View AllProses Kreatif

Dakwah

Redaksi

Postingan Terbaru

Monday, April 15, 2024

Karya Siswa | Puisi Adelia Rahma Savitri

Puisi Adelia Rahma Savitri




Kisah Selepas Kemarau


Dalam lipatan waktu, 

semesta jauh merindu pada gerisik bisik 

daunan kering yang berserak jatuh dari reranting


Angin menampar daun jendela

Membawa puisi yang masih rumpang

menyisakan tanya, melingkar di atas kepala


“Bukankah hujan ini milik kita?”


Kamu membisu di seberang jalan

Bening matamu menusuk perasaan

Yang kuredam mati-matian


Rintik kian deras berjatuhan

Namun punggungmu menjauh

Hingga jemari tak sanggup merengkuh


Kini kubiarkan sisa-sisa perasaan itu 

berlabuh pada dermaga teduh,

tak lagi menyelami hatimu yang tak acuh


Tangerang, 2024


________


Penulis


Adelia Rahma Savitri, lahir di Tangerang pada 25 November 2005, bersekolah di SMA Negeri 6 Tangerang, tinggal di Buaran Indah, Kota Tangerang.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Friday, April 12, 2024

Cerpen Tin Miswary | Ada Sepeda di Depan Mimbar

Cerpen Tin Miswary



Ketika petang kian redup dan matahari tenggelam sempurna di belakang ufuk, Logo bergegas mengambil sepeda tuanya. Dia mulai mengayuh sepeda jengki merk Phoeniex buatan Tiongkok yang telah berkarat itu menuju arah barat dan lalu berbelok ke utara. Dia berpapasan dengan banyak orang yang menuju masjid dengan terburu-buru. Logo tak peduli. Dia terus mengayuh bersama jala di bahu dan keranjang kecil mirip guci dari anyaman bambu tersangkut di setang sepeda. Logo menekan pedal menggunakan gaya otot kakinya agar roda itu terus berputar. Sesekali ia mengembus asap putih dari mulutnya yang serupa malam.


Sejak menceraikan istrinya yang mengidap gangguan jiwa, Logo hidup sendiri. Dia tidak punya anak meski telah menikah puluhan tahun. Orang kampung menuduh istrinya sebagai perempuan terkutuk sebab di masa kecilnya ia berulang kali diperkosa ayah kandungnya. Peristiwa itu terjadi setelah ibu perempuan itu mengidap gangguan jiwa dan meninggal ditabrak truk serdadu yang sedang memburu pemberontak. Saat itu ibunya mengadang truk yang sedang memasuki kampung dengan begitu beringasnya. Serdadu yang dilanda amarah tentu tak ambil pusing pada sosok yang ada di hadapan mereka. Perempuan itu mati seketika. Dan kematian-kematian seperti itu hanyalah kejadian biasa di ujung Sumatera ini.


Sejak kematian ibunya, istri Logo pun menjadi mangsa hubungan inses oleh ayah kandungnya. Cerita-cerita itu baru diketahui setelah Logo menikahi perempuan yang sejak awal sudah terlihat aneh itu. Konon pernikahan mereka adalah hukuman dari tokoh adat setelah keduanya ditemukan bercumbu di sebuah gubuk pinggiran tambak, tempat Logo biasa memancing. 


****


Tidak ada yang tahu persis kenapa orang-orang memanggilnya dengan Logo, nama yang sama sekali janggal, apalagi di kampung yang baru dilanda perang. Namun, sepertinya dia sangat betah dipanggil demikian. Tak sekali pun muncul protes ketika nama itu disebut di hadapannya. Dia senantiasa tersenyum, mengangguk ketika dirinya dipanggil Logo, menggunakan fonem khas untuk membedakannya dengan logo (simbol).


Di kampung itu, Logo tergolong sangat miskin. Gubuknya terbuat dari tepas dengan atap rumbia. Bahkan dia tidak memiliki tanah. Gubuk itu dibangun di bekas tanah peninggalan mendiang Ampon Leman yang lari meninggalkan kampung puluhan tahun lalu, ketika revolusi sosial meletus di seluruh negeri. Ampon Leman dituduh sebagai kaki tangan Belanda sehingga dia pun diusir dan lalu hilang tanpa jejak. Sebagian besar tanah peninggalannya dikuasai mendiang Keuchik Amin yang kemudian dibagi-bagi kepada masyarakat kampung. Ayah Logo yang merupakan pendatang di kampung itu tidak mendapat bagian. Namun, selepas kematian Keuchik Amin, Nek Fatimah, seorang warga kampung yang tidak memiliki anak mewariskan tanah miliknya seluas lima ratus meter kepada Logo yang kala itu sudah mulai beranjak dewasa.


Meskipun Logo hidup dalam kemiskinan dan hanya mengandalkan hasil tangkapan ikan di tambak utara kampung, namun seumur hidupnya dia tidak pernah mendapatkan zakat di kampung itu.


"Orang-orang yang tidak salat apalagi memancing ikan di waktu Magrib haram menerima zakat," kata Teungku Malem suatu hari.


Apa yang dikatakan Teungku Malem ini memang benar, Logo memang tidak pernah terlihat salat di masjid atau pun menasah. Setiap Magrib tiba dia sudah bersiap-siap menuju utara kampung untuk memancing dan menjala ikan-ikan di sana.


Di kampung itu tidak ada yang berani membantah fatwa Teungku Malem. Dia tokoh agama paling disegani dan bahkan ditakuti. Orang-orang percaya kalau Teungku Malem seorang wali, bisa menghilang, pandai terbang dan kebal senjata. Menurut cerita yang tersebar, di masa perang dia pernah melewati batalyon tentara dengan Vespa yang melaju kencang. Tiba-tiba dia disetop tentara.


"Ini kawasan militer, Teungku harus pelan-pelan di sini," kata seorang tentara.


Karena Teungku telah melanggar maka Teungku harus kami hukum, lanjut si tentara sembari memandang tajam ke arah Teungku Malem yang masih duduk di atas Vespa putih kesayangannya.


"Cepat turun dan hitung terali pagar ini sampai habis!" teriak si tentara.


Perlahan Teungku Malem turun dari Vespa sembari memandang terali besi yang terpasang di pagar batalyon itu dari ujung ke ujung.


"Semuanya?" tanya Teungku Malem.


"Ya!" sahut si tentara.


Mulailah Teungku Malem menghitung dan menyentuh terali itu satu per satu dengan tangannya. Ajaibnya, satu per satu terali yang disentuh Teungku Malem menjadi bengkok.


"Cukup! Cukup!" teriak si tentara setelah melihat pemandangan tak lazim itu.


"Ini belum habis saya hitung, Pak. Masih banyak," jawab Teungku Malem.


"Sudah cukup!" si tentara membentak Teungku Malem dan meminta orang tua itu untuk segera meninggalkan batalyon. 


***


Logo memarkir sepedanya di pinggiran tambak, di sebuah gubuk kecil yang sering dijadikan tempat istirahat. Dia meletakkan keranjang ikan mirip guci di atas pematang tambak yang sudah mulai lembap. Logo menurunkan jala dan mulai berjuang menangkap ikan yang sedang bermain riang. Sebelumnya Logo tidak pernah membawa jala ke tambak itu. Dia hanya membawa pancing yang terbuat dari belahan bambu berukuran kecil untuk menangkap ikan-ikan di sana. Namun, setelah bertemu Tauke Madi, si pemilik tambak, Logo diizinkan membawa jala agar tangkapannya bisa lebih banyak.


"Yang penting kamu tidak mengambil bandeng dalam tambakku ini. Selain itu boleh kamu ambil, apalagi mujair yang sering menghabiskan makanan ikan-ikanku. Kamu boleh mengambil mujair sepuasmu. Besok kamu boleh bawa jala, tapi ingat, jangan ambil bandeng!" kata Tauke Madi beberapa hari lalu.


Sejak saat itulah Logo mulai membawa jala. Ketika bandeng tak sengaja masuk ke dalam jala, Logo akan melepaskannya kembali ke dalam tambak.


Ikan mujair yang didapatkan Logo akan dijual kepada orang-orang di kampung untuk membeli beras. Dia hanya menyisakan sedikit untuk dimakannya sendiri. Ketika dia sudah mulai bosan dengan mujair dia akan menjual semuanya untuk membeli telur atau ikan asin. Tapi, sejak bercerai dengan istrinya, Logo lebih suka mengisi perutnya dengan mi goreng di kedai Kak Bed. Bahkan ketika perutnya sudah mulai penuh dia sering tidur di balai kedai itu.


Malam itu ketika hendak melempar jala ke dalam tambak, Logo dikejutkan dengan suara Tauke Madi. 


"Go, tunggu dulu!" 


Tauke Madi muncul dalam remang-remang suasana Magrib. Dia berlari-lari kecil ke arah Logo.


"Aku minta maaf, mulai malam ini kamu jangan lagi menangkap mujair di sini."


Mendengar suara Tauke Madi, Logo hanya diam seraya melirik ke arah lelaki yang berusia lebih tua beberapa tahun darinya. Laki-laki yang telah memberinya makan bertahun-tahun.


"Aku minta maaf," laki-laki itu mencoba mengulang ucapannya, "akhir-akhir ini bandengku banyak yang mati. Harga di pasaran juga sangat murah. Sementara aku tidak punya usaha lain."


Logo masih terdiam dan hanya mendengar ucapan itu tanpa memberi respons.


"Karena itu, mulai besok kamu jangan lagi mengambil mujair di sini. Aku akan menjualnya sendiri untuk menutupi kerugianku."


Tauke Madi memandang wajah Logo yang terlihat sedih.


"Aku harap kamu bisa memaklumi keadaanku sekarang.'


Lelaki itu menutup pembicaraan sembari menepuk bahu Logo yang masih berdiri kebingungan di tepian tambak.


Setelah Tauke Madi pergi dari hadapannya, Logo mulai menggulung jala. Senter bulat di kepalanya masih menyala menembusi genangan air yang sesekali beriak diembus angin. Dia menyangkut kembali keranjang mirip guci di setang sepeda yang diparkirnya di pinggir gubuk. Dia mengambil sebatang gudang garam dalam saku celana pendeknya dan lalu membakar lintingan tembakau itu dengan tangan bergetar. Asap pun mengepul dan lalu burai diembus angin malam yang semakin dingin.


***


Rintik gerimis manja mulai turun. Aroma mi goreng basah buatan Kak Bed yang begitu menggoda mulai menusuk hidung beberapa orang yang masih duduk di kedai itu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak lama kemudian beberapa piring mi campur telur dihidangkan kepada  mereka yang telah menunggu bersama gerimis yang terus menitik. Satu per satu melahap makanan itu dengan nikmat dan lalu beranjak pulang menembus gerimis yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.


Saat Kak Bed mulai berkemas menutup kedainya, dari arah barat muncul sosok bersepeda dengan lampu di kepala yang masih menyala. Dia memarkir sepedanya di depan kedai yang mulai sepi. Kak Bed tampak sibuk memasukkan belanga ke dalam peti kayu yang dilengkapi gembok. Saat itulah Logo berdiri dan menunjuk ke arah rak kayu berdinding kaca yang ada di hadapannya. Kak Bed yang sudah mengerti kembali mengeluarkan belanga dan meletakkannya di atas kompor.


"Pedas?" tanya Kak Bed.


Logo hanya mengangguk dan lalu duduk di sebuah bangku yang terbuat dari bambu, tempat biasa dia melahap gorengan Kak Bed yang cukup terkenal di kampung itu. Konon Kak Bed menggunakan biji ganja sebagai penyedap masakan. Namun, sayangnya kabar angin tersebut tidak pernah bisa dibuktikan oleh siapa pun, termasuk oleh Teungku Malem yang terkenal keramat.


"Banyak dapat ikan malam ini?" tanya Kak Bed sembari sesekali memukul belanga besinya dengan sodet agar gilingan tepung berwarna kuning itu tidak lengket. Logo memberi kode dengan telapak tangan terbuka bersama lima jari yang berdiri tegak sambil menggerakkannya ke kiri dan kanan. Melihat gerakan tangan Logo, Kak Bed hanya tersenyum dan kembali mengaduk mi hingga matang. Setelah menghabiskan makanan yang belum dingin itu, Logo kembali menaiki sepeda menuju arah selatan dan lalu hilang dalam malam yang semakin kelam.


***


"Sudah lama Logo tidak terlihat di kampung."


"Ya, aku juga tidak melihatnya beberapa hari ini."


"Apa mungkin dia tenggelam di tambak?"


Beberapa orang yang sedang bersantai di kedai Kak Bed malam itu saling bertanya tentang keberadaan Logo.


"Logo sepertinya sudah meninggalkan kampung," sela Kak Bed di tengah gemuruh suara para pelanggannya,"dia sudah tidak punya pengharapan lagi di kampung kita ini," lanjut Kak Bed.


"Maksudmu?" seorang warga mencoba bertanya.


"Ya, kalian kan tahu dia tidak punya pekerjaan lain selain menangkap ikan. Aku dapat kabar Tauke Madi melarang Logo menangkap ikan di sana. Kalian juga tahu dia tidak mendapat zakat di kampung kita."


Suasana hening sejenak. Terlihat raut kebingungan di wajah orang-orang yang sedang terlibat pembicaraan itu.


Sementara itu, di utara kampung Teungku Malem sedang terlibat pembicaraan dengan Tauke Madi di sebuah balai, tempat biasa Teungku Malem mengisi pengajian.


"Sudah beres Teungku Haji. Sudah saya sampaikan. Saya juga tidak mau masuk neraka hanya gara-gara memberi makan orang tak sembahyang," kata Tauke Madi dengan nada pelan.


Mendengar penjelasan Tauke Madi, Teungku Malem yang terlihat sudah sangat sepuh itu hanya tersenyum sambil mengangguk.


Keesokan harinya orang-orang kampung dihebohkan dengan penemuan sepeda tua bermerk Phoenix yang terparkir tepat di depan mimbar. Pada tongkat yang tersandar di mimbar tersangkut jala dan keranjang mirip guci. Namun, kehebohan itu segera buyar setelah Kak Bed berteriak dan berlari ke arah masjid. Mendengar teriakan itu orang-orang pun berlarian ke arah kedai Kak Bed. Dalam kebingungan itu mereka menemukan Teungku Malem bersimbah darah, di tempat mereka biasa menikmati mi goreng beraroma ganja.


Bireuen, Maret 2024


_________


Penulis


Tin Miswary, pemulung buku bekas. Berdomisili di Bireuen, Aceh. Alumnus Pascasarjana UIN Ar-Raniry pada Konsentrasi Pemikiran dalam Islam. Menulis di beberapa media cetak seperti Jawa Pos, Suara Merdeka, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Harian Serambi Indonesia, Harian Aceh, Harian Pikiran Merdeka, Harian Rakyat Aceh, Harian Analisa, Harian Waspada, Tabloid Modus, Majalah Santunan dan beberapa media online seperti kompas.id, magrib.id, bacapetra.co, sastramedia.com, hidayatullah.com, republika online, dan mojok.co. Menjadi kolumnis di beberapa media online lokal di Aceh, di antaranya AceHTrend.com. Sudah menerbitkan lima buku: (1) Habis Sesat Terbitlah Stres (Padebooks, 2017), (2) Syariat dan Apa Taa: Fenomena Sosial Keagamaan Pasca Konflik Aceh (Padebooks, 2018) dan (3) Demokrasi Kurang Ajar (Zahir Publishing, 2019); (4) Senandung Jampoek (Kawat Publishing, 2020); dan (5) Islam Mazhab Hamok (Bandar Publishing, 2020). Saat ini sedang menyelesaikan penulisan buku keenam dengan judul Wahhabi di Mata Ulama Dayah.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


Puisi-Puisi Sulaiman Djaya

Puisi Sulaiman Djaya



Kepada Para Penyair 


Betapa gila mereka

Yang menulis puisi

Di zaman ini


Sedikit yang membaca

Kecuali sesama mereka. 

Meratapi nasib sendiri


Dengan dalih estetika

Kemarahan tersamar

Beralibi kesenian. 


Betapa tidak masuk akal

Mereka yang bersikeras

Membela metafora


Yang tak dimengerti

Para penggemar aplikasi

Abad mesin ini.


(2023)



Sitar


Aku suka November yang lahir dari bilangan jidat rambutmu: musim yang meriah, girang cuaca dan hati yang bernyanyi karena rindu. Aku suka caramu menyebut namaku, derai tawamu umpama hidup yang tak bisa dihitung.


Bila saja tak ada puisi, niscaya sepi jadi belati menikam diri. Dan kau, perempuan yang dijumpai mataku, adalah nafas nafas tahun usiaku. Betapa selalu menyenangkan setiap kali suaramu menggema dari sajak sajak yang kau baca di punggung malam.


(2022)


________


Penulis


Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), antologi puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, dan lain-lain.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


Monday, April 8, 2024

Karya Siswa | Senja Berpilu | Septrilenis Florensya Gulo

Cerpen Septrilenis Florensya Gulo




Kesepian menemani Zara ke sekian kalinya. Remaja tujuh belas tahun itu dibalut kesedihan mendalam sembari menatap kosong langit senja. Gaun cantik Zara berlumur darah, tangannya sudah kotor. Zara menyerah, memilih mengakhiri hidupnya saat senja hari.


Sinar pagi menyirami wajah cantik Zara, membangunkan dari mimpi indahnya. Hari yang spesial, mungkin esok hari Zara bisa punya KTP. Rumah megah itu dipenuhi kegembiraan tiada tara. Zara mengawali harinya dengan segala persiapan untuk esok hari. Ia memilih berbagai gaun serta kue. Ditemani Fira, sahabat kecil Zara. Hari itu begitu spesial bagi Zara. Wajah Zara merah padam semerah semangka. 


Pagi ini Zara begitu bersinar hingga keceriaan terpancarkan keluar dari wajah serta perilakunya. Sayang,semesta tampak tak mengizinkan kegembiraan ini berangsur lama. Ketika Zara hendak pergi ke fittingroom, mencoba berbagai gaun cantiknya, seseorang membekap dirinya. Zara diculik. Orang itu membawa Zara ke suatu tempat. Fira yang tengah menunggu Zara di luar, tidak menyadari keberadaan Zara. Tak tahu apa yang Fira pikirkan. Ia memilih meninggalkan Zara dan mengutamakan janjinya bertemu Nathan, kekasih Zara.


Ruangan itu gelap, tak berfentilasi. Rasa sesak mencekik udara di ruang itu. Ruang itu bagai kubus rapuh nan kosong dilengkapi sebuah pintu karat. Zara bagai tikus terkurung, wajahnya pucat pasi, badannya menggeligis. Terdengar suara jejak kaki mendekati kubus rapuh itu, pintu berdecit tanda pintu terbuka. Seorang lelaki berbadan kekar dan tinggi layaknya tiang. Lelaki itu memiliki paras tampan, namun memiliki bekas luka sayat pisau di mata sebelah kirinya. Suara berat lelaki itu mengatakan sesuatu kepada Zara.


“Cantik, tapi sayang demi sayang Nona, mulai hari ini kamu adalah anjingku,” ujar seorang lelaki.


Tanpa sepatah kata lagi, lelaki itu meninggalkan Zara sendirian. Wajah Zara semakin memucat, Zara tidak memahami yang ia alami hari ini. Gelap. Zara sungguh takut gelap. Kesepian kembali menemani Zara kali ini. Seakan tak kuat menahan segala hal yang terjadi, seketika air mata Zara bercucuran mengingatkannya akan kejadian kelam yang pernah ia alami.


Matahari tampak di tengah langit, Fira tengah bercakap dengan Nathan di sebuah kafe, ramai dengan hingar-bingar orang. Pertemuan mereka berdua bisa membuat orang salah paham. Mereka berdua layaknya sepasang kekasih. Di tengah perbincangan mereka berdua, Nathan mengalihkan topik tentang Zara. 


“Oh, iya, Zara ke mana Fir? Perasaan, lo ke rumah Zara sambil nemenin fitting baju ke mal ini.” 


Fira baru ingat tentang Zara. Ia tadi meninggalkannya di ruang fitting tadi.


“Eh iya juga ya Than. Gue kelupaan karena terburu janji sama lo tadi. Zara ke mana ya? Gue kira dia tadi pulang duluan ninggalin gue. Soalnya tadi pas gue cek, dia udah gak ada di fittingroom.” 


Nathan tak heran dengan penjelasan Fira.


“Haha, kebiasaan Zara, kalau udah exited sama sesuatu pasti lupa semuanya.” 


Mereka berdua tidak mengambil pusing mengenai keberadaan Zara. Mereka masih belum menyadari keberadaan Zara saat itu. Fira dan Nathan sibuk berbincang mengenai hal lain hingga menghabiskan waktu mereka.  Hingga malam pun tiba.


Pintu terbuka kedua kalinya. Zara terbangun diambang kesedihannya. Lelaki itu kembali datang mendekati Zara membawa oleh-oleh pisau. 


“Gila, apa selanjutnya nasib aku di sini? Aku bakal mati di tangan lelaki itu?” batin Zara. 


Langkah kaki itu semakin mendesak Zara. Ia berbisik, 


“Cantik, mau sampai di sini aja atau mau jadi anjing gue?”


Zara terdiam mencerna seluruh makna kalimat lelaki itu. 


“JAWAB!” bentak lelaki itu sembari menempelkan benda tajam itu di leher Zara. Zara terdiam, darah mulai menetes hingga bercucuran dari leher Zara. Tatapan lelaki itu sungguh sinis dengan penuh harap menunggu sepotong kata keluar dari mulut Zara. 


“I-i-iya, aku mau,” ucap Zara dengan suara getar. 


Mendengar jawaban Zara, tampaknya lelaki itu puas dan tertawa sembari berkata,


“Bagus sayang, ikutin gue dan jangan pernah ceritain semua hal ini ke siapa pun kalau lo masih mau hirup udara segar di luar.”


Zara hanya mengangguk, menahan sakit bekas luka di lehernya. Zara mengikuti langkah lelaki itu menuju suatu ruangan di bawah tanah. 


Langit tampak cerah, matahari telah terbit satu jam yang lalu. Nathan berdiri di depan rumah megah itu. Ia ingin memberikan kejutan kepada kekasihnya, Zara. Cukup lama Nathan menunggu jawaban dari Zara hingga akhirnya ia baru menyadari bahwa rumah itu sepi bagai kuburan. Zara serta para pelayannya tidak berada di rumah megah itu. Sejak Zara menginjak umur delapan tahun, kedua orang tuanya menghilang tak pernah kembai. Kakak lelaki Zara meninggal akibat keracunan di usia sepuluh tahun. Sejak itulah Zara rasanya tidak memiliki satu orang pun yang dapat ia jadikan rumah untuk berkeluh kesah. Zara hidup hanya ditemani kesepian dan kerinduan akan kenangan indah bersama keluarganya. 


Sejak kecil, Zara dikenal dengan sebutan artis cilik. Setiap iklan kota, model suatu brand pasti terpampang jelas muka cantik Zara. Ia membantu perekonomian keluarganya sejak usianya yang ke lima tahun. Ketika Zara berusia lima belas tahun ia bertemu dengan Nathan yang merupakan kenalan Fira. Sejak itu mereka bertiga adalah sahabat karib hingga akhirnya Nathan jatuh hati kepada Zara yang kini menjadi kekasih Zara. Menyadari keganjalan yang ada di rumah megah itu, Nathan curiga Zara berada dalam keadaan darurat. Nathan mencoba menghubungi Fira, sialnya Fira tidak menjawab telepon Nathan. Kekhawatiran menghantui perasaan Nathan hingga Nathan berusaha keras mencari keberadaan Zara hingga siang menjelang sore hari.


Zara mengikuti langkah lelaki itu. Ia melirik-lirik keadaan ruangan itu. Cat terkelopek, tembok mengeropos. Semakin masuk ke ruangan itu suara langkah kaki semakin terdengar jelas. Kegelapan menyelimuti ruang bawah tanah itu. Zara diliputi rasa takut, rasa bingung serta penasaran akan semua hal yang terjadi. Seketika lelaki itu memberhentikan langkah kakinya, menurunkan penutup wajahnya yang menutupi bagian hidung hingga leher lelaki itu. Zara melotot, air matanya jatuh entah melambangkan kesedihan maupun kegembiraan hatinya. 


“Aa? Kok bisa Aa di sini? Aa kenapa tega ngelakuin hal ini ke Zara? Zara dengar kalau Aa sudah meninggal, tapi itu bohong dan dugaan aku bener! Aa kenapa jahat ninggalin Zara sendirian di rumah tua itu setelah menghilangnya orang tua kita, Aa?” tangis Zara sejadi-jadinya. 


Zara terdiam, lelaki itu tampak sinis menatap Zara, lelaki itu mulai memperlihatkan sesuatu kepada Zara. Zara keliru. Lelaki berparas tampan yang ia kira bukan siapa-siapa, merupakan kakak lelakinya yang berumor meninggal tujuh tahun yang lalu, yang ternyata rumor itu sungguhan. Kondisi tubuh dari kakak lelaki Zara sungguh tragis, sulit dijabarkan dalam kata-kata. Zara menangis dan terus menangis menelan semua kenyataan yang ia lihat saat ini dan berteriak,


“LO SIAPA? KENAPA MUKA LO PERSIS BANGET AA GUE! JAWAB!”


Di tengah kesedihan Zara, lelaki itu malah bergurau.


“Nona, eh jangan, si Cantik aja,” lelaki itu melanjutkan perkataannya dengan senyum aneh. “Cantik, tahu maksud dari ini semua?” Zara menggeleng, meratapi kembali kesedihannya. “Fira,” ucap lelaki itu. Air mata Zara terhenti, menatap lelaki itu penuh tak percaya. “Fira Ralastari nona cantik berhati lugu dan polos, sahabat kecil Zara. Faktanya sungguh berbeda sekali, ternyata dalang dari seluruh kesepian yang Zara alami selama bertahun-tahun. Mulai dari kematian kakak lelaki si cantik, menghilangnya orang tua si cantik serta menghilangnya seluruh pelayan yang seharusnya mempersiapkan sweet seventeen Zara hari ini.”


Zara bingung dengan perkataan lelaki itu dan menganggapnya omong kosong, pikirnya “apa hubungan Fira sama keluarga aku? Kita sudah temenan dari kecil bahkan sebelum kita berdua lahir”. 


Pikiran Zara hanya dapat Ia pendam, lelaki itu tak memberikan kesempatan Zara untuk melontarkan banyak pertanyaan kepadanya. Seketika di bawah kesadaran Zara, pisau telah disodorkan kepadanya dari lelaki itu. 


“Bunuh seluruh keluarga Fira! Terutama anak tunggal itu sendiri, Fira!" 


Ucapan lelaki itu membuat Zara membentak lelaki itu, “INI GILA! DIA SAHABAT KECILKU. AKU TIDAK PERNAH BUNUH SATU ORANG PUN!” 


Bentakan Zara membuat lelaki itu meninggikan suaranya, “BUNUH DIA! ATAU GUE BUNUH LO SEKARANG JUGA!”


Zara tak bisa melakukan apa pun. Zara terancam. Ia dengan hati yang berat mengikuti perkataan lelaki itu.


Ruang tamu dipenuhi kesukacitaan. Keluarga Fira tengah berkumpul mempersiapkan kado yang terbaik untuk Zara. Keluarga Fira ingin merayakan secara pribadi ulang tahun Zara saat malam hari nanti. Keluarga Fira telah selesai mempersiapkan segalanya untuk Zara dan akan menaiki mobil yang merupakan salah satu hadiah untuk Zara. Di dalam mobil itu berisikan kedua orang tua Fira serta kakek dan nenek Fira. Sayangnya Fira tidak bisa ikut mobil tersebut karena ia ada urusan dan akan segera menyusul keluarganya nanti di rumah Zara. 


Zara tengah dalam perjalanan menuju rumah Fira. Ia tidak bisa melakukan apa pun semacam pendeteksi lokasi berada di sekitar tubuh dan mobil yang Zara kendarai. Ketika di tengah perjalanan tidak tahu apa yang terjadi mobil Zara seketika melaju dengan kecepatan tinggi seperti dikendalikan oleh sesuatu. Tanpa sadar saat Zara melihat ke arah depan, terdapat sebuah mobil mewah dengan pita yang diikat di bagian depan mobil itu. Kaca mobil itu tampak transparan sehingga Zara dapat melihat orang yang berada di mobil itu. 


Zara melihat sekilas wajah pengendara mobil tersebut yang merupakan ayah Fira, ayah dari sahabat kecilnya itu. Zara kaget, spontan ia membanting stirnya ke arah kiri yang membuat mobilnya terbanting keras. Kepala Zara bercucuran darah, badannya mengalami luka ringan, namun keajaiban berpihak pada Zara. Ia tidak mengalami luka yang fatal. Ketika ia melihat ke arah mobil keluarga Fira, Zara menangis tak menyangka mobil keluarga Fira telah hancur hanya tersisa kepingan mobil dan darah dari keluarga Fira. Walaupun mobil Zara dan mobil keluarga Fira tidak bertabrakan, ketika Zara menghindar di belakang mobil Zara terdapat sebuah truk besar yang oleng. Tanpa sadar sang pengemudi melaju kencang tanpa arah yang jelas hingga keluar dari jalur hingga akhirnya truk tersebut tanpa sengaja melindas mobil keluarga Fira secara tragis. Zara yang mengalami hal tersebut hanya bisa melamun dan menangis, Ia langsung keluar dari mobilnya dengan keadaan kepala dan sebagain tubuhnya mengalami luka ringan. Warga sekitar yang berada di area tersebut segera menghampiri dan menolong Zara. Zara segera dibawa ke rumah sakit terdekat di daerah tersebut.  


Fira yang mendengar bahwa seluruh keluarganya meninggal serta Zara yang menjadi salah satu korban selamat dari insiden tersebut, segera mendatangi rumah sakit tempat Zara dirawat. Amarah mengelilingi tubuh Fira. Wajah Fira merah padam dengan ekspresi jutek. Ia mendatangi Zara di rumah sakit itu, namun ia memendam segala amarahnya agar dapat berbicara dengan Zara di waktu yang tepat. Zara yang mendengar ketukan pintu dari luar mempersilahkan orang lain masuk. 


“Zara, ini gue Fira. Keadaan lo gimana?” ucap Fira dengan nada lembut. 


Zara menjawab dengan senyuman palsu, “Gapapa Fir. Aku gak seburuk itu kok kondisinya. Turut berduka cita dan maaf Fir.”


Kemudian dengan ekspresi kesal yang tertahan Fira menjawab,


“Bagus deh Ra. Bisa ngomong sama gue di suatu tempat Ra? Gue kayaknya perlu ngomong sesuatu sama lo semenjak kepergian mereka.” 


Zara hanya menggangguk dan mengikuti permintaan Fira. Zara keluar dari mobil yang dikendarai Fira. Tampak bangunan tua yang dijadikan markas anak berandal yang dimaksud oleh Fira ‘suatu tempat’ tersebut. Ketika mereka telah naik di lantai dua, secara tiba-tiba Fira mendorong Zara dengan kuat. 


“LO JAHAT ZAR, GUE TAHU LO KESEPIAN DI SINI. JADI GAK USAH BIKIN GUE JADI KAYAK LO!” 


Zara tidak menyangka Fira akan berlaku kasar kepadanya. Zara hanya bisa mengucapkan “Maaf Fir, aku gak niat kayak gitu.”


Raut wajah Fira tampak kesal bercampur amarah membentak Zara, “MUNAFIK LO RA. KELUARGA GUE SELALU PRIORITASIN LO! PADAHAL GUE ANAK TUNGGALNYA!" ujar Fira. 


"Asal lo tau ya Zara Cantikasari. Sejak lo lahir, keluarga gue selalu mengutamakan lo, membandingkan gue dengan lo bahkan kakak cowo lo itu juga ikutan dibangga-banggakan depan gue. Kakak cowo lo udah gue bikin mati aja masih tetap dibanggain di keluarga gue, sakit gue zar!” tambah Fira.


Zara kaget dengan kalimat terakhir yang terlontarkan dari mulut Fira. 


“Maksud kamu apa Fir? Jangan bilang kamu ada sangkut pautnya sama kematian Aa aku?”


Fira tertawa puas akan kejahatan yang pernah ia lakukan.


“Bocah-bocah, lo pikir gue sepolos dan selugu apa sih? G ue tiga tahun lebih tua dari lo, kakak cowo lo itu mati karena gue racunin.”


Zara terkaget. “Kamu gila Ra! Dia satu-satunya saat kedua orang tua aku meninggal, aku benar-benar kesepian saat itu!” 


“Satu-satunya lo bilang? Lo itu punya dua kakak cowok dan mereka kembar, satunya lagi keluarga gue pisahkan dari keluarga lo Zara!” 


Zara teringat dengan seseorang yang menculiknya kemarin. Wajahnya sangat mirip dengan kakak laki-lakinya itu. Ketika Zara teringat dengan lelaki itu, Fira seketika mengeluarkan pisau yang akan digunakan untuk membunuh Zara. Fira sejak kecil sudah iri dengan kehadiran Zara yang merenggut seluruh perhatian dan kasih sayang keluarga Fira. 


Tekad untuk membunuh Zara sudah bulat, namun sayang bukannya mengenai tubuh Zara, pisau setajam silet dan besar itu justru mengenai tubuh seorang lelaki dengan stamina tubuh yang tidak begitu baik. Lelaki itu adalah orang yang menculik Zara kemarin dan merupakan kembaran dari kakak laki laki Zara. Raut wajah Fira seperti nenek tua yang sangat kesal.


“SIAL! SI PENYAKITAN GANGGU AJA. UDAH DIKASIH KESEMPATAN HIDUP MALAH MATI SENDIRI!” 


Zara langsung mengambil tubuh yang telah terkapar tersebut. Ia hanya bisa menangis karena baru mengetahui bahwa lelaki itu sedang melindungi Zara dari kelicikan Fira.


“Zara cantik, aku aa kedua kamu yang dipisahin sama keluarga mereka. Ingat rencana tadi kan? Ini permintaan terakhir dari aa kedua kamu. Ingat ya, aa kedua kamu namanya Arka. Kalo aa pertama kamu namanya Akra, cuma dibalik aja,” itulah kalimat terakhir lelaki yang menculik Zara sebelum akhirnya meninggalkan Zara selamanya. Mendengar perkataan itu Zara langsung diselimuti amarah besar. Ia sudah memahami situasi yang terjadi. Ia hendak melakukan permintaan terakhir dari Arka. 


Ketika Fira lengah, Zara hendak melaksanakan permintaan terakhir Arka. Namun sayang demi sayang bukannya mengenai Fira malah mengenai Nathan. Nathan telah mencari Zara seharian penuh hingga saat Nathan baru tiba melihat perkelahian tidak masuk akal terjadi dan melihat Zara hendak menusuk Fira dengan tragis. Nathan segera melindungi Fira. Zara tidak menyadari bahwa yang ia tusuk adalah Nathan kekasihnya sendiri. Ia baru mengetahui ketika membuka matanya karena tidak tega menusuk sahabat kecilnya. 


“NATHAAAN!” Zara menangis histeris. Ia menyesali perbuatannya. 


“Sampah yang ini ada gunanya juga, ngelindungin gue padahal bantuan dia gak guna, paling bentar lagi juga mati!” ucap Fira menyepelekan. 


“Kamu jahat Fir, kamu bener-bener licik!” lontar ucapan Zara. Tanpa basa-basi Fira tidak tahan untuk menghabisi Zara dan segera mengambil langkah untuk menusuk Zara dengan kejam. Zara tidak lengah ketika pisau tersebut mulai mendekat. Zara memutar balikkan keadaan. Fira tertusuk dibagian organ jantungnya dengan kejam Zara menusuk tubuh Fira berkali-kali hingga Fira terkapar dan tidak bisa melakukan apa pun lagi.  


Insiden itu terasa cepat hingga sore hari telah tiba, menunjukan keindahan senja. Zara teringat akan kenangan senja menyimpan memori indah keluarga, sahabat, dan kekasihnya. Bagi Zara senja merupakan waktu terindah yang pernah ada. Tiap kali Zara merasa kehilangan, kesepian, serta kesedihan, ia selalu menyaksikan senja memutar kembali memori indah yang pernah terjadi dalam kisah hidupnya. Zara mengemudikan mobil milik Fira. Tanpa tujuan ia mengendarai mobil itu sambil menyaksikan indahnya senja hingga akhirnya ia tiba di suatu pantai yang dulu merupakan kunjungan favorit saat bersama keluarga dan kekasihnya. Zara menapakkan kaki keatas pasir-pasir halus itu menyisakan jejak kenangan yang pernah ia lalui bersama orang terkasihnya. Namun kini ia hanya menyisakan jejak kesendirian dengan lumuran darah pada gaun indahnya. Zara tidak mengganti pakaiannya itu adalah gaun untuk perayaan sweet seventeen-nya. Zara menatap senja dengan tatapan kosong bagai tiada harapan lagi dalam hidupnya. Gaun cantik Zara terlumuri darah. Zara terus berjalan, berjalan dan terus berjalan hingga akhirnya Zara mengakhiri hidupnya di waktu senja bersama kesedihan serta kenangan indah yang pernah ia lalui.


________

Penulis 


Septrilenis Florensya Gulo, siswa SMPN 1 Kota Serang kelas IX E.


Kirim naskah ke 

redaksingewiyak@gmail.com


Friday, April 5, 2024

Puisi Dewis Pramanas

Puisi Dewis Pramanas



Kabar dari Laut


Sejak bergulir malam panjang

Kau mengalunkan logat melayu

Mengupas isi kepalaku yang dangkal 

Tentang berselancar kata 


Entah berapa banyak waktumu tersandera 

Mengisi gelas-gelas kosong 

Bahkan kunang-kunang meredup 

Berganti terbit fajar dari timur 

Embun-embun menggenang di atas daun talas 


Aku rindu percakapan-percakapan puisimu

Saat membersamai dalam dialog sunyi 

laut telah mengantarmu pada semestinya 

Menuntunku pada jejak-jejak paling duri


Subang, 23 Maret 2024


________


Penulis


Dewis Pramanas, lahir di Subang, 1 Maret 1987. Buku puisi tunggalnya berjudul Perindu Hujan (2021), beberapa karya puisi dimuat di media online dan cetak. Bisa temukan jejaknya di akun media sosial pribadinya. IG: @dewispramanas.


Cerpen Herdiana Randut | Maria

Cerpen Herdiana Randut



Maria tak banyak bicara. Ia sedang menjahit dua pasang baju di sudut ruangan berukuran tiga kali dua persegi. Setahun yang lalu, ia membangun rumah kecil itu, tepat depan rumah orang tuanya. Tak istimewa; berlantai semen, tembok berwarna putih dan papan bertuliskan “Penjahit Maria” yang ditempel di dinding bagian depan rumah itu. Ya, tempat sehari-hari ia bermain dengan potongan-potongan perca, berlembar-lembar kain, berlomba mengadu kecepatan kaki dan tangan dengan sebuah mesin jahit, menggambar pola, menggunting, kemudian menyulapnya menjadi baju atau celana. 

Maria hidup melawan waktu. Dini hari ia membuka pintu. Petang ia kembali menutup pintu. Ia tak ingin memetang-metangkan waktu. Mengejar target jahitan, membuat ia sering lupa waktu walau sekadar bersenda gurau bersama ayah dan ibunya. Momen itu sulit didapatnya. Baginya waktu adalah roda yang berputar cepat. Tak pernah tebersit dalam benaknya jika usianya sudah cukup untuk menikah. 


“Maria, di usiamu yang sekarang sudah seharusnya kau menikah, ” Ayah Maria mulai membuka percakapan, menengok Maria dari pintu rumah tersebut.  


“Tidak Ayah, aku belum berpikir tentang hal itu. Karena aku masih punya mimpi yang akan aku wujudkan,” Maria membalas pembicaraan ayahnya. Ia tak mengalihkan pandangannya ke wajah ayahnya yang berdiri samping meja tempat ia duduk. 


Maria tak suka mendengar kalimat itu. Berkali-kali ayahnya berbicara demikian, berkali kali pula ia menjawab dengan bunyi yang sama.

“Sampai kapan kau berhenti berkutit dengan mesin jahit itu Maria? Kau tak malu jika teman-temanmu sudah menikah dan kau masih saja seperti ini. ” 


Ayah Maria semakin mempercepat nada bicaranya. Ia tak bisa menahan perkataannya. Kali ini Ayah Maria sungguh menantang Maria. Maria tahu jika ayahnya sedikit sentimental tentang urusan pernikahan.


“Aku sudah mengatakannya padamu. Aku tidak akan menikah jika impianku belum terwujud. Seharusnya Ayah bangga padaku karena aku bisa menjadi satu-satunya penjahit di desa ini,” pungkas Maria ketus.

Maria semakin benci mendengar perkataan ayahnya. Ia melepas jahitannya, bersandar pada kursi rotan tua anyaman ayahnya dan menarik napas yang panjang. Ia mencoba menenangkan diri. 


“Aku benci mendengar jika kau membanding-bandingkan diriku dengan teman-temanku, Ayah. Aku benci jika kau mengulang perkataan yang sama. Sungguh, aku tak suka itu,” Maria mengungkapkan kejujurannya. Sudah lama ia ingin mengutarakan hal itu. Ia memalingkan wajah dari pada ayahnya. Beberapa menit ruang kecil itu sengang. 


“Maria, Ayah tak bermaksud demikian. Ayah hanya ingin kau hidup bahagia. Kau sudah menjadi penjahit yang baik di desa kita. Kau pekerja keras, melayani pelangganmu dengan ramah. Ayah bangga padamu, Nak. Tapi ....” 


Perkataan itu terhenti sejenak. Maria bergegas berdiri, ingin tahu apa yang hendak dikatakan pria paruh baya itu. 


“Tapi, Ayah ingin kau menikah dan hidup bahagia. Jika kau punya suami, kau tak perlu bekerja begini keras.” 


Ayah Maria tahu jika anaknya keras kepala terhadapnya. Jauh dilubuk hatinya, sungguh ia tak ingin putri satu-satunya itu hanya menjadi penjahit desa seumur hidup. Ia tak sanggup jika melihat hal itu terjadi pada Maria.


“Jika aku punya suami, aku tak yakin ia akan mengizinkanku menjahit. Mungkin saja hal itu bisa terjadi. Aku belum punya rencana untuk menikah, Ayah. Aku harus membeli lahan dan membangun rumah tempatku menjahit,” Maria mengungkapkan mimpinya, meyakinkan ayahnya, jika suatu saat impiannya bisa terwujud. 


“Kau tak perlu melakukan itu, Maria. Jika kau ingin bangunan yang lebih besar dari ini, Ayah bisa melakukannya untukmu. Kita bisa merombak ruang kecil ini menjadi besar. ” 


Setelah berkata demikian, Ayah Maria menghampiri Maria, meraih tangan putrinya dan menggenggam erat ke dua tangannya. 


“Maria anakku, Ayah tahu kau satu-satunya penjahit di desa ini. Siapa orang yang tak mengenalmu, Nak? Bukankah mereka sudah mengakuinya itu padamu? Kau tak perlu membeli tanah, tak perlu membangun rumah untuk jahit. Menikahlah, Nak, umurmu sudah cukup untuk kawin.” 


Ayah Maria menatap lekat Maria, untuk beberapa saat, lalu pergi meninggalkan Maria yang berdiri mematung tanpa sepatah kata. Maria sejenak terdiam, tak bersuara sambil melihat bayangan ayahnya menghilang di balik pintu. 


Dua pasang baju sudah Maria selaikan siang itu. Ia beranjak ke dapur dan mengambil nasi campur buatan ibunya. Ia mulai menyentuh nasi campur itu dan memasukkannya ke dalam mulut. Sesendok demi sesendok. Tapi ia tak menelan nasi itu.


“Sungguh aku ingin muntah. Tapi aku harus kuat, ” gumam Maria tanpa memedulikan perhatian ibunya yang sedari tadi memerhatikan dirinya. 


“Mau Ibu suapi?” tanya Ibu Maria sambil melangkah mendekati Maria. Mendengar itu, Maria memeloti ibunya. Maria menduga jika ibunya telah sepakat bersama ayahnya. 


“Apa Ibu setuju dengan perkataan Ayah?” Maria melepas sepiring nasi campur itu dan menatap ibunya.


Sambil tersenyum tipis Ibu Maria menjawab, “Tentu saja Ibu setuju dengan ayahmu, Nak. Ibu tak ingin kau terus-terusan menjahit. Kau butuh pendamping hidup,” ujar Ibu Maria yang terlihat tampak berat mengatakan hal itu kepada Maria. 


“Apa Ibu tak sayang padaku? Aku kira Ibu akan mendukungku,” jawab Maria agak dongkol. 


“Jika Ibu tak sayang padamu, Ibu akan membiarkanmu hidup sendiri selamanya, membiarkanmu berserampangan dengan kain-kain itu, membiarkanmu berkutit sendiri dengan mesin jahitmu itu.” 


“Bukankah menjahit pekerjaan yang bagus, Bu? Bukankah selama ini aku sudah membuat bangga keluarga kita? Lantas mengapa Ayah dan Ibu tak ingin aku meneruskan mimpiku?” Maria gemetar menjawabi ibunya. Seperti tubuhnya yang bergetar tak sanggup menahan timbunan rasa benci terhadap perkataan ayahnya yang ditahan berhari-hari.


“Ibu, aku sudah dewasa. Aku bisa memutuskan mana yang terbaik bagiku. Ayah dan Ibu seharusnya mendukung saja keinginanku.” 


Maria mendelik ke arah ibunya dengan tatapan marah. Ia menyeruput air segelas di hadapannya dan mendiamkannya lagi. 


“Maria, Ibu dan ayahmu semakin tua dan kau belum menikah. Siapa yang akan mengurusi perkawinanmu nanti jika Ayah dan Ibu sudah tak ada? Kau bisa melanjutkan usahamu walau kau bersuami kelak.” 


Maria tak berani mengangkat kepala. Saat mendengar suara ibunya semakin lirih. Ia tak kuat dengan perkataan ibunya. Ia membiarkan ibunya di dapur dan melepas sepiring nasi campur, lalu pergi begitu saja. 


Maria kembali ke ruang kecil itu. Melemparkan tatapannya pada setiap benda, menyentuh satu per satu, lalu berbicara dari hati ke hati dengan benda-benda yang menjadi kegemarannya itu. Ia mengilas balik awal ia membuka usaha menjahit, membangun tempat tersebut dan para pelanggan di desanya bertubi- tubi membawa kain untuk dijahit. Sesaat ia tersenyum simpul. 


Siang belum sepenuhnya beringsut saat dahi ayahnya berkerut-kerut memandangi semeter kain putih tergantung dalam ruang kecil itu. Ia menggaruk-garuk batok kepalanya yang dipenuhi rambut putih. Ia mencari siapakah yang menggantungkan kain itu?  Bumi seperti bergoyang, jantungnya berdenyut kencang, butir-butir keringat muncul pada dahi, lalu ke sekujur tubuhnya. Bibirnya gemetar tak mampu berkata-kata.


__________


Penulis


Herdiana Randut, kelahiran Januari 1994. Pencinta Cerpen dan puisi. Anggota komunitas sastra Saung Karsa. Cerpen "Pilihan Ibu" terbit dalam antologi cerpen komunitas ReaderZen 2024 dan "Puisi pada Rindu yang Pilu" terbit dalam antologi puisi MahirpuisiMedia 2024.


Sunday, March 31, 2024

Novel | Salim Halwa (#5) | Syamiel Dediyev

 Novel Syamiel Dediyev




#5

"Beli satu biji? Pulpen satu biji? Jauh-jauh kemari? Ayolah Fani ini gak funny tahu gak?" ujarku pada Fani dengan sedikit heran.


"Kenapa sih, yang penting kan beli, berapa pun jumlahnya," jawab Fani.


"Tapi, ini bener-bener gak lucu Fani," ujarku.


Akhirnya kuambil satu bundle lostleef yang kutambahkan dalam kantung belanjaan Fani.


"Apa ini?" tanya Fani.


"Buat aku. Lostleefku abis," jawabku.


”Haha,” Fani tertawa.


"Malah ketawa. Hadeh.... Kalau bukan karena wajah kamu yang gak berdosa ini, akan aku...," ujarku dengan gemas.


"Mau diapain? Cubit?" jawab Fani dengan manja.


Benar-benar wajah lucu Fani sangat sulit dihindari. Aku hanya menatapnya sesekali saja. Tak berani aku melihatnya terlalu lama. Wajah yang bersih dan sedikit lesung pipit membuatnya tambah menarik. Detak jantungku seperti diajak berpacu lebih kencang rasanya. Kadang aku hanya bisa tersenyum sendiri memikirkannya. Entah kenapa akhir-akhir ini ia terlihat manja denganku. Beberapa pejuang cinta para fans Fani di sekolah ini merasa pasrah angkat tangan setelah tahu akan kedekatanku dengannya. Tapi bagiku, Fani adalah sebuah kesepakatan yang entah akan berakhir sampai kapan.


"Ya Allah belum juga aku apa-apain. Gimana, udah beres kan belanjanya?" tambahku.


"Yups," jawab Fani.


"Kita pulang aja kan gak ke mana-ke mana lagi?" tanyaku.


"Emang mau ke mana? Aku ikut aja, terserah kamu. Tapi gak usah kali ya... udah agak sore. Kita pulang aja, yuk!" ajak Fani.


"Baiklah," jawabku.


***


Aku dan Fani berhenti di depan halaman rumah.


"Ngomong-ngomong rumahmu yang mana, Fani?"


"Itu yang jelek, Sam."


"Jelek apaan. Gila, rumah gede gini kamu bilang jelek."


"Gak kok. Kecil rumahku, Sam."


"Fan, aku anter sampe depan gerbang aja ya."


"Gak mau. Kan tadi pamit, aku bilang bareng kamu."


"Udah sih, toh orang tuamu belum kenal aku, Fan."


"Makanya itu, kenalan dong, Sam."


"Malu ah."


"Ih, kamu gak boleh gitu, Sam. Buruan, jangan jadi pengecut!"


"Ya udah. Bismillah."


Aku dan Fani masuk ke dalam rumah.


"Eh, kamu udah pulang, Nak," ujar Mamah Fani.


"Udah, Mah. Ini barusan. Tadi mampir ke toko buku dulu, beli pulpen," jawab Fani. "Oh, iya Mah. Ini kenalin Salim yang biasa aku omongin sama Mamah," ujar Fani lagi kepada Mamahnya.


"Perkenalkan, saya Salim Bu. Temannya Fani," sapaku.


"Oh, kamu Salim yang selalu diomongin Fani. Hayuk sini, duduk dulu!" pinta Mamah Fani.


"Bu, boleh izin gak, Salim pulang duluan. Udah agak sore, takut kemalaman," pamitku.


"Ih, kok buru-buru?" tanya Mamah Fani.


"Iya, soalnya nanti setengah tujuh Salim mau jemput aku," Balas Fani menjawab pertanyaan mamahnya.


"Mau ke mana lagi? Tumben kamu malam minggu keluar. Biasanya ngurung diri di kamar," balas Mamah Fani.


"Kata mamah, Fani harus bergaul."


"Fani... maksudnya apa ini? Lanjut malam lagi?" tanyaku kepada Fani kaget.


"Pokoknya jangan lupa jam setengah tujuh harus udah di rumahku ya," ujar Fani.


"Hm... apa lagi ini Fani?" gerutuku.


"Kamu di rumah juga sendirian aja kan? Ngelamun doang gak ngapa-ngapain," ujar Fani.


"Iya aih, tapi kan...," aku tak melanjutkan pernyataan.


"Pokoknya jangan lupa jemput aku nanti malam!" tegas Fani.


***


Pukul 19.00.


Sampailah kami di sebuah resto di daerah Ciceri. Kami pun mencari tempat yang sedikit memanjakan mata dalam sekuel romantisme malam Minggu. Dalam hati aku tertawa, baru kali ini aku bermalam Minggu. Dengan siapa lagi kalau bukan dengan gadis pengganggu hati ini.


"Lagi di mana?" tiba-tiba Halwa meneleponku.


"E... lagi di luar," jawabku.


"Bohong. Coba video call!" pinta Halwa.


"Nih!" jawabku.


"Kamera belakang!" pinta Halwa.


"Lihat nih!" jawabku.


"Hai, Halwa…," sapa Fani menjawab video call.


"Tuh, bener kan, dasar pembohong!" ujar Halwa.


"Maksudmu?" tanyaku pada Halwa.


Halwa mematikan ponsel. Aku bingung harus bagaimana.


"Marah ya dia?" tanya Fani.


"Biasa. Biarin ajalah," jawabku.


"Kamu suka gak sama Halwa? Apa kehadiranku mengganggu kalian?" tanya Fani.


"Sudahlah tak perlu dibahas," jawabku.


"Jangan-jangan aku hanya pelarian dari rasa kesalmu kepada Halwa? Makanya setiap aku ajak kamu, setuju aja," ujar Fani.


"Kesal kenapa?" tanyaku.


"Halwa pergi sama cowok lain," tegas Fani.


"Hahaha...," jawabku dengan tawa sinis.


"Mau sampai kapan aku harus menemanimu?" tanyaku.


"Sampai wisuda," jawab Fani.


"Wisuda? Gila, itu sama saja kamu memenjara kebebasanku," jawabku agak ketus.


"Begitu ya? Merasa terpenjara? Gak suka jalan sama aku ya?" tanya Fani.


"Eeeh bukan, bukan maksudku seperti itu. Aku bercanda," jawabku.


"Serius juga gak apa-apa" tegas Fani dengan sedikit kecewa.


"Apakah kita mau seperti ini terus?" tanyaku.


"Maksudnya?" tanya Fani.


"Kenapa kita hadirkan percikan api saat kita ingin tersenyum dan tertawa bahagia malam ini?" kataku.


"Iya juga ya. Kita bertemu bukan mencari gaduhkan. Tapi, bertemu menjalin rasa," jawab Fani.


"Mencari bahagia," jawabku.


"Bisa jadi. Kamu itu seperti siapa?" tanya Fani.


"Maksudnya?" aku balik tanya.


"Hadirmu membuat jamku berhenti berdetak dan membuat waktu terkesan melambat," jawab Fani.


"Haha. Bahasamu Fani...."


"Kenapa?" tanya Fani.


"Gak apa-apa. Lucu saja," jawabku.


Teet… teeet… teet….


Bawain aku martabak telor assen.


Sebuah pesan WhatsAapp membuatku kaget.


“Siapa yang WA?" tanya Fani.


"Awa minta dibawain martabak telor assen," jawabku sambil kulihatkan WA Halwa. "Sebentar ya, aku bales dulu WA-nya," kataku izin kepada Fani.


Apa gak kemalaman kamu nunggu, balasku kepada Halwa.


Aku akan tunggu jam berapa pun kamu datang, jawab Halwa


Gila, serius amat, tanyaku.


Aku sedang gak mau bermain main. Apalagi pembohong seperti kamu, jawab Halwa


***


Pukul 20.00.


"Pulang, yuk, biar gak terlalu malam," ajakku pada Fani.


"Hayuk" jawab Fani. "Nanti sekalian aja mampir dulu ke assen," kata Fani lagi.


"Kamu gak apa-apa nungguin?" tanyaku.


"Menunggu asal bersamamu tak masalah buatku," jawab Fani romantis.


"Bahasamu itu," ujarku pada Fani yang terlihat hanya tersenyum tertawa tipis.


Akhirnya sampai juga di Martabak Assen Ciruas. Kami pun menunggu pesanan.


"Eh, tapi aku mohon maaf atas kejadian tadi," kataku memulai pembicaraan lagi.


"Gak apa-apa, kok. Wajar, yang penting kita sama-sama cari bahagia kan?" jawab Fani.


"Betul," jawabku.


"Hayuk balik! Kasian Halwa nunggu martabaknya," ujar Fani mengingatkanku.


"Baik, Bos!" jawabku.


***


"Sampai juga akhirnya di istanamu," ujarku.


"Terima kasih ya, udah mau nganter," ujar Fani.


"Gak pamit sama mamahmu?" tanyaku.


"Udah, tinggal lambaikan aja tanganmu ke CCTV itu pasti, mamahku melihat kok," ujar Fani. "Oh, iya Salim, kamu bisa nyetir mobil kan," tanya Fani.


"Bisa, odong-odong," jawabku bercanda.


"Ya, udah, besok aku tunggu jam delapan di rumah," ujar Fani.


"Mau kemana lagi?" tanyaku kaget.


"Ada aja. Pokoknya rahasia," ujar Fani membuatku penasaran.


"Selalu saja rahasia. Apa masih perlu rahasia di antara kita?" tanyaku.


"Karena rahasia akan membuatmu penasaran dan bisa bikin kamu gak bisa tidur," jawab Fani dengan wajah lucunya.

 

(Bersambung)