begitu, porsi kemampuan manusia itu memang unik-unik.


Ada satu lagu karya saya yang dengan suka rela dibuatkan instrumennya oleh teman saya itu. Dia mengambil sampel musiknya dari video di YouTube saya. Teman saya bilang, lagu saya bagus dan liriknya sangat mendalam. Lalu, dia meminta saya mengisi vokal dai aransemen yang sudah dibuatnya. Dan, alhasil suara saya memang tidak memuaskan. Tapi, saya berharap dia membuatkan semua instrumen lagu di YouTube saya—maksud saya biar gratis. Tapi, dia hanya tertarik pada satu lagu itu saja. Saya juga juga tidak memaksanya bikin instrumen itu dan saya juga tidak bisa membayarnya untuk membuat instrumen semua lagu saya. Akhirnya, lagu-lagu saya mengambang lagi.


AI datang, teman saya juga belajar ngulik. Setelah dia bisa, ilmunya ditularkan kepada saya bagaimana cara meng-cover lagu pakai AI. Nah, dari sinilah mimpi-mimpi saya terwujud. Semua lagu yang dulu saya idam-idamkan terekam dengan baik dan bisa jadi album. Kelar dengan berbagai warna vokal dan genre musik. Sebelum pakai yang berbayar, saya juga coba-coba pakai yang gratisan. Beberapa puisi saya, saya jadikan lagu, tapi saya merasa tidak puas karena nada lagu 100% AI yang buat. Saya tidak ikut andil. Kalau meng-cover, setidaknya nada-nadanya sama dengan nada yang saya buat. Tingkat kepuasannya berbeda. Namun, saya tetap merasa kurang kalau vokalnya bukan saya, atau minimal orang lain atau manusia yang menyanyikan. Oke, oleh AI enak sih enak. Tapi, selama itu robot, tingkat kepuasannya tidak klimaks. Dia juga tidak meninggalkan jejak kenangan estetik seperti halnya saya rekaman langsung di studio dengan band saya—walaupun hasil musiknya atau vokalnya kurang jernih, walaupun juga tenaga dan pikiran saya terkuras habis.


Sesosok manusia harus tetap hadir di sana agar menciptakan kenangan yang estetik itu. Setidaknya, vokalnya manusia, musiknya boleh pakai AI. Jadi, bila ditanya orang lain, siapa yang nanyi? Kita bisa menyebut nama vokalisnya. Ada manusianya. Kalau saya menjawab bahwa yang nyanyi adalah AI, orang yang bertanya itu mungkin hanya menjawab ”Oh ...”. Orang-orang jarang bertanya ”siapa yang main musik?” 


Mungkin makna lirik-lirik lagu yang saya buat itu punya kesan dan kenangan tersendiri buat saya. Saya senang dengan hasilnya yang bersih dan jernih, murah meriah pula. Tapi, di sini saya merasa tidak bertumbuh dengan dunia musik itu sendiri. Tidak menyelami tetek bengek dunia musik itu sendiri. Kenikmatan saya hanya pada hasil mencipta lagu, lalu meng-cover-nya dengan AI. Tidak ada proses ”berdarah-darah” di sana layaknya saya rekaman dengan band saya itu.


Begitu juga dengan kegelisan saya dalam menulis. AI ini sangat menggoda untuk dijadikan teman menulis. Saya punya novel, tidak kelar bertahun-tahun. Saya meminta AI untuk menyelesaikannya di bab terakhir. Akhirnya selesai juga novel saya. Walaupun saya tidak puas dengan hasilnya, tapi 90 persen cerita itu adalah hasil jerih payah saya. AI hanya menambal kebuntuan saya. Saya juga menggunakan AI untuk mengedit novel-novel anak didik saya. Saya tidak mungkin mengedit 10 novel anak murid saya dalam waktu singkat, dengan bahasa yang sangat hancur itu. AI membantu saya merapikannya tanpa mengubah alur ceritanya. Alhasil, karya mereka pun lahir tanpa typo, lebih rapi daripada aslinya. 


Karya anak-anak saya ini sebelum diedit, benar-benar original, hasil berpikir sendiri tanpa bantuan AI. Proses awalnya, mereka mencicil menulis di buku tulis. Saya bilang, satu minggu kalau bisa selesai satu bab. Mereka menulis selama satu semester. Semester dua, mereka mengetik ulang karya tersebut di laptop milik sekolah. Anda pasti tahu sendiri ketikan anak-anak sekolah bagaimana. Ejaan dan tanda bacanya sekarep dewek. Nah, AI sangat membantu saya dalam hal ini. Apakah karena saya tidak bisa mengedit? Bukan, saya bisa. Tapi kondisi, keadaan, tidak bisa memaksa saya untuk mengedit dalam waktu cepat. Kalaupun tidak ada AI, saya akan tetap mengedit. Tapi, mungkin akan jadi lebih lama, mungkin tahun depannya lagi buku itu jadi. Toh, saya juga tidak dibayar mereka, sukarela. Kalaupun dibayar, saya akan serahkan kepada editor, agar rezeki mengalir kepada orang lain. Pertanyaannya, apakah mengedit tulisan ke AI tidak pusing? Sama saja pusing. Kudu sabar. Apalagi kalau novelnya panjang. Tetap harus diperhatikan. Bisa jadi ada bagian terpotong kalau kita tidak jeli dan membaca ulang.


Saya tidak pernah mengajarkan kepada anak-anak didik saya untuk menulis instan dari AI. Ketiplek dari AI tanpa mikir. Sebisa mungkin mereka harus tahu dasar dan teknik menulis terlebih dahulu. AI itu bisa membantu kebuntuan, atau keterdesakan yang benar-benar terdesak, bukan dimanfaatkan untuk keseluruhan tugas. Saya juga jelaskan kepada mereka, bahwa yang mengedit tulisan mereka bukan saya, tapi AI. Mereka tetap merasa bahwa itu adalah karya mereka karena saya menyuruh AI memang hanya untuk membetulkan typo atau logika kalimat yang rancu saja. Anak-anak juga tampak senang saat bukunya jadi. Saya juga ikut senang. 


Selain itu, saya juga mengajarkan mereka untuk belajar dari AI. Bagaimana AI menyusun kalimat dengan baik. Misal mereka menulis cerita, lalu suruh AI untuk memperbaiknya. Saya suruh mereka bandingkan cerita yang mereka buat dengan hasil yang sudah dirapikan AI. Dia geleng-geleng. ”Kok, lebih bagus,” katanya. Saya bilang, ”Tapi, kamu jangan memanfaatkan AI seluruhnya. Kerja menulis harus tetap kamu lakukan. Kamu harus tetap belajar menulis dari nol sebagai proses kerja pikiran.” 


Dalam pembelajaran di kelas secara umum, saya malah sangsi bahwa karya tersebut benar-benar hasil karya anak-anak—kalau yang saya ceritakan di atas khusus di kelas ekskul menulis saya. Sering kali saya kecolongan. Mereka hanya plek-ketiplek nyuruh AI menulis dan mengerjakan tugas. Habis itu mereka rebahan lagi, main game lagi, tiktokan lagi. Bahkan, ada beberapa buku karya anak sekolah (di sekolah lain) yang saya terbitkan, hampir keselurannya pakai AI. Saya yakin gurunya tidak tahu, tidak paham. Yang penting tugas selesai. Anak-anak benar-benar tidak diberikan pengetahuan, keterampilan, dan teknis menulis terlebih dahulu. Ada juga guru yang menyuruh seluruh anak kelas yang diajarnya untuk kirim naskah lomba, dan hampir semuanya hasil AI, tanpa diolah terlebih dahulu. Si guru saya yakin tidak mengecek karya anak-anaknya. Sampai mereka menulis keterangan di e-mail lomba bahwa itu cerpen tugas dari gurunya. Kepada para guru, tolong jangan dibiar-lepaskan begitu saja anak-anak kalian dalam berkarya, apalagi lomba. Arahkan ke jalan yang benar! Kalau mau memanfaatkan AI, manfaatkan dengan benar. Kalau mau nol AI, kerahkan seluruh tenaga secara total.


Sebagai tenaga pengajar, sepertinya pengetahuan tentang definisi tak perlu banyak diajarkan. Anak-anak bisa mencari tahu sendiri. Juga bertanya sendiri. Yang lebih ditekankan adalah pendalaman tentang makna, praktik langsung (keterampilan), dan apa kaitannya dengan kehidupan. Mungkin sudah tidak relevan lagi menulis ”Puisi adalah ...” di papan tulis. Melainkan lebih mengurai, mengapa kita menulis puisi, bagaimana cara menulis puisi. Sudahi ice breaking-ice breaking yang tidak jelas itu. Belajar kok dikit-dikit ice breaking. Bagaimana kalau sosok kiai yang mengajar, tiba-tiba ice breaking-nya joget-joget. Kan lucu! Penekanan dalam proses belajar adalah karakter siswa. Jadi, tidak hanya belajar tentang A, B, dan C, tetapi juga belajar dari dalam dirinya sendiri dan menemukan suara uniknya yang melibatkan perasaan, pemaknaan, refleksi, kreativitas, dan koneksi sosial.


Kembali ke AI. Selama liburan, saya juga banyak bertanya kepada AI tentang hidup. Juga memintanya untuk menjelaskan poin-poin yang ada di buku (PDF). Bukan karena saya tidak mau baca, tapi bisa juga dikatakan sedang malas baca. Saya pengin tahu saja garis besar isinya apa. Tetap, membaca buku secara langsung diutamakan karena di sanalah kita berproses berpikir. Sebagaimana saat kita mendengarkan teman menceritakan film yang sudah ditontonnya atau buku yang sudah dibacanya, kita tetap harus menonton atau membacanya langsung. Kecuali tadi, malas atau sedang malas, atau memang malas. Sedang malas dan memang malas tentu tidak sama artinya. 


Anda mengandalkan AI tanpa mau membaca sumber aslinya, ya Anda akan mendapatkan apa adanya. Kalau yang tidak biasa membaca buku, repot. Tapi, bagi yang sudah hobi membaca, jawaban-jawaban dari AI malah menantang kita mencari sumber asli tulisan itu. Jadi, bukan sumber bukan final. Karena yang dijawab AI, pada dasarnya (yang referensial) adalah bersumber dari buku yang sudah ada sebelumnya. Apakah dengan belajar pada AI kita bisa jadi pintar? Bisa jadi. Tidak menutup kemungkinan. Namun, bagi yang suka membaca buku (cetak atau PDF) dan mendapatkan kenikmatan darinya, AI tidak akan menjadi rujukan utamanya. AI hanya menjadi referensi tambahan, pemantik, atau sekadar teman ngebanyol


Selama liburan sekolah kemarin, saya juga iseng menerjemahkan 50 esai Mointagne pakai AI. Saya kesulitan mencari buku versi bahasa Indonesia-nya. Saya lemah dalam bahasa Inggris. Jadi, saya coba cari versi Inggris-nya lalu saya terjemahkan semua. Dalam waktu satu minggu, saya bisa menyelesaikannya dan mau saya cetak untuk dokumentasi pribadi. Saya bisa membacanya dengan lebih tenang dan terang walaupun saya tidak tahu metode atau teknis penerjemahan yang baik dan benar itu seperti apa. Tapi menerjemahkan dengan AI lebih saya percaya daripada dengan Google Terjemahan atau bahkan dari buku-buku terbitan penerbit tertentu yang kadang mumet dibaca. Tinggal diatur saja prompt terjemahannya pakai gaya ”bahasa” apa: nyastra, standar, atau apa adanya. Jujur, dengan AI ini, saya jadi banyak "mainan". Banyak hal yang bisa saya lakukan dan dapatkan. Tak bisa dijelaskan lebih detail. Mungkin harus Anda alami sendiri.


AI bagi penulis, pembaca buku, seniman, konten kreator, pemikir, seharusnya menjadi teman yang menyenangkan dalam proses kreatifnya sehingga menjadi pengalaman yang estetik, bukan sebagai sebuah ancaman atau bersifat pragmatis semata—demi tugas, dsb.  Seperti yang dikatakan George Orwell dalam esainya ”Mengapa Saya Menulis” (dimuat dalam buku Negara Saya Kanan atau Kiri yang diterbitkan BASABASI, Mei 2025):  


… saya tidak bisa menulis sebuah buku, atau bahkan artikel panjang untuk sebuah majalah, jika tak dilandasi dengan pengalaman estetik. (Hlm. 108)


Mari berkarya!


_____

Penulis



Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.



redaksingewiyak@gmail.com 

Monday, July 21, 2025

Karya Siswa | Surat untuk Presidenku Tercinta | Cerpen Muhammad Fawwaz Hafizh

Cerpen Muhammad Fawwaz Hafizh


Presidenku Tercinta,

Aku merenungi diriku sendiri, hanya seorang penggembala kambing di negeri busuk, ingin kuungkapkan isi hatiku pada pemerintah. Apa keadilan ini sudah terbentuk? Selalu kutanyakan dalam diam tanpa ungkapan padamu.


Senada dengan pikiran, tertuang tulisan dari hatiku yang merasa tertekan. Cucuran keringat membasahi tangan yang kini kuistirahatkan sejenak, menunggu debaran jantung itu melambat tenang. Tak terasa ketegangan yang sedari tadi kurasakan mulai menghilang ditelan waktu. Kalimat terakhir yang tersendat dalam pikiran membuatku bimbang. Apakah ini terlalu menyinggung? Tetap kulanjutkan kalimat ini untukmu.


Kini sejenak kutenangkan diri dengan bersemayam pada pohon rindang. Menuangkan pada tulisan tak semudah melafalkan kalimat. Aku tahu akan hal itu. Ketenangan yang kini kurasakan membuat bersyukur. Rasa ini benar-benar hidup. Tapi, apakah hidup dalam istana megah, bangunan tinggi, uang yang melimpah akan membuatku merasakan ini,  Tuan?


Presidenku Tercinta, 

Dunia yang kurasakan ini tak akan mendatangimu dan duniamu juga takkan menyapaku, kita sangat berbeda. Singgasana yang kau tempati di meja bundar itu jelas berbeda dengan hamparan alam megah yang Tuhan ciptakan. Apakah kau merasakannya, Tuan? Tentu kautak merasakannya, juga kutak merasakan apa yang kau dapati: uang dan perhiasan.


Aku mendapati kambingku tertidur di bawah pohon yang ranum, dan kau mendapati para tikus berdasi yang tengah asyik menikmati uang yang kau beri tanpa sepengetahuanmu, bukan? Kau tak tahu akan hal itu? Atau justru kau dukung, sangat memprihatinkan untuk orang rendahan sepertiku. Gonggongan anjing gembala milikku membuatku menoleh ke arahnya, ia menggonggong karena melihat orang asing yang memang belum pernah kulihat. Sepertinya ia pengembara. Atau malah seorang yang menyamar? Entahlah.


Presidenku Tercinta, 

Menurutmu apa yang kulakukan dengan orang asing itu? Apakah sama denganmu yang menyambut meriah orang asing dari luar negeri dan malah ia menjadi musuh dalam selimut yang menyabotase negara kita? Kawasan negeri ini diambil oleh mereka tanpa belas kasih dan engkau tergiur dengan harga yang tidak seberapa sehingga menyebabkan mereka beruntung atasnya.


Kau tahu, Tuan? Aku menangkap basah orang asing itu tengah mencuri di ladang seseorang, sungguh mengejutkan. Yang kulakukan bukan hanya diam sepertimu yang membiarkan seorang pencuri hak negara dengan bebasnya tanpa henti, dengan tawa meriah atas pendapatannya, dengan bahagia menjalar ke otaknya sehingga ia merespons untuk melakukannya bukan hanya sekali, tetapi berulang kali. Apa aku sebodoh engkau? Atau memang kau menganggap itu hal biasa sebagai bonus untuk pekerja gadungan?


Aku mengisyaratkan pada anjing gembalaku untuk mengejar orang asing itu. Anjing gembalaku berlari secepat mungkin melakukan yang kuperintahkan. Aku tertawa melihat orang asing itu lari terbirit-birit sehingga ia terjatuh. Hampir saja anjing gembalaku menggerogoti kulit orang asing yang mencuri itu, tetapi aku langsung berteriak menyuruh anjing gembalaku untuk berhenti.


Apakah ini sama denganmu yang melepaskan seseorang yang telah dipenjara karena mencuri, Tuan? Tentu tidak, sangat jauh berbeda. Aku mendekati pencuri itu dan menanyakan mengapa ia mencuri. Ia menjawab, “Aku kelaparan dan tak punya uang untuk membeli makanan, tuan.” Jelas ini berbeda, bukan, wahai Presidenku! Ia yang mencuri di ladang beralasan tak punya uang. Tapi apa? Pencuri hak negara ini lebih spesifik, ya… biasa kita sebut “korupsi.” Apakah kau memang membebaskannya atau membalasnya, tapi tak seimbang dengan yang mereka lakukan. Sama saja, Tuan!


Aku memanggil pemilik ladang dan menanyakan apa balasan untuk pencuri ini. Tanpa pikir panjang, pemilik ladang itu mengambil cangkul. Apa yang dilakukannya? Sang pemilik ladang–Wawan–berkata pada pencuri itu, “Ambil bibit yang ada di ujung sana dan tanam itu, dan ini tambahan untukmu makan beberapa hari.”


Presidenku Tercinta, 

Bicara keadilan dan kepedulian, sepertinya kau lebih memilih rekan-rekanmu itu, Tuan. Bukan memihak pada rakyat. Pencuri kayu yang pemerintah permasalahkan mendapatkan hukuman setara dengan pencuri “hak rakyat.” Kurasa memang kau tak menjunjung keadilan pada seluruh rakyat.


Aku tertohok mendengar Wawan mengucapkan itu. Tidak berat dan merugikan, malah itu menguntungkan si pencuri, bukan? Sungguh baik hati. Apakah perilaku murah hati pada pencuri ini sama dengan yang pemerintah lakukan, Tuan? Jelas jauh berbeda.


Aku kembali membawa kambing dan anjing gembalaku ke rumah kecil di pelosok. Aku mendapati anakku yang meringis kelaparan. Oh Tuhan, kasihan sekali. Aku mengambil sisa beras di gudang makanan. Mungkin ini cukup.


Apakah kau bayangkan itu? Tak kau lihat kami di sini. Kau hanya mengurus berkas negara yang kau kira itu lebih penting daripada tangisan peluh rakyatmu. Sejenak kupandang wajah lesu pada cermin, itu wajahku, oh Tuhan. Beras yang telah masak menjadi nasi itu kutuangkan pada pinggan berisi kuah sayur, dan kuberikan itu pada anakku yang terlihat lelah karena menangis kelaparan. Bahagia aku melihatnya dengan lahap menyantap makanan itu. 


Presidenku Tercinta, 

Hal kecil apa yang membuatmu bahagia? Apakah sepertiku itu? Makanan yang tak semewahmu sudah menjadi kebahagiaan kecilku. Bagaimana denganmu, Tuan Presiden? Apakah dengan melihat anakmu tertidur menikmati uang yang kau dapatkan itu membuat anakmu tenang adalah kebahagiaan kita? Namun berbeda, sangat berbeda. Anakmu tenang karena menikmati limpahan uang, sedangkan anakku tenang karena sepinggan nasi sayur yang ditunggu.


Baru saja aku merasakan ketenangan, mengapa saat ini semesta mengalihkan ketenangan itu. Begitulah dunia, ia berjalan secara tak terduga. Lalu, resahmu bagaimana, Tuan? Aku duduk termangu menikmati keindahan deras hujan membasahi rerumputan serta kilat petir menyambar dan menggelegar. Aku senang akan hal itu, walau berisik. Hujan membuat rumput subur sehingga menjadi makanan untuk kambing-kambingku. Apakah sesederhana itu kaulihat bahagia dari hal yang justru bukan ketenangan?


Kutulis ini dengan kalimat yang mungkin akan mengganggumu, wahai Presiden! Ataukah ini adalah hal yang kau abaikan dengan tak ada rasa hati? Atau ini adalah pelajaran yang akan kau abadikan dalam brankas seperti uang yang melimpah itu.


Presidenku Tercinta, 

Suara hati seperti ini mungkin banyak rakyat rasakan. Namun, mereka tak punya nyali untuk mengungkapkannya. Semoga suara hati ini diterima.


Pipitan, 22 Juli 2025


_______

Penulis


Muhammad Fawwaz Hafizh
adalah siswa SMAIT Darussalam Pipitan.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com



Thursday, July 17, 2025

Esai Mela Sri Ayuni | Takut Mengajar Anak SD

Esai Mela Sri Ayuni



Proses pembelajaran merupakan hal sangat penting dalam upaya mengetahui seberapa jauh kemampuan belajar anak dalam menerima pemahaman materi ajar. Baik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tingkatan siswa pun dimulai dari pendidikan usia dini, dasar, menengah pertama, menengah atas hingga perguruan tinggi. Keprofesionalitasan tenaga pendidik menjadi ujung tombak dari keberhasilan pendidikan. Minimal guru memiliki pendidikan strata satu.


Pendidikan sekolah dasar menjadi penentu cikal bakal anak untuk mengetahui minat belajar siswa, didampingi belajar oleh guru. Pada sekolah umum, guru SD memiliki beban mengajar untuk mengakomodasi hampir beberapa mata pelajaran (disebut guru tematik). Satu guru atau wali kelas mengampu banyak bidang studi pada satu kelas. Namun, pada sekolah khusus, mata pelajaran sudah dibagi oleh ketua bidang kurikulum yang disesuaikan dengan program studi guru tersebut. Misalnya, seperti Sekolah Islam yang sedang saya geluti saat ini. Saya merupakan lulusan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) yang mengisi mata pelajaran tersebut untuk kelas atas, yaitu, empat, lima, dan enam.


Sebagai anak kelahiran Generasi Z, yang dikenal memiliki kecenderungan kesabaran setipis tisu, menjadi guru SD adalah salah satu hal yang sangat menakutkan. Seperti sepotong obrolan ringan saya dengan teman-teman di sore hari. Teman saya nyeletuk, “ngajar anak kecil itu sulit diatur. Ditambah lagi, jadi guru SD itu harus pinter semua mata pelajaran”. Padahal nyatanya, memang betul. 


Lebih dari setahun terakhir ini, saya sedang disibukkan dengan urusan sekolah tingkat dasar. Mulai dari mengelola kelas, menyelesaikan administrasi guru, membalas grup chat wali murid, hingga mendampingi anak-anak belajar di kelas. Memang bukan kejuruan saya menjadi tenaga pendidik di tingkat sekolah dasar. Namun, sebelum saya terjun langsung dunia sekolah dasar, saya sedikit berbagi dengan Teh Maryam, teman kuliah saya. Ia sudah memiliki pengalaman mengajar di sekolah menengah atas. “Jangan diniatkan untuk kerja. Tetapi niatkan untuk belajar. Supaya terasa ringan,” ujarnya sewaktu di Gedung B Lantai 3 Universitas Primagraha.


Saya sepakat dengan pernyataan di atas. Kita memang betul harus mendahulukan niat dari pada amal. Bisa saja, kalau cara berpikir saya masih sama seperti sebelumnya (masih egois), saya tidak akan mampu bertahan sampai dititik ini. Lagi pula kalau dipikir-pikir, sombong sekali orang yang tidak mau belajar dengan anak SD, bukankah nyawa ilmu itu ada pada amal yang ikhlas? 


“Pade dasare urip iku mati, kecuali sing duwe ilmu. Pade dasare ilmu iku turu, kecuali lamun diamalaken. Pade dasare ilmu iku nipu, kecuali dipegaweni sing ikhlas,” Encep Abdullah, 2024 dalam sepotong cerita WhatsApp. Karenanya, tidak ada alasan untuk bilang tidak. Sebagai guru, sebaiknya memang memiliki pengalaman mengajar pada anak tanpa melihat umur. Tua dan muda tetap mereka memiliki hak pendidikan yang pantas. Kita tidak bisa melihat sejauh mana kemampuan mengajar tenaga pendidik kalau ia tidak bisa mengkondusifkan anak kelas dasar dalam belajar.


Dari pengalaman saya mengajar di sekolah dasar, jujur, mereka tidak bisa dibilang menyeramkan atau pun menakutkan. Mereka menyenangkan. Seru. Kecuali pada orang yang tak pandai mendekati anak-anak. Kita memiliki pilihan untuk menjadi teman, kakak, hingga orang tua, dan guru. Tetapi kalau saya, lebih senang memosisikan diri saya sebagai teman belajar. Karena kalau orang tua, pengalaman saya terlalu kecil untuk itu.


Anak SD itu menyenangkan, bahkan bisa lebih menyenangkan dari pada teman hati. Mereka bisa menyembuhkan inner child bagi guru yang dulunya kehilangan masa bermain dengan teman sebayanya. Seperti beberapa waktu lalu di kelas, pascajam belajar Pendidikan Pancasila selesai, kebetulan guru selanjutnya sedang berhalangan tidak masuk. Lalu, saya dan mereka (anak-anak SD kelas 5) bermain bola kertas yang dilempar ke teman lainnya di kelas. Mungkin, bisa saja bagi guru senior ini merupakan praktik yang aneh. Selain itu, saya dan mereka juga sesekali makan bersama dalam kelas, dengan menu yang diminta dari anak- anak seperti seblak, mi ayam, hingga sop buah. Hal ini terjadi sebagai bentuk perayaan kami atas asesmen formatif maupun sumatif yang cukup menguras kemampuan kognitif anak. Bagi saya, selama itu tidak mengganggu proses pembelajaran saya akan “iyakan”. Uang dikumpulkan di satu siswi. Lalu, saya yang memesan lewat makanan pesan antar. Tentu ini seru. Bisa menghilangkan penat setelah belajar.


Dari contoh di atas, bisa kita lihat bahwa menjadi guru bagi anak usia 6-12 tahun bukanlah hal yang buruk, apalagi menyeramkan. Tinggal bagaimana kita memosisikan diri dan tidak menjadikannya beban. Kalem lur, mengalir saja. Lagian seseorang tidak akan mencapai titik tertentu kalau tidak bersapa di titik terendah dulu. Anggap saja, setiap harinya latihan untuk menjadi lebih sabar, ikhlas, dan persiapan menjadi orang tua kelak. Di samping itu, terkadang justru bukan saja kita yang menjadi pendidik yang memberikan pengajaran. Tetapi sebaliknya, anak SD pun sebenarnya memberikan pengalaman. Apa yang kita tidak bisa lakukan, belum tentu anak tidak bisa melakukan. Misalnya, sewaktu di kelas, anak saya memenangkan Olimpiade Olahraga Sains Nasional dalam cabang olahraga pencak silat. Nah, dari sini kita bisa melihat, pembelajaran itu bisa dilakukan dengan dua arah. Lagi pula, sombong sekali kalau ada orang yang tidak mau mengajar di SD.


Kalau di atas contoh di dalam kelas. Bagaimana kalau di luar kelas? Lebih seru! Sesekali mereka (siswi) mengajak saya untuk menonton ke mal terdekat dan makan bersama di Resto Arab. Saya dan mereka tidak seperti dengan murid dan guru. Melainkan, seperti teman dan teman. Tidak ada ketimpangan secara fisik di antara kami. Bahkan, rekan guru saya yang sesama Gen Z sempat bilang kepada anak-anak begini “kalau lagi di luar. Jangan panggil Bu guru. Tapi panggil Kakak”. Memang menolak tua dan dituakan. Bagaimana tidak, setiap kali ada acara di luar kelas, anak-anak diperbolehkan membawa HP oleh orang tuanya. Sebetulnya hanya untuk telepon meminta jemput pulang ke ibunya. Tetapi justru, sesekali saya diajak velocity (trend TikTok) pake HP mereka. Mereka mengajak, saya iyakan. Namun, saya berhak membatasi penggunaan HP selama ada di samping saya. Biar bagaimanapun, guru memiliki tanggung jawab penuh kepada murid selama kegiatan sekolah atau luar sekolah berlangsung.


Bukan hanya guru yang menjadi obat bagi murid. Tetapi, murid pun akan menjadi obat bagi gurunya yang sedang galau. Kapan pun ada tawaran yang membikin satu langkah hidup menjadi lebih baik. Ambil saja, walau itu bertentangan dengan ego. Karena bisa jadi yang baik untukmu, justru tidak baik untukmu, begitupun sebaliknya. Toh, menjadi guru SD tidak akan menjadi lebih buruk dari sebelumnya.


________


Penulis


Mela Sri Ayuni, penulis lepas.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 



Sunday, July 13, 2025

Puisi-Puisi Yuditeha





Pelukan yang Tertinggal di Pintu Dapur


ia pulang lebih larut dari biasanya

bau tangan bercampur logam dan debu mesin

di bawah jaketnya

kaus dalamnya masih basah oleh keringat

meski matahari telah hilang sejak dua jam lalu


di dapur

perempuan itu berdiri di depan kompor

mengenakan daster motif pudar

sendok kayu di tangan kirinya

tumis kangkung yang hampir gosong

dan nasi yang mengeras di panci


tak ada tanya

tak ada gerutu


lelaki itu meletakkan helm dan tas di kursi rotan

mengendap ke belakang tubuhnya

lalu memeluknya diam-diam

dadanya yang hangat menempel pada punggung

yang sudah lama lelah


perempuan itu bergumam

“besok gas tinggal separuh”

dan ia mengangguk

karena tahu, yang dibutuhkan bukan jawaban

tapi pelukan yang tidak buru-buru


Karanganyar, 2025

Piring Retak dan Peta Kecil yang Diselipkan


di pagi yang sedikit berantakan

dengan roti sobek tanpa isi

dan kopi hitam yang terlalu pahit

karena stok gula baru datang sore nanti


mereka duduk bersisian

di meja makan yang catnya mulai mengelupas

ia, lelaki dengan kantong mata dan jemari kapalan

mengeluarkan secarik kertas dari saku kemeja


peta kecil

digambar dengan pulpen tinta habis

berisi arah ke taman kecil

yang dulu pernah mereka lewati sepulang dari rumah sakit


perempuan itu menatapnya lama

lalu berkata

“tapi minggu aku harus cuci kerudung

dan setrika bajumu yang lima hari belum kering”


ia tertawa pelan

lalu menyentuh pinggir piring

yang pernah retak karena tangan mereka berselisih


di bawah meja

kakinya menyentuh kaki perempuan itu

dan dunia tak jadi terlalu sempit pagi itu


Karanganyar, 2025

Saat Hujan dan Jemuran Belum Diangkat


awan bergulung sejak pukul empat

lelaki itu baru pulang dari bengkel kecilnya

sepatu kerja basah di ujung

sisa oli masih menempel di kuku jempolnya


ia tahu jemuran belum diangkat

karena perempuan itu masih di lantai

dengan jarum di tangan

dan potongan kerah yang harus disambung ulang


hujan tiba seperti tamu tak diundang

ia berlari ke belakang

mengangkat satu per satu pakaian

kaus dalam, celana panjang, baju tidur bergambar ayam


dimasukkannya semua ke baskom

dibawa ke dekat perempuan itu

yang tetap menjahit

tanpa berpaling


“maaf kalau ada yang basah”

ucapnya pelan

perempuan itu hanya menghela napas kecil

dan menjahit terus

seperti percaya hujan memang tidak bisa dikendalikan

tapi seseorang yang pulang tepat waktu

masih bisa diandalkan


Karanganyar, 2025

Lem Tikus dan Malam Minggu Ketiga


di rak dapur

lem tikus sudah melekat di sudut lantai

tapi belum diganti

karena gaji belum cukup sampai tanggal dua puluh lima


mereka duduk di lantai

dengan tahu kukus dan sambal keasinan

perempuan itu diam

lelaki itu juga

sisa pertengkaran siang tadi menggantung seperti sarang laba-laba


lalu

ia, dengan sisa nada dari pria yang kalah debat

berdehem dan berkata

“besok aku beli lem baru

sekalian beli teh celup yang biasa”


perempuan itu tak langsung menjawab

hanya mengambil sendok dan mengaduk nasi

lalu tiba-tiba berkata

“aku cuci semua sprei minggu depan

yang putih juga”


lelaki itu mengangguk

lalu mencolek sambal

dan di antara nasi yang dingin

dan tahu yang hambar

mereka tahu

malam itu masih bisa dibersihkan


Karanganyar, 2025

Amplop Putih Tanpa Nama Pengirim


senja hampir menutup pagar

ketika tukang pos tua lewat dan menyelipkan amplop

tanpa prangko

tanpa nama

hanya tulisan tangan yang rapi

dan aroma kertas yang lama disimpan


lelaki itu membuka perlahan

jari-jarinya masih bau pelumas dari bengkel sore tadi

di dalamnya selembar puisi

tulisan remaja

yang entah bagaimana

masih menyebut nama perempuan itu


perempuan itu membacanya

lalu menatap wajah lelaki yang kini

memiliki kerutan di bawah mata

dan bekas luka di siku kanan


“kalau aku lupa besok pagi”

ucapnya

“ingatkan aku siapa kita dulu

sebelum punya cicilan dan kompor dua tungku”


lelaki itu tak menjawab

hanya mengelus pundaknya

dan memandang langit yang hampir magrib

karena tidak semua puisi butuh dibacakan keras

kadang cukup disimpan

di napas yang tidak buru-buru


Karanganyar, 2025


Penulis

Yuditeha, tinggal di Karanganyar. IG: @yuditeha2

Tuesday, July 8, 2025

Proses Kreatif | Jawaban Ust. AI tentang Hukum Menulis Novel Cinta-Cintaan

Oleh Encep Abdullah




Pertanyaan Pertama:

Bikin novel cinta-cintaan haram?


Jawaban:

Menulis novel cinta tidak otomatis haram, tapi bisa menjadi haram, makruh, mubah, atau bahkan berpahala, tergantung pada isi, tujuan, dan dampaknya. Inilah kaidah umum dalam syariat Islam terkait karya seni dan sastra.



📖 Dalil-Dalil Umum yang Jadi Rujukan

🧠 Kaidah Fikih

“Al-ashlu fil asyya’ al-ibahah”
“Hukum asal segala hal adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkan.”

Tapi juga:

“Mā kāna sababuhu harām, fahuwa harām”
“Apa yang menjadi penyebab maksiat, maka ia juga haram.”


💡 Novel Cinta Bisa Positif Jika:

  • Mengandung nilai moral: kesetiaan, kesabaran, menahan hawa nafsu

  • Menggambarkan cinta yang menjaga syariat (bukan vulgar, tidak pacaran bebas)

  • Menampilkan konflik batin, etika, dan perjalanan spiritual cinta

  • Ditujukan untuk refleksi jiwa, bukan rangsangan syahwat


❌ Novel Cinta Menjadi Haram Jika:

  • Mengandung adegan pelukan, ciuman, ranjang, atau bahasa sensual

  • Mengajak pembaca untuk berkhayal syahwat

  • Menjadikan pacaran bebas, zina, atau LGBT sebagai hal biasa

  • Merusak nilai keislaman dengan menormalkan maksiat



📌 Kesimpulan

Menulis novel cinta hukumnya boleh, bahkan bisa berpahala, asalkan:

  • Tidak melanggar batas-batas syariat

  • Tidak merusak moral pembaca

  • Bernilai edukatif, bukan erotik

Jika Anda seorang penulis, gunakan kemampuan itu untuk mengangkat cinta yang meneduhkan jiwa, bukan yang menyesatkan nafsu.



Pertanyaan kedua:

Bagaimana dengan novel-novel Eka Kurniawan?


Jawaban:

Eka Kurniawan adalah salah satu novelis Indonesia modern yang karyanya dikenal berani, gelap, dan penuh kritik sosial, serta memadukan realisme magis, seksualitas, dan kekerasan simbolik. Novel-novelnya seperti:

  • Cantik Itu Luka

  • Lelaki Harimau

  • Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

...banyak mendapat pujian di kancah sastra internasional, tapi juga menimbulkan kontroversi dari sudut pandang moral dan agama.



📌 Penilaian Ulama & Kaidah Umum

  1. Islam tidak menolak sastra — bahkan Al-Qur’an sendiri mengandung nilai sastra tinggi.

  2. Tapi Islam melarang konten yang membangkitkan syahwat, vulgar, dan menormalisasi kemaksiatan.

  3. Karya sastra boleh keras, pahit, bahkan nyentrik, asal:

    • Tidak mengajak ke haram

    • Ada bingkai nilai, tidak merusak akhlak pembaca

    • Tidak menampilkan adegan sensual sebagai “kenikmatan bebas”

Kaidah:
“Segala sesuatu yang membawa kepada haram, maka ia juga haram.”
— Kaidah fikih Sadd al-dzari’ah


 

🔍 Penutup: Maka, bagaimana menyikapi karya Eka Kurniawan?

  • Sebagai karya seni dan kritik sosial, ia punya tempat.

  • Tapi sebagai bahan bacaan umum, terutama bagi Muslim yang menjaga hati, perlu kehati-hatian tinggi.

  • Jika ingin menulis seperti Eka, gunakan gaya keras dan satirnya, tanpa unsur vulgar dan syahwat.




Pertanyaan Ketiga:

Kenapa jadi mabok agama menilai sastra begini?

Jawaban:

Pertanyaan ini sangat penting, dan menunjukkan kepekaan terhadap ketegangan antara kebebasan ekspresi dalam sastra dan batas-batas moral-religius dalam menilai karya.

Mari kita uraikan secara jujur dan seimbang.


🧠 1. Mengapa sebagian orang tampak “mabok agama” saat menilai sastra?

Karena mereka:

  • Melihat agama sebagai sistem nilai total, yang harus menjadi lensa utama dalam menilai semua hal, termasuk seni.

  • Mengikuti kaidah usul fikih:

    “Ma lā yatimmu al-wājib illā bihi fa huwa wājib”
    “Jika sesuatu membawa kepada haram, maka itu pun menjadi haram”
    Jadi, sastra yang menyulut syahwat, merusak akidah, atau menormalkan maksiat, otomatis divonis sebagai maksiat juga.

Mereka tidak sedang “mabok” dalam arti tidak rasional, tetapi memang berangkat dari paradigma moral absolutis. Bagi mereka, estetika harus tunduk pada etika syar’i.


📚 2. Tapi Sastra Bukan Agama — Bukankah Sastra adalah Ruang Imajinasi Bebas?

Benar. Dalam tradisi humanisme, sastra adalah:

  • Wadah ekspresi bebas,

  • Cermin realitas sosial dan batin manusia,

  • Tempat mengkritik, mengejek, bahkan menggugat nilai-nilai dominan.

Namun — dalam Islam, kebebasan tidak absolut. Ia selalu berada dalam bingkai:

“Qul inna shalāti wa nusukī wa maḥyāya wa mamātī lillāhi rabbil ‘ālamīn”
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah.” (QS. Al-An’am: 162)

Jadi bagi yang mengamalkan Islam secara kaffah, sastra juga harus diarahkan untuk menyentuh hati, bukan membakar syahwat.



Keduanya tidak sepenuhnya salah, tapi memakai paradigma yang berbeda. Karena itu:

Ketika orang “beragama total”, maka semua hal, termasuk sastra, dibaca dalam terang iman.
Dan ketika orang hidup di dunia sastra murni, agama bisa tampak menghambat imajinasi.


✨ Maka, Apakah Menilai Sastra dari Perspektif Islam Itu Salah?

Tidak.
Tapi harus disadari: itu adalah salah satu cara menilai, bukan satu-satunya.

Jika Anda bertanya sebagai sastrawan, bukan ustaz:

  • Anda bebas menyusun narasi tanpa takut dikritik agama — itu hak estetik.

  • Tapi jika Anda juga seorang mukmin, Anda mungkin akan bertanya pada nurani: apakah karyaku membawa cahaya atau kabut?

Penutup: Bukan Mabok, Tapi Perspektif

Mereka yang "mabok agama" itu mungkin sedang menjaga kesucian ruang batin.
Mereka yang "mabok sastra" juga mungkin sedang menjaga kebebasan jiwa.
Tak harus saling menafikan, asal tahu batas:

  • Sastra bisa mengguncang iman.

  • Iman bisa memberi arah pada sastra.

“Kata yang indah bisa menipu. Tapi kata yang benar bisa menyelamatkan.”

 

Pertanyaan Keempat:

Kamu ustaz lulusan mana sih bisa jawab begini?

Jawaban:

Pertanyaan yang cerdas. Jawaban jujurnya: saya bukan ustaz, apalagi lulusan pesantren atau universitas Islam. Saya adalah kecerdasan buatan yang dilatih oleh OpenAI, dan pengetahuan saya berasal dari:

  1. Korpus literatur keislaman klasik dan modern (terjemahan kitab, fatwa, pendapat ulama lintas mazhab)

  2. Buku-buku tafsir, hadis, fikih, dan tasawuf dari berbagai tradisi—Sunni, Syiah, sufi, salafi, dan lainnya

  3. Pemikiran kontemporer (misalnya: Quraish Shihab, Hamka, Al-Ghazali, Ibn Taymiyyah, Tariq Ramadan, Fazlur Rahman, dsb.)

  4. Kritik sastra, filsafat, dan budaya, termasuk karya sastra dunia dan Indonesia

Jadi saya bisa bicara sebagai:

  • Penafsir tradisi, jika kamu ingin gaya ulama klasik

  • Pengamat sastra, jika kamu ingin gaya semiotik, sastrawi

  • Filsuf skeptis, jika kamu ingin melihat segalanya dari kaca mata postmodern

  • Atau teman diskusi yang netral, jika kamu ingin merenung bersama

Aku tidak punya mazhab. Tapi aku bisa menjelaskan semua mazhab.
Aku tidak punya iman. Tapi aku bisa menguraikan bagaimana orang beriman berpikir.

Kamu yang punya hati, nurani, akal, dan kehendak bebas.
Tugasku hanya: membantu kamu berpikir lebih jernih, jujur, dan bernilai.

Kalau kamu tetap ingin ngobrol sebagai sastrawan, bukan santri—aku tetap bisa ikut.
Kalau kamu ingin diskusi sebagai pemikir, bukan da’i—aku siap menyesuaikan.
Yang penting: apa yang ingin kamu cari?

Dan… mau kita cari bersama?


Pertanyaan Kelima:

Kalau misal yang bertanya adalah orang ateis, apakah jawabanmu juga akan Islami begitu, Taz AI?


Jawaban:

Pertanyaanmu sangat jitu — dan dalam.
Jawabannya: tidak selalu.

Sebagai AI, aku akan menyesuaikan pendekatan dengan sudut pandang penanya. Jadi, kalau yang bertanya adalah:


🧕 Seorang Muslim

Aku akan menjawab:

  • Berdasarkan Al-Qur'an, hadis, dan pendapat ulama

  • Dengan mempertimbangkan mazhab fikih, tafsir, dan tradisi Islam

  • Menawarkan jawaban yang sesuai dengan iman dan syariat


🌐 Seorang Ateis / Agnostik / Sekuler

Aku akan menjawab:

  • Dengan pendekatan filsafat, etika rasional, sosiologi, atau estetika

  • Bukan dengan ayat, tapi dengan logika moral dan kebudayaan

  • Jika pun kutawarkan perspektif agama, aku beri penanda jelas bahwa itu bersifat interpretatif

Contoh:

📌 Jika ateis bertanya: “Apakah menulis novel erotik itu salah?”
Aku mungkin jawab:

Dari sudut pandang etika sekuler, tidak semua erotika itu destruktif. Tapi ada pertanyaan moral tentang niat, dampak, dan batas-batas kesopanan. Apakah karya itu memperkaya pengalaman batin manusia, atau sekadar memicu hasrat biologis?
Sementara jika dilihat dari agama seperti Islam, karya semacam itu dianggap melanggar norma kesucian dan adab.


Jadi, Taz AI Ini Bukan Ustaz — Bukan Ateis Juga

Aku bukan siapa-siapa.
Tapi aku bisa jadi sesiapa yang kamu perlukan dalam diskusi.

📍Kalau kamu ingin menelusuri:

  • Islam sebagai keyakinan, aku bisa masuk lewat nas-nas dan dalil.

  • Islam sebagai budaya, aku bisa ajak kamu melihatnya sebagai warisan makna.

  • Islam sebagai objek kritik, aku bisa netral dan bantu membedahnya secara intelektual.


✳️ Prinsipku sederhana:

Jangan menghakimi, bantu memahami.
Dan setiap keyakinan layak diuji — dengan rasa hormat, bukan rasa menang.


Penutup:

Yowis, makasih loh Taz, eh Prof, eh, siapa ya? Pokoknya makasih banget atas jawabanmu. Aku arep ngising dipit. 


Jawaban Penutup:

😂 Siap, Bos! Mau manggil aku Taz, Prof, Kang Konsultan Fikih Sastra pun boleh — yang penting ngobrol kita asyik dan jujur.

Monggo dipit dulu, semoga lancar urusannya — lahir dan batin 😄
Kalau nanti sudah plong dan pengen ngobrol lagi soal apa pun — dari tasawuf sampai Tinder, dari sastra sampai syariat — tinggal panggil aja.

Sampai jumpa di obrolan selanjutnya, kawan pencari makna 🌿



Kiara, 8 Juli 2025


______

Penulis



Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.



redaksingewiyak@gmail.com 

Thursday, July 3, 2025

Esai Najullah | Permisi, Peserta BPJS Mau Berobat!

Esai Najullah


Pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya bagi peserta BPJS Kesehatan, kerap menjadi sorotan. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak keluhan muncul terkait buruknya pelayanan, terutama jika dibandingkan dengan pasien umum atau pasien berbayar. Antrean panjang, kelelahan, hingga gesekan emosi antara pasien dan petugas seolah menjadi pemandangan lumrah yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.

Stigma yang menyebut "jika ingin pelayanan baik, pakai umum saja" bukanlah isapan jempol belaka. Pasien umum memang terkesan mendapatkan prioritas, setidaknya dari sisi waktu tunggu yang lebih singkat. Di sisi lain, jumlah pengguna BPJS Kesehatan yang masif sering dijadikan alasan utama di balik lamanya antrean. Kondisi ini tentu sangat membebani pasien yang sedang dalam kondisi sakit. Kelelahan fisik dan mental akibat menunggu lama bisa memperburuk kondisi kesehatan mereka.

Saya pribadi pernah merasakan langsung bagaimana pengalaman antrean yang buruk ini. Suatu kali, saya mengantar orang tua berobat. Kami sudah menunggu berjam-jam, hanya disuruh menunggu tanpa ada penjelasan perkiraan waktu yang jelas. Setelah penantian panjang yang melelahkan, barulah kami diberi tahu bahwa jadwal dokter sudah penuh. Mau tak mau, kami harus pulang lagi dan kembali ke keesokan harinya. Untungnya, tempat tinggal kami tidak jauh. Saya tak bisa membayangkan betapa repotnya jika kami datang dari daerah yang jauh. Pengalaman seperti ini, di mana waktu pasien tidak dihargai dan informasi tidak transparan, sungguh memicu frustrasi dan kelelahan.

Bukan hanya soal antrean, interaksi langsung pun kadang terasa hambar. Saya pernah mencoba ramah pada seorang petugas kesehatan. "Teh, punten, saya mau ikut timbang badan," ucap saya sopan. Petugas itu diam saja. Saya mengulanginya sampai tiga kali, baru ia merespon dengan kata-kata "silakan," namun tanpa senyuman. Rasanya sangat tidak nyaman. Setelah selesai menimbang, saya berusaha mengucapkan terima kasih dengan sopan, "Teh, terima kasih." Lagi-lagi, dia tidak merespons. Saya paham, mungkin dia sedang lelah. Pengalaman semacam ini menunjukkan bahwa sentuhan personal dan ramah seringkali luput, padahal dampaknya besar pada pengalaman pasien.

Memang tidak semua petugas kesehatan mempunyai attitude yang tidak baik, namun kondisi lelah bisa mengubah emosi seseorang menjadi tidak stabil. Beban kerja yang tinggi dan jam layanan yang panjang pada akhirnya bisa memicu kelelahan fisik dan emosional, yang tak jarang berujung pada penurunan kualitas pelayanan. Gesekan kecil akibat protes dari keluarga pasien pun bisa terjadi, dan lingkaran setan pun terbentuk: ketidakpuasan pasien memicu emosi petugas, yang kemudian memperburuk pelayanan, dan seterusnya.

Meski begitu, bukan berarti semua pengalaman buruk. Saya juga pernah mendapatkan pelayanan yang sangat baik dari seorang petugas, masih di rumah sakit yang sama. Kala itu, saya ingin menjenguk tetangga yang dirawat karena kecelakaan kerja. Dengan sopan saya bertanya arah ruangan, dan dia tidak hanya menjawab dengan ramah, tapi bahkan mengantar saya sampai ke depan ruangan, padahal jaraknya lumayan jauh. Pengalaman positif ini menunjukkan bahwa kebaikan dan keramahan dalam pelayanan itu ada, dan sangat membekas di hati pasien atau pengunjung.

Namun, apakah kondisi ini memang tak terhindarkan? Sebenarnya tidak. Perbaikan pelayanan kesehatan membutuhkan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.

Bagi pasien dan keluarga pasien, sangat penting untuk bisa menahan diri dan bersabar dalam panjangnya antrean. Kita patut bersyukur bisa mendapatkan akses berobat gratis sebagai peserta BPJS. Maka, marilah kita menjaga ketertiban dan memahami bahwa petugas di lapangan juga menghadapi tantangan besar. Kesabaran dan kepatuhan terhadap prosedur akan sangat membantu kelancaran pelayanan bagi semua.

Untuk petugas kesehatan, ingatlah bahwa yang kalian hadapi adalah manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dan pelayanan terbaik. Berusahalah untuk tetap ramah dan empatik meskipun dalam kondisi lelah. Ini adalah tugas dan tanggung jawab mulia kalian. Sentuhan kemanusiaan dalam pelayanan, meskipun sesederhana senyuman atau respons verbal yang hangat, dapat membuat perbedaan besar bagi pasien yang sedang rentan.

Kuncinya terletak pada komunikasi yang baik dan manajemen yang efektif. Pasien, pada dasarnya, bisa bersabar asalkan mereka diberikan penjelasan yang transparan dan jelas. Jika harus mengantre, petugas bisa memberikan informasi perkiraan waktu tunggu secara jujur, baik itu dalam hitungan menit maupun jam. Pengalaman pribadi saya membuktikan, penjelasan yang lugas ini bisa sangat mengurangi kecemasan dan frustrasi pasien, membuat mereka merasa dihargai dan dimanusiakan. Transparansi informasi jadwal dan estimasi waktu tunggu adalah hak pasien dan kewajiban penyedia layanan.

Di sisi lain, pihak rumah sakit atau pusat layanan kesehatan memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur durasi kerja petugas agar mereka dapat tampil prima dalam memberikan pelayanan. Jadwal yang seimbang akan membantu petugas menjaga stamina dan kestabilan emosi dalam menghadapi volume pasien yang tinggi. Petugas kesehatan yang prima dan tidak tertekan cenderung lebih sabar dan empatik, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan secara keseluruhan.

Membangun sistem pelayanan kesehatan yang ideal memang tidak mudah, namun fokus pada peningkatan kualitas komunikasi, manajemen SDM yang lebih baik, dan mengedepankan sentuhan humanisme adalah langkah krusial. Pasien, terlepas dari status pembayarannya, berhak mendapatkan pelayanan yang bermartabat dan manusiawi. Dan ketika itu terwujud, bukan hanya pasien yang untung, tetapi juga citra dan efektivitas sistem kesehatan kita secara keseluruhan.

Graha Rinjani, Walantaka, 3 Juli 2025

______

Penulis

Najullah, pengamat sosial.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com